SELAMAT PAGI BIDADARI (11)

Karya Tien Kumalasari

Tergagap Restu menjawabnya, karena dia telah ingkar pada apa yang telah dikatakannya, atau tadi dia memang berbohong kepada ayahnya, agar bisa berangkat dari rumah lebih cepat, demi janjinya kepada Lisa.

“Mengapa diam?” kata pak Broto dengan nada tinggi.

“Bapak … itu … jangan marah dulu, tadi ban kempes di jalan,” jawabnya sekenanya.

“Kalau ban kempes, bukankah kamu bisa menelpon ke kantor supaya sopir mengurusnya dan kamu bisa sampai di kantor lebih cepat?”

“Iya Pak, maaf. Saya tadi hanya menelpon bengkel supaya menggantikan ban mobil saya.”

Pak Broto tidak menjawab, wajahnya kusut. Ia kemudian berdiri dsn keluar dari ruangan Restu, untuk masuk ke dalam ruangannya sendiri.

Restu menghela napas lega, karena ayahnya tidak mendesaknya lebih lanjut. Ia segera teringat janjinya kepada Lisa, agar segera mentransfer uang ke rekening Lisa. Tapi dia melihat uang di rekeningnya mulai menipis. Ia keluar dari ruangan dan menuju ke ruang keuangan.

Ketika masuk, dia melihat pak Karman, manager keuangan sedang beranjak mau keluar.

“Pak Karman, saya ada perlu,” kata Restu menghentikan langkah pak Karman.

“Ya, pak Restu, ada apa?”

“Saya mau mengambil uang sekarang.”

“Tapi saya sedang ditunggu pak Broto saat ini Pak, bisakah nanti setelah saya kembali?”

“Tapi saya butuh sekarang. Saya kehabisan dana untuk kegiatan sosial di sebuah panti asuhan.”

“Maaf Pak, saya ketemu pak Broto terlebih dulu, karena tadi dia tampak tergesa-gesa,” kata pak Karman sambil terus berlalu keluar ruangan, membiarkan Restu berdiri mematung dengan wajah kesal.

Mau tak mau Restu melangkah kembali ke ruangannya. Belum sampai dia masuk ke ruangan, ponselnya berdering.

Restu kebingungan karena Lisa menelpon.

Lama dia tidak mengangkatnya, dan ponsel itu terus berdering.

Restu baru mengangkatnya setelah berada di dalam ruangannya.

“Ya Lisa …”

“Restu gimana sih?”

“Eh, sayangku, jangan marah dulu. Ayahku ada di kantor dan manager keuangan sedang berbicara dengannya. Sabar dulu, aku kan harus mengambil uang terlebih dulu.”

“Ya ampun, aku sudah minta ijin pada pimpinan untuk bisa keluar sebentar untuk belanja, tapi uangmu belum masuk.”

“Baiklah, sebentar ya, tapi ini tidak sebesar biasanya, karena aku belum mengambil lagi uangnya.”

“Kamu itu pimpinan macam apa sih, masa sampai kehabisan uang?”

“Kan sebagian besar uang aku berikan sama kamu, sayang. Kamu harus mengerti bahwa terkadang aku juga harus mengambil dulu di kantor.”

“Baiklah, aku tunggu, tapi janji ya, besok harus ditambah lagi.”

“Baiklah, sayang, apapun aku akan lakukan demi kamu,” kata Restu yang kemudian sedikit kesal karena Lisa memutuskan sambungan tiba-tiba.

Restu segera mentransfer uang

Beberapa juta saja, karena dia belum sempat mengambil uang lagi.


Sementara itu, di ruangan pak Broto, pak Karman sedang duduk menunggu pak Broto yang sedang memeriksa laporan keuangan yang digarapnya.

Pak Broto tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mengapa banyak sekali uang keluar dengan atas nama Restu?”

“Pak Restu menangani sendiri semua kegiatan sosial setiap bulannya. Uang itu kata pak Restu disumbangkannya ke beberapa panti asuhan,” terang pak Karman.

“Mana laporan penerimaan dana sumbangan itu?”

“Pak Restu belum memberikannya kepada saya Pak.”

“Bagaimana kamu ini, Karman? Kamu tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang, tanpa ada kejelasan.”

“Tapi pak Restu selalu marah kalau saya menanyakannya. Katanya masih tertinggal ruangannya, atau entah dengan alasan apa.”

“Kamu benar-benar seorang pimpinan yang tidak becus. Perusahaan ini bisa ambruk kalau kamu dengan mudahnya mengeluarkan uang, hanya karena anakku yang memintanya.”

“Saya mohon maaf Pak.”

“Kamu tidak usah takut biarpun Restu itu anakku.”

“Ini tadi juga pak Restu mau minta uang lagi, belum jelas kegunaannya.”

“Baiklah, mulai saat ini kamu tidak bisa mengeluarkan uang tanpa tanda tanganku. Mengerti?”

“Baik Pak.”

“Perbaiki laporan ini dan cari tanda terima dari setiap panti asuhan yang mendapat sumbangan.”

“Baik.”

Pak Karman keluar dari ruangan, dan mendapatkan Restu sedang menuju ke ruangannya.

“Baru selesai?” tanya Restu.

“Ya Pak. Tapi kalau Pak Restu mau mengambil uang lagi, harus mendapat persetujuan dari pak Broto.”

“Apa? Aku ini kan anaknya pak Broto?”

“Itulah tadi yang dikatakan pak Broto. Mari mengisi blangko pengeluaran uang, lalu Pak Restu minta tanda tangan pak Broto terlebih dulu.”

Wajah Restu merah padam karena kesal. Ia tidak bisa mengingkari janjinya pada Lisa, karena Lisa mengancam akan meninggalkannya.

Baru saja dia masuk ke ruangan, sekretarisnya mengatakan bahwa ayahnya memanggilnya.

Restu melangkah ke ruangan ayahnya, sambil mereka-reka jawaban apa yang akan dikatakannya kalau ayahnya bertanya tentang uang yang selalu digunakannya.

Perlahan ia membuka pintu, dan tak urung hatinya berdebar. Pasti manager keuangan sudah melaporkan semua uang yang dipergunakannya, terbukti semua pengeluaran uang harus dengan sepengetahuan ayahnya.

“Lama sekali, kemana saja sih kamu? Mengapa tidak ada di ruangan?”

“Maaf Pak.”

“Duduk,” perintah sang ayah tegas.

Restu dudu didepan meja kerja ayahnya.

“Untuk apa saja kamu mengeluarkan banyak uang selama setahun ini? Baru hari ini aku sempat memeriksanya, dan terkejut melihat laporan yang dibuat manager keuangan.”

“Apa pak Karman tidak bilang bahwa saya hanya mengambil uang untuk kegiatan sosial yang langsung saya tangani?”

“Apakah seorang pimpinan seperti kamu yang harus menangani semua itu sendiri? Apa tidak ada staf yang bisa kamu suruh untuk melakukannya?”

“Saya ingin berbincang secara langsung dengan para pimpinan yayasan itu, sehingga tahu apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.”

“Mana bukti semua pengeluaran itu?”

“Saya tidak pernah memintanya Pak.”

“Kamu ini pimpinan macam apa sih Restu, aku kira selama setahun ini kamu bisa mengemudikan perusahaan dengan benar. Ternyata aku salah telah memilih kamu untuk menanganinya, biarpun kamu anakku sendiri.”

Restu tertunduk di tempatnya duduk.

“Mulai sekarang kamu tidak bisa mengambil uang langsung, tanpa harus ada peretujuan dari aku. Aku tidak suka bertele-tele menunggu jawaban kamu, yang pasti akan membuat aku kesal.”

“Saya minta maaf Pak, tapi sekarang saya berjanji kepada Yayasan Peduli Bagi Duafa untuk bisa memberikan bantuan.”

“Apa? Yayasan itu belum lama ini sudah mendapatkan bantuan dari kita. Dan memberikan bantuan atau santunan itu ada saatnya, tidak sembarangan seperti yang kamu lakukan.”

“Tapi Pak …”

“Sudah, sudah … jangan bicara apa-apa lagi. Rupanya sekarang aku harus kembali aktif di perusahaan. Keluarlah, dan ingat, pengeluaran uang harus dengan sepengetahuan aku. Kamu merusak tatanan dan mengumbar uang dengan tidak jelas. Aku tidak mau mendengar alasan apapun dari kamu. Yang jelas, aku tidak lagi mempercayai kamu,” kata pak Broto tandas.

Restu keluar dari ruangan dengan langkah gontai. Bayangan Lisa yang marah-marah terlintas di kepalanya.

Sementara pak Broto tampak memijit-mijit keningnya karena tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing.

“Sedikit saja aku lengah, perusahaan ini akan hancur di tangan anakku sendiri.”


Rio sedang mengotak atik laptop dari dalam mobil Wulan ketika tiba-tiba mobil pak Broto memasuki halaman. Dengan segera Rio menyimpan laptpnya, lalu keluar menyambutnya.

“Rio,” sapa pak Broto sambil tersenyum.

“Ya Pak.”

“Ayo ke teras, ambil gitarmu, aku ingin mendengarkan kamu menyanyi,” kata pak Broto sambil melangkah kemudian duduk di teras.

Rio mengikutinya dengan heran. Siang-siang begini, sang bos besar ingin mendengarnya menyanyi?

“Ayo, itu gitarmu bukan?”

“Sekarang Pak?”

“Bulan depan,” pak Broto sambil menyandarkan tubuknya ke kursi.

Rio tersenyum. Ia melihat wajah pak Broto tampak keruh, pasti ada hal yang membuatnya kesal di kantor.

Rio mengambil gitar yang terletak di sudut teras, kemudian duduk agak jauh di depan pak Broto.

“Kamu tidak mengantarkan ibu belanja?”

“Tadi ibu hanya meminta saya mengantarkan, lalu meminta saya pulang, barangkali bu Wulan membutuhkan saya, katanya.”

“O, baguslah, dengan demikian aku bisa mendengarkan kamu menyanyi,” katanya sambil tersenyum.

“Cepat menyanyilah,” kata pak Broto tak sabar.

“Lagu apa ya Pak?”

“Terserah kamu, mau menyanyi lagu apa, yang penting aku bisa terhibur. Kamu tidak melihat wajahku kusut?”

“Iya Pak, saya melihatnya.”

“Hm, banyak masalah di kantor. Kepalaku pusing, menyanyilah, agar aku merasa lebih relax.”

Rio mengangguk, lalu mulai memetik gitarnya.

“O my heart, won’t belive that you were left me. I keep teling my self that it’s true. I can get over anything you want my love. But I can’t get my self over you. Don’t forget to remember me.. And the love that used to be, I still remember you. I love you ……….

Pak Broto mengangkat tubuhnya, dan mengikuti irama lagu sambil manggut-manggut, bahkan sedikit mengikutinya kala dia hafal syairnya.

Rio merasa senang, begitu menyelesaikan lagunya, wajah pak Broto tampak lebih cerah. Ia bertepuk tangan keras sekali.

“Bagus Rio, itu Don’t forget to remember me, lagu kesukaanku juga,” seru pak Broto.

“Lagi ?” Rio menawarkan.

“Tentu saja Rio, ayolah,” kata pak Broto gembira.

“Please, release me let me go … for I don’t love you anymore …”

“Wah, iya … lagu kejam itu, tapi bagus, aku suka lagunya, teruskan … teruskan …” kata pak Broto gembira.

Wulan yang mendengan dentang gitar dan suara Rio, keluar dari kamar, mengintip ke teras, lalu senyumnya merekah melihat Rio sedang menyanyi didepan ayah mertuanya.

Pak Broto menghela napas lega begitu Rio selesai menyanyikan lagunya.

“Benar kata orang, menyanyi bisa meringankan beban pikiran.”

“Iya Pak.”

“Itukah sebabnya maka wajah kamu selalu tampak berseri? Karena kamu suka menyanyi?”

Rio tersenyum. Bagaimana wajahnya tidak selalu tampak berseri kalau setiap hari bisa melihat wajah pujaan hatinya?

“Ya, sudahlah, aku mau istirahat dulu sebentar, sambil menunggu ibu pulang dari belanja.”

“Sebenarnya tadi saya minta agar ibu menelpon kalau sudah selesai, supaya saya bisa menjemputnya,” kata Rio sambil meletakkan kembali gitarnya di tempat semula.

“Mungkin belum selesai belanja, atau memilih naik taksi saja, kalau dia butuh kamu pasti akan menelpon,” kata pak Broto sambil beranjak ke dalam.

Rio keluar dari teras, kembali ke mobil lalu mengambil laptopnya. Ada yang harus dikerjakannya tentang perusahaannya sendiri.


“Sudah semua bu Wulan,” kata Murni ketika membantu Wulan bebenah.

“Bagus Murni, aku kira cukup, sekarang kamu istirahatlah.”

“Baik Bu, saya akan menata meja saja, tadi simbok berpesan begitu.”

“Baiklah, kan kita juga sudah selesai masak? Ayo aku bantu.”

“Biar saya saya, bu Wulan.”

“Tidak, biar aku bantu, aku sudah biasa bekerja, tidak enak membiarkan sesuatu yang belum selesai.”

“Bu Wulan rajin.”

“Kamu tahu dari mana, kan kamu baru kemarin datang?”

“Simbok sudah cerita banyak tentang bu Wulan.”

“Ah, yu Sarni itu berlebihan. Biasa kan seorang perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah?”

“Bu Wulan juga rendah hati.”

“Eeh, sudahlah. Kok jadi acara puji memuji nih. Ayo ke belakang,” kata Wulan sambil menarik tangan Murni.


Bu Broto sudah berbelanja sayur dan semua kebutuhan dapur bersama yu Sarni tapi masih mengingat-ingat barangkali ada yang terlupa.

“Apa lagi ya Yu, ada yang kurang?”

“Kalau yang saya catat semuanya sudah Bu, tinggal Ibu mau menambah apa lagi.”

“Ayo kita ke kasir, lalu belanjaan kita titipkan di penitipan. Setelah itu ke counter pakaian ya yu.”

“Ibu mau beli pakaian?”

“Aku mau beli untuk Murni.”

“Ah, Ibu, Murni kan masih punya, biarpun hanya satu dua.”

“Tidak apa-apa, kan sebentar lagi dia akan mengikuti Wulan, biar senang punya beberapa baju baru.”

“Yah, Ibu.”

Yu Sarni tak bisa membantah, ia membawa belanjaan ke kasir, dan membiarkan bu Broto membayarnya, kemudian menitipkannya di penitipan barang.

“Ayo kita naik,” ajak bu Broto.

Keduanya naik ke lantai dua, lalu melihat-lihat pakaian yang dipajang.

“Ini bagus ya Yu?”

“Jangan yang mahal-mahal Bu, kan hanya untuk di rumah.”

“Sesekali biarlah dia memakai pakaian yang agak mahal. Sudah, kamu nggak boleh protes. Ini juga bukan yang mahal sekali kok, biasa saja.”

Tiba-tiba bu Broto melihat seorang wanita cantik, sedang memilih-milih baju. Tapi bukan kecantikan wanita itu yang menarik bagi bu Broto.

Ia mendekat, berpura-pura memilih pakaian yang ada di dekat wanita itu. Lalu melirik ke arah pergelangan tangannya. Gelang itu, dia sangat mengenalinya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 12

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *