SELAMAT PAGI BIDADARI (12)

Karya Tien Kumalasari

Bu Broto semakin mendekati wanita itu, untuk meyakinkan dugaannya.

“Itu, bukankah gelang Wulan yang hilang? Tentu saja aku tahu, karena aku yang memesannya, persis dengan punyaku sendiri. Mengapa wanita itu bisa memakainya?”

Wanita itu beralih ke gantungan baju di sebelahnya, dan bu Broto mengikutinya, pura-pura mengamati baju di tempat itu, dan semakin yakin bahwa itu adalah gelang menantunya yang hilang, karena ada inisial huruf W disitu, sedang miliknya sendiri hurufnya B.

“Maaf jeng, gelangnya bagus,” tak tahan, bu Broto menyapanya.

“Oh, ini? Iya Bu, ini gelang pemberian pacar saya,” jawab wanita itu yang memang Lisa adanya.

“Aduh, bagus sekali, saya kok suka melihatnya. Modelnya cantik.”

“Ibu suka?” kata Lisa sambil mengacungkan tangannya yang bergelang, dengan bangga. Dan itu membuat bu Broto semakin yakin.

“Waduh, bagus sekali. Dimana ya ini belinya? Saya suka modelnya,” kata bu Broto masih berpura-pura.

“Waduh, maaf Bu, saya tidak tahu dia belinya di mana, soalnya dia memberinya begitu saja, dan entah kapan dan di mana dia beli, saya tidak bertanya. Yang penting saya suka. Ini gelang mahal lho bu, ada permata berlian di sini. Lihat Bu, ini berlian, bukan batu biasa,” kata Lisa masih dengan kebanggaan yang menyelimutinya.

“Iya, ini berlian. Senang ya, punya pacar orang kaya, bisa memberikan hadiah yang mahal untuk kekasihnya.”

“Pacar saya itu seorang pengusaha muda Bu, tentu saja uangnya banyak.”

Pikiran bu Broto langsung ke arah anak laki-lakinya. Pasti dia mengambil punya istrinya untuk diberikan kepada wanita genit yang berpakaian minim itu. Rasa geram dan marah kepada Restu mulai merayapI hatinya. Kalau tidak, mana mungkin gelang itu bisa berada di tangan wanita itu?

“Iya … iya, kalau tidak kaya mana bisa beli gelang sebagus ini,” kata bu Broto yang dengan sekuat tenaga berusaha menahan perasaannya.

“Mau difoto tidak Bu, barangkali Ibu mau pesan yang seperti ini, supaya modelnya bisa pas,” kata Lisa yang sama sekali tak pernah tahu bahwa wanita dihadapannya adalah yang memiliki gelang ini sebelumnya sebagai hadiah untuk menantu tersayangnya.

“Oh, iya .. bagus lah, kalau boleh.”

Bu Broto lalu mengambil ponselnya, lalu di potretnya gelang di tangan Lisa, saekaligus ia memotret pemakai gelang itu sekalian.

“Wanita bodoh. Kamu membiarkan harimau untuk menerkam dirimu sendiri,” kata batin bu Broto sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya kembali.

“Ibu kok motret saya juga sih?”

“Nggak apa-apa kan jeng, saya suka, kan jeng juga cantik?”

Lisa tertawa senang.

“Kalau ibu punya anak laki-laki ganteng, boleh dong menjadi menantu ibu,” kata Lisa sambil tertawa sumringah.

“Lho, kan tadi bilang sudah punya pacar? Yang memberi gelang itu, bukankah pacar jeng?”

“Nggak apa-apa Bu, kalau ada yang lebih ganteng, apalagi lebih kaya. Hari ini dia sudah mengecewakan saya. Mentransfer uang hanya lima juta saja. Padahal saya baru melihat baju-baju bagus, habis dong uang lima juta untuk dua potong baju? Itu juga baju biasa saja buat saya sih,” kata Lisa dengan sombongnya.

Bu Broto menahan rasa kesal dan marahnya. Ia harus segera menjauh dari tempat itu sebelum tangannya yang gatal berhasil mencakar wajah cantik di depannya.

“Sudah ya Bu, pakaian disini tidak ada yang cocok buat saya. Oh ya, jangan lupa kalau ibu punya anak laki-laki ganteng ya. Pastilah Ibu ini juga orang kaya, penampilan Ibu kan sudah kelihatan.”

“Tidak jeng, saya orang biasa saja kok. Ya sudah, saya juga mau pulang,” kata Bu Broto sambil menggamit lengan yu Sarni yang sejak tadi bengong seperti sapi ompong.

“Yu, ini dulu ya bajunya, Murni pasti suka ya Yu?”

“Ini bagus sekali Bu, sudah. Mana mungkin Murni tidak suka,” kata yu Sarni.

“Kamu ambil barang belanjaan di penitipan ya Yu, lalu tunggu aku di lobi. Aku mau bayar baju-baju ini dulu, lalu memanggil taksi. Atau menelpon Rio saja ya Yu, enaknya.”

“Terserah Ibu saja. Kalau mas Rio nanti pasti mau membantu mengusung belanjaan ke mobilnya.”

“Ya sudah, kamu ke sana dulu, aku mau ke kasir sambil menelpon Rio.”


Rio sedang duduk di dalam mobilnya, masih berkutat dengan laptopnya ketika tiba-tiba Wulan mendekat.

“Rio.”

“Eit. Kamu membuat aku terkejut saja, bidadari cantik,” kata Rio sambil menutup laptopnya.

“Sampai kapan kamu melakukan semua ini?”

“Apa maksudmu?”

“Kamu tidak bisa terus begini bukan? Kamu seorang pimpinan perusahaan besar. Mengapa kamu melakukannya?”

“Apa kamu mau memecatku?”

“Bukan begitu. Kamu kan punya pekerjaan. Mengapa kamu melakukan semua ini? Aku hanya tak mau pekerjaan utama kamu terbengkalai.”

“Kamu tidak usah khawatir, aku tetap bisa mengendalikannya kok.”

“Rio, seharusnya kamu tidak melakukan ini.”

“Saya harus berhenti?”

“Bukankah sebaiknya begitu?”

“Katakan pada pak Broto, dan minta agar beliau memecat aku, baru aku mau berhenti,” kata Rio tandas.

“Rio ….”

“Lakukan saja.”

“Ya Tuhan, Rio … aku hanya kasihan sama kamu.”

“Mengapa kasian? Aku bahagia dengan semua ini, dengan bisa melihat kamu setiap hari.”

“Kita sudah seharusnya berjauhan Rio, cari wanita yang lebih baik dari aku. Sangat banyak di luar sana.”

“Aku hanya akan berhenti saat aku melihat kamu bahagia. Kamu hidup bersama suami yang tidak berharga. Kamu masih akan tetap setia mendampinginya?”

“Ini demi kedua mertua aku, Rio. Mereka sangat menyayangi aku. Tak tega aku melukainya.”

“Jadi kamu rela mengorbankan kebahagiaan kamu demi rasa balas budi kepada kedua mertua kamu?”

“Rio. Mengertilah.”

“Tidak, aku tidak bisa mengerti. Dan segeralah masuk ke dalam. Karena kalau ayah mertua kamu keluar dan melihat kamu berbincang dengan sopir ganteng ini, maka kamu akan dituduh menyukai aku,” kata Rio sambil tersenyum menggemaskan.

Wulan menghela napas panjang, kemudian membalikkan tubuhnya, dan melangkah perlahan ke dalam rumah.

Rio menatap punggung kekasih hatinya itu dengan perasaan tak menentu. Sungguh dia tak tega melihat kekasihnya menderita.

Ketika dia kembali membuka laptopmya, toba-tiba ponselnya berdering.

“Rio, bisakah menjemput sekarang?” suara bu Broto ketika Rio mengangkatnya.

“Baiklah Bu, saya jemput sekarang,” jawab Rio yang kemudian menutup ponselnya, kemudian menstarter mobilnya, menuju supermarket di mana tadi majikannya berbelanja.


Di sepanjang perjalanan pulang, bu Broto tampak diam. Ia sangat geram setelah melihat gelang yang dipakai wanita tadi. Ia yakin, Restu lah yang dimaksud wanita itu. Siapa lagi pengusaha muda yang memberikan gelang itu kepada pacarnya? Bukankah Wulan yang kehilangan gelang itu?

Ia sama sekali tak menyangka anaknya mampu berselingkuh sementara di rumah ada seorang istri cantik yang sangat manis budi. Baiklah, mungkin dugaannya salah, walau dia hampir yakin. Dan ia harus membuktikannya.

“Kalau aku bilang pada ayahnya, pasti dia akan marah sekali. Bisa-bisa Restu diusir dari rumah,” kata batin bu Broto.

Naluri seorang ibu, yang walau sedikit tapi tak bisa membenci anak kandungnya begitu saja, apalagi kalau sampai si anak diusir dari rumah.

“Nanti aku akan menegur Restu dulu dan tidak perlu melapor kepada ayahnya.”

“Ibu sakit?” tiba-tiba tanya yu Sarni yang melihat perubahan sikap majikannya.

“Tidak Yu.”

“Apa wanita dengan pakaian kurang bahan itu membuat Ibu kesal?” tanya yu Sarni yang tidak suka melihat penampilan wanita yang berbincang dengan majikannya, dan berkata-kata sengan pongahnya tentang pacarnya. Mana yu Sarni tahu bahwa yang dimaksud pacar adalah Restu.

“Iya, dia menyebalkan ya Yu?”

“Ibu sih, tadi melayaninya,” kesal yu Sarni.

“Hanya biar dia senang kok Yu.”

“Kalau itu saya, sudah pasti sudah saya tingalkan sejak dia membuka mulut sombongnya,” gerutu yu Sarni.

“Iya ya Yu. Nggak apa-apa lah, dunia ini kan isinya macam-macam Yu, ada orang sombong, ada orang tidak tahu malu dan masih banyak lagi. Yang pemting adalah kita bisa melakukan hal terbaik untuk hidup kita. Ya kan?”

“Iya Bu.”

“Oh ya Rio, apa ketika kamu berangkat tadi, bapak sudah pulang?”

“Sudah Bu. Langsung beristirahat di kamarnya, jadi saya juga tidak pamitan sama bapak.”

“Apa bapak sakit?” tanya bu Broto yang merasa khawatir.

“Tampaknya bapak baik-baik saja.”

“Oh, syukurlah.”

Tapi kemudian bu Broto berubah pikiran. Ia ingin menemui Restu di kantornya, karena ia tak ingin suaminya mendengar tentang kelakuan anaknya.

“Rio, mampir ke kantor sebentar ya,” katanya kepada Rio.

“Ke kantornya bapak?”

“Iya.”

“Tapi bapak kan sudah pulang?”

“Aku ingin ketemu Restu.”

“Oh, baiklah Bu,” kata Rio yang kemudian memutar balik mobilnya, karena jalan ke arah kantor sudah lewat.


“Kamu menunggu di sini dulu ya Yu, aku mau ketemu Restu sebentar,” pesan bu Broto begitu keluar dari mobil.

“Baiklah Bu.”

Bu Broto bergegas melangkah ke dalam kantor, dan langsung memasuki ruang kerja Restu. Saat itu Restu sedang bertelpon.

“Iya, kamu harus sabar. Pasti aku akan mengiriminya lagi. Iya sayang.”

“Restu !” kata bu Broto yang tiba-tiba masuk.

Restu segera menutup ponselnya.

“Ibu? Kok_”

“Sedang menelpon siapa kamu?” tanya bu Broto dengan wajah masam.

“Itu Bu, rekanan bisnis,” jawab Restu sambil duduk di sofa, mengikuti ibunya yang sudah lebih dulu duduk.

“Rekan bisnis? Rekan bisnis dipanggil sayang?”

“Oh, itu … hanya bercanda kok bu.”

“Kamu pembohong!” hardik ibunya.

“Ibu? Kenapa datang-datang Ibu marah?”

“Apa yang kamu lakukan selama ini Restu?”

“Apa maksud ibu?”

Bu Broto mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya, kemudian membuka file sebuah foto. Foto wanita yang ditemuinya di supermarket tadi.

“Ini siapa?” tanya bu Broto dengan menatap tajam anaknya.

“Ibu … ini … “

“Ini siapa? Jawab saja.”

“Ini … teman kok bu … “

“Teman? Lihat gelang yang dia pakai. Kamu kan yang memberikan gelang ini untuk dia?”

Wajah Restu pucat pasi. Bagaimana ibunya bisa mendapatkan foto-foto itu.

“Ini … foto rekayasa bukan?” jawabnya sekenanya, dengan suara bergetar.

“Apa? Foto rekayasa? Apa maksudmu? Ibu baru saja memotretnya tadi di supermarket. Rekayasa yang seperti apa maksudmu? Kamu jangan menjawab asal jawab saja. Apa kamu kira ibumu ini begitu bodohnya sehingga kamu bisa menjawab yang tidak masuk akal seperti itu?”

“Ibu …”

“Kamu mengambil gelang istri kamu dan memberikannya kepad perempuan tak sopan yang berpakaian seronok dan bicara tanpa tahu dengan siapa dia berbicara.”

“Ibu, aku … :

“Kamu berselingkuh bukan? Kamu mencuri gelang istri kamu bukan?”

“Ibu …”

“Jawab Restu!”

Restu menundukkan kepalanya. Dia tak bisa apa-apa. Kalau dia bilang bahwa dia hanya berteman, tapi gelang itu adalah bukti kuat kelakuan buruknya.

“Apa kamu bisu? Siapa perempuan itu?”

“Dia ….”

“Dia siapa?”

“Namanya Lisa.”

“Aku tidak peduli siapa namanya. Apa hubungan kamu sama dia!”

“Sebenarnya ….”

“Jawab saja, atau aku harus memanggil ayah kamu agar datang kemari sekarang supaya kamu bisa menjawabnya lebih jelas?”

‘Tidak Bu, jangan. Baiklah, saya akan menjawabnya.”

“Cepat !”

“Saya mencintai dia.”

“Apa katamu?” bu Broto berdiri lalu menampar pipi anak laki-lakinya.

“Auggh.” Restu memekik kecil.

“Kamu lupa sudah memiliki istri? Bukankah Wulan lebih cantik dan lebih santun? Dia juga selalu bersikap manis kepada siapapun. Ya Tuhan, apa istri kamu tahu pada kelakuan busuk kamu ini?”

“Saya dan Lisa sudah lama saling mencintai. Bapak dan Ibu yang memaksa Restu menikah sama Wulan,” Restu berusaha membela diri.

“Jadi kamu berpacaran sama wanita seronok itu, dan mengesampingkan istri pilihan orang tuamu? Dimana mata hati kamu Restu!”

“Saya … sangat mencintainya, dan tidak bisa meninggalkannya,” jawabnya lirih.

“Bodoh! Perempuan semacam itu yang bisa mengalahkan Wulan istri kamu? Dan wanita semacam itu yang mendorong kamu melakukan hal nista dengan mencuri perhiasan istri kamu?”

“Maaf Bu. Saya pikir Wulan tidak menyukainya, jadi ….”

“Jadi kamu kemudian mencurinya? Mencuri perhiasan istri kamu untuk kamu berikan kepada kekasih burukmu itu? Kamu tahu, berapa juta harga gelang itu, dan hanya pantas dipakai saat ada pesta atau pertemuan yang istimewa? Dan perempuan itu memakainya saat belanja, sambil mengeluh karena kamu hanya memberinya uang lima juta?”

Restu semakin menundukkan wajahnya. Dia tak mengira Lisa mengatakan semuanya kepada ibunya. Tak ada lagi yang bisa dijawabnya untuk membela diri.

“Dengar. Ambil kembali gelang itu, dan kembalikan kepada istri kamu.”

“Apa?”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 13

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *