Karya Tien Kumalasari
“Mengapa bengong? Lakukan apa perintahku.” Kata bu Broto dengan suara masih meninggi.
“Masa sih Bu, aku harus memintanya kembali?”
“Aku tidak mau dengar alasan kamu. Pokoknya ambil kembali dan berikan kepada istri kamu, karena gelang itu milik dia.”
“Ibu terlalu memanjakan Wulan,” kesal Restu.
“Karena dia wanita yang baik. Bukan wanita yang mau menerima barang curian.”
“Ibu …”
“Kalau kamu tidak mau aku akan minta kepada ayah kamu agar memaksamu,” ancam bu Broto.
“Ibu, jangan begitu dong bu, susah bagi saya melakukannya,” rintih Restu.
“Aku tidak peduli. Kamu bisa mengambilnya dari istri kamu, jadi kamu harus bisa mengambilnya dari tangan dia.”
Restu menundukkan kepalanya. Bingung. Lebih gampang mengambil dari almari Wulan daripada mengambil dari tangan Lisa.
“Itu yang pertama. Yang ke dua, kamu harus memutuskan hubungan kamu dengan wanita memalukan itu.”
“Ibu, aku sangat mencintai dia ….”
“Cinta … cinta … cinta macam apa dengan memanjakannya bahkan dengan cara yang nista? Mencuri itu perbuatan nista. Kamu sadar tidak, dia itu bukan wanita baik-baik. Kalau dia wanita baik, tidak akan dia menuntut apapun dari kamu. Tapi dia … dia banyak menuntut. Ya kan? Ibu tahu. Kamu memberikan uang lima juta hari ini dan dia masih tidak terima. Wanita memalukan seperti dia dan kamu sangat mencintainya? Ya Tuhan, kamu dibutakan oleh sesuatu yang kamu namakan cinta. Itu nafsu! Tahu! Cinta itu sangat pintar memilih. Tidak sembarang cinta dijatuhkan. Ia hanya akan jatuh ke tempat yang baik, yang manis, yang menawan, bukan karena wajahnya tapi karena hatinya. Camkan itu Restu.”
Restu terpaku di tempat duduknya. Kedua permintaan ibunya sangat sulit dilakukannya. Mengambil gelang yang telah diberikannya? Memutuskan hubungan mereka? Mana mungkin? Entah itu namanya cinta atau apa, tapi sungguh berat berpisah dengan Lisa. Dia selalu menginginkannya, merindukannya.
“Baiklah. Kalau kamu sudah mengerti, lakukanlah. Setelah itu akan ada lagi satu permintaan untuk kamu. Aku pergi dulu,” kata bu Broto sambil berdiri, kemudian beranjak meninggalkan ruangannya dengan cepat, meninggalkan Restu yang masih terpaku di tempatnya, dengan menutup pintunya pelan.
Tapi kemudian pintu itu terbuka, dan bu Broto melongok lagi ke dalam dengan sebuah ancaman.
“Kalau kamu tidak bisa melakukannya, biar ayahmu yang mengurusnya.”
Lalu pintu itu tertutup kembali, dengan agak keras.
Restu terhenyak. Ia tahu, ayahnya bisa melakukan sesuatu dengan lebih keras, dan itu sangat menakutkannya. Tapi tidak mudah juga melakukan perintah ibunya.
Restu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, kedua tangannya memijit-mijit pelipisnya, karema tiba-tiba ia merasa pusing.
Ketika ponselnya kembali berdering, Restu bergeming. Ia melirik ke arah ponselnya, dan melihat dari siapa panggilan itu. Kepalanya bertambah pusing ketika tahu bahwa Lisa menelponnya. Ia membiarkannya walau berkali-kali dering itu terdengar. Restu terus memijit-mijit keningnya sambil menyandarkan kepalanya.
Sebuah ketukan pintu terdengar, lalu sekretarisnya masuk. Ada surat yang harus ditandatanganinya, tapi ia hanya meletakkan berkas itu di meja kerja atasannya, lalu berdiri termangu melihat Restu bersandar di sofa, tampak lelah.
“Bapak … sakit?” tanyanya pelan, dan agak ragu.
Restu membuka matanya, dan melihat sekretarisnya berdiri tegak didekat meja kerjanya.
“Maaf Pak … “
“Ada apa?” tanyanya dingin.
“Mohon bapak menandatangani sur_”
“Tinggalkan saja di meja,” hardiknya, membuat sang sekretaris kaget, lalu bergegas meninggalkan ruangan sang pimpinan.
Restu kembali menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia merasa kacau, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ancaman terakhir ibunya sangat membuatnya kecut. Masih baik ibunya memarahinya di kantor, dan itu disadari Restu dengan sesadar-sadarnya, bahwa ibunya masih menjaganya dari kemarahan ayahnya. Artinya ayahnya belum tahu apa-apa tentang kelakuannya. Ia harus bisa memenuhi perintah ibunya, mungkin salah satunya, yaitu tentang gelang itu, tapi untuk berpisah dengn Lisa, alangkah beratnya.
“Ibu seperti sedang marah, ya Mas sopir?” kata yu Sarni kepada Rio ketika sedang menunggu bu Broto.
“Memangnya tadi ada peristiwa apa? Bukankah saat berangkat sepertinya baik-baik saja?”
“Iya sih. Apa perempuan kemayu itu tadi ya, yang membuat ibu kesal?”
“Perempuan kemayu siapa?”
“Tadi ibu ketemu perempuan cantik, tapi ya ampun, kenapa ya penjahitnya, bajunya itu atasnya miring, jadi pundak satunya nggak tertutup gitu, trus bagian bawahnya juga jauh di atas lutut. Tapi kelihatannya ibu bicara baik-baik tuh. Kok kemudian tiba-tiba seperti menahan marah, dan sekarang menemui pak Restu. Apa marahnya sama pak Restu? Tapi kenapa ya?”
“Apa wanita itu ada hungannya dengan pak Restu?” kata Rio seperti bergumam.
“Apa Mas sopir?”
“Nggak kok, nggak apa-apa,” kata Rio yang tak ingin bergunjing tentang Restu dan wanita yang pernah dilihatnya.
Sementara itu bu Broto sudah kembali ke mobil. Wajahnya masih keruh, tapi tak seorangpun berani bertanya. Ia masuk begitu saja, lalu duduk seperti semula.
“Pulang Bu?” tanya Rio sambil menstarter mobilnya.
“Iya, langsung pulang, Rio.”
“Baik Bu,” jawab Rio.
Tak ada yang berbicara diantara mereka bertiga, sampai kemudian memasuki halaman rumah. Tapi begitu masuk ke rumah, bu Broto mengembangkan senyum, ketika melihat suaminya menyambutnya dari ruang tengah. Ia tak ingin tampak sedang marah, agar suaminya tidak bertanya apa sebabnya.
“Bapak kok sudah ada di rumah?”
“Sudah tadi. Apa Rio tidak cerita?”
“Cerita, aku khawatir, bapak sakit, kok tumben ke kantornya cuma sebentar.”
“Kesal aku sama Restu.”
Bu Broto terkejut. Kok sama dengan dirinya.
“Ada apa dengan Restu?”
“Pengeluaran selama setahun, lebih-lebih enam bulan terakhir, sangat membengkak. Aku tidak percaya sama dia. Banyak alasan yang tidak masuk akal.”
“Nah, itu berarti ada hubungannya dengan perempuan bernama Lisa itu. Sudah jelas Restu memanjakannya, dengan uang, bahkan nekat mencuri gelang istrinya,” kata batin bu Broto, tapi tidak ingin mengatakannya.
“Mulai sekarang aku akan aktif lagi di kantor. Semua mengeluaran harus melalui aku. Tanpa tanda tangan aku, tidak ada yang bisa mengambil uang seenaknya,” kata pak Broto kesal.
“Itu bagus Pak, aku setuju. Kalau memang Restu berbuat seenaknya, harus dibatasi semua pengeluaran atas namanya. Harus jelas untuk apa uang itu dipergunakan.”
“Iya Bu, tadi aku cepat pulang, karena kesal pada kelakuan Restu, yang melakukan hal seenaknya. Entah untuk apa uang itu dipergunakan. Kepalaku pusing sekali, lalu aku pulang.”
“Sekarang sudah baikan?”
“Aku sudah mengendapkan emosiku dengan menyanyi.”
“Menyanyi?” tanya bu Broto heran.
“Rio aku suruh menyanyi, aku kadang-kadang mengikutinya.”
Bu Broto tersenyum. Ia senang suaminya bisa terhibur karena Rio.
“Besok kalau dia sudah mengikuti Wulan, aku akan memintanya datang saat aku aku ingin dia menghibur aku. Atau besok kalau ada acara di kantor, akan aku suruh Rio menyanyi.”
“Seperti artis ya dia?” tawa bu Broto.
“Lebih dari artis. Kalau artis menyanyi mendapat imbalan berpuluh atau bahkan beratus juta, tapi Rio menyanyi hanya aku beri seratus ribu, itupun harus dipaksa karena dia selalu menolaknya.”
“Benar, dia mencari uang dengan cara wajar, tidak terlalu berharap banyak. Anak baik.”
“Tuh, kan dugaanku benar, bahwa dia orang baik?”
“Iya, ibu percaya. Bapak memang hebat, itu sebabnya dulu ibu memilih Bapak,” kata bu Broto sambil berlalu, meninggalkan pak Broto yang tertawa lepas. Ia merasa terhibur karena bisa selalu saling mendukung. Hanya saja kali itu bu Broto masih terganggu dengan kelakuan Restu. Di kantor main uang, diluaran main perempuan. Tapi dia memang belum ingin berterus terang kepada suaminya atas kelakuan anaknya. Dia akan mencoba memperingatkannya, dan baru akan bertindak lebih lanjut apabila dia tak mau menuruti keinginannya.
Siang itu Restu menjemput Lisa di kantornya. Walau mengikutinya, wajah Lisa selalu cemberut menahan kesal.
“Lisa, ayo dong, jangan marah dulu.”
“Bagaimana aku tidak kesal sama kamu, transfer uang hanya sedikit, hanya bisa beli dua baju yang biasa-biasa saja, lalu aku menelpon kamu berkali-kali kamu tidak mau mengangkatnya.
“Kamu kan harus tahu, saat itu aku di kantor, dan sedang ada meeting, mana bisa mengangkat telpon? Ponselnya saja ada di ruang kerjaku, sedangkan meetingnya di ruang yang lain,” kata Restu berbohong.
“Setelah tahu, mengapa tidak langsung menelpon aku?”
“Aku belum membuka ponsel dari tadi, dan bukankah aku sudah datang menemui kamu?”
“Tapi aku masih kesal sama kamu. Apa kamu mau menambah uang untuk aku belanja lagi?”
“Lisa, kamu sudah belanja baju banyak. Masih mau baju yang seperti apa lagi?”
“Itu hanya baju biasa saja, dan aku harus beli tas serta sepatu yang serasi dengan baju-baju itu. Kalau aku terlihat modis, bukankah kamu suka?”
“Bagi aku, kamu berpakaian seperti apa saja pasti aku suka.”
“Benarkah? Tapi kalau tidak pantas, aku yang tidak suka.”
“Ya sudah, apapun yang kamu suka … “
“Tapi janji ya, mau nambahin uangnya lagi? Kamu tahu, kantorku akan mengadakan pesta ulang tahun perusahaan, jadi aku harus tampil prima, supaya disayang oleh atasan.”
“Wah, kalau ini membuat aku cemburu dong.”
“Kenapa cemburu?”
“Aku tidak suka kamu di sayang sama atasan kamu.”
Lisa tertawa.
“Atasan aku itu sudah setengah umur. Mana mungkin aku suka sama dia? Dan mana pantas dia berbuat yang tidak-tidak?”
“Yang namanya laki-laki itu, biarpun sudah tua, tetap saja suka sama perempuan. Apalagi yang cantik seperti kamu.”
“Masa?”
“Benar, jadi mulai sekarang jangan lagi berpakaian menarik ketika sedang bekerja. Nanti atasan kamu bisa suka sama kamu. Lalu aku, bagaimana?”
Lisa tertawa keras.
“Kamu kan tahu Restu, asalkan kamu selalu menyenangkan aku dengan uang kamu, maka aku tidak akan berpaling.”
Restu terdiam. Menyenangkan Lisa dengan uang? Kemarin-kemarin masih bisa, tapi sekarang bagaimana? Sedangkan ia tidak lagi bisa mengambil uang di kantor seenaknya.
“Restu ….”
“Hmm …”
“Besok kamu akan menambah lagi uang buat aku belanja kan? Atau sekarang sudah ada?”
“Sekarang belum ada. Tunggu besok ya.”
“Tapi bener ya, besok dikasih?”
“Iya,” kata Restu asal. Padahal dia belum tahu bagaimana caranya bisa mendapatkan uang lagi, sementara uang yang dipegangnya sudah menipis.
“Kemana kita?
“Kali ini aku akan langsung mengantarkan kamu pulang, aku harus bersiap-siap karena akan segera pindah rumah.
“Oh ya, kapan kamu pindah rumah?”
“Dua hari lagi.”
“Senangnya. Aku tak sabar menunggu kebebasan kamu untuk aku setiap saat,” kata Lisa gembira.
Sore itu Restu memang langsung pulang. Kepalanya masih berdenyut pusing gara-gara ibunya tiba-tiba mengetahui hubungannya dengan Lisa, dan juga melihat gelang yang dipakai Lisa.
“Dasar Lisa, mengapa juga memakai gelang itu untuk harian?” keluh Restu berkali-kali.
Dan keesokan harinya Restu benar-benar tidak bisa mentransfer uang seperti janjinya kepada Lisa. Sudah tertutup kemungkinan untuk mengobral uang demi menjerat cinta Lisa kepadanya.
Tapi ketika itu Lisa bisa mengerti, karena Restu punya alasan sedang sibuk pindah rumah, padahal dia tidak melakukan apa-apa. Semua barang yang harus dibawanya pindah rumah sudah dibereskan oleh Wulan dan dibantu Murni, kemudian ditatanya di kamar seperti tatanan di rumah orang tuanya.
“Aku tidak tidur di kamar ini,” katanya kesal kepada Wulan ketika melihat baju-bajunya ditata di almari di dalam kamar yang sedianya untuk mereka berdua.
“Ya, tentu saja. Siapa yang menyuruhmu tidur di kamar ini?”
“Kalau begitu suruh Murni memindahkannya di kamar depan. Disitu aku akan tidur.”
“Kemarin di taruh di situ karena ibu ikut mengaturnya. Nanti biar Murni memindahkannya di kamar manapun yang kamu inginkan,” jawab Wulan sambil meninggalkan Restu menggerutu di ruang tengah. Ia menuju dapur dimana Murni mengatur semua perabot dengan rapi.
“Dapur ini akan menjadi tempat masak makanan kita berdua Murni.”
“Kenapa berdua Bu?”
“Pak Restu tidak pernah makan di rumah.”
“Oh, kalau begitu kita masak apapun yang ibu inginkan.”
“Dan yang juga kamu inginkan,” kata Wulan sambil tersenyum.
“Dan untuk mas sopir juga kan Bu?”
“Oh iya, aku lupa ada mas sopir,” kata Wulan yang masih bertanya-tanya, bagaimana Rio begitu betah berada di rumah keluarga Broto dan sekarang ditugaskan untuk menjadi sopir pribadinya.
“Wulan, aku mau bicara,” tiba-tiba Restu berteriak dari ruang tengah.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 14
Leave A Comment