SELAMAT PAGI BIDADARI (15)

Karya Tien Kumalasari

“Begitu bertemu, kamu langsung menanyakan uang itu. Apa kamu tidak kangen sama aku, setelah berhari-hari tidak ketemu?” tegur Restu kesal.

“Ya kangen sih, aku kan cuma mengingatkan kamu. Jangan-jangan kamu lupa membawanya untuk aku.”

“Tidak, kan aku sudah bilang bahwa aku sudah membawanya.”

“Syukurlah, senang mendengarnya,” kata Lisa sambil menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya.

“Tapi Lisa, mulai saat ini kamu jangan terlalu boros.”

Lisa mengangkat kepalanya, dan memandang tajam Restu.

“Apa maksudmu Mas?”

“Aduh, baru ngomong begitu saja kok kamu marah sih?”

“Bukan marah, aku heran kamu mengingatkan aku agar tidak boros. Apa yang aku lakukan selama ini adalah kebutuhan semua perempuan. Mana ada kata boros?”

“Iya, aku tahu.”

“Apa yang terjadi?”

“Tidak ada,” kata Restu sambil melirik ke arah pergelangan tangan Lisa. Ia melihat gelang itu selalu dipakainya. Ia kemudian teringat apa yang dikatakan ibunya berkali-kali, bahkan saat dia makan siang tadi. Tentang gelang itu, dan harus diambilnya kembali. Ancamannya berat. Ibunya akan melaporkannya pada ayahnya. Dan kalau itu terjadi, bisa jadi dia akan dipecat dari perusahaan, dan akan menjadi pengangguran. Mana dia bisa bersenang-senang dengan kekasihnya?

“Kamu tampak aneh.”

“Aku kangen sekali sama kamu. Kita akan bersenang-senang sampai pagi.”

“Benarkah?”

“Kamu tidak menyambutnya dengan suka cita,” gerutu Restu.

“Aku masih terganggu dengan apa yang tadi kamu katakan.”

“Aku mengatakan apa?”

“Bahwa kamu melarang aku boros.”

“Oh ….”

Restu mencoba tertawa, untuk mencairkan kekesalan kekasihnya.

“Baiklah, maafkanlah aku.”

“Semua perempuan menyukai hal-hal yang indah, yang bagus, yang mahal ….”

“Iya, aku tahu.”

“Bukannya aku matre, tapi itu wajar.”

“Iya, maaf deh.”

“Kamu seperti tertekan.”

“Lelah aku, karena kesibukan pindah rumah itu.”

“Suatu hari kamu akan membawaku ke rumah kamu bukan?”

“Iya, akan aku lakukan. Sekarang jangan berpikir yang lain dulu, pikirkan bahwa kita akan bersenang-senang.”

“Tentu. Kamu harus selalu bisa menyenangkan aku bukan?”

“Iya, saling menyenangkan dong.”

Restu membawa mobilnya keluar kota, ke tempat yang tenang, ke sebuah hotel langganan mereka.


“Rio, maukah mengantar aku belanja?”

“Tentu saja, kamu kan majikan aku?” kata Rio sambil tersenyum.

“Rio, aku ingin semua ini segera berakhir, aku tak tega melihat kamu begini.”

“Mau memecatku?”

“Kamu selalu begitu deh.”

“Kalau tidak, ya sudah, lakukan apa yang kamu inginkan. Pak Broto membayar aku untuk itu kan.”

“Rio …”

“Ayolah Wulan, jangan protes, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Tidak akan mengganggu kamu kok.”

“Hm, baiklah, terserah kamu saja. Sebentar lagi antar aku ya, nungguin Murni dulu.”

“Sama Murni juga?”

“Iya lah, nggak enak berdua sama kamu terus.”

“Kan aku memang sopir pribadi kamu?”

“Tapi ya nggak apa-apa kan, aku ngajak Murni, biar dia senang, nggak harus tinggal dirumah terus.”

“Oke, siap, bidadariku,” kata Rio sambil menatap Wulan, tapi Wulan kemudian membuang muka. Ia tahu siapa dirinya, dan ia harus menjaga kesuciannya sebagai seorang istri, walau sebenarnya begitu susah menghilangkan cinta yang tadinya sudah nyaris sirna.

Rio melangkah mendekati mobil, menyiapkannya di depan rumah, sambil menunggu sang bidadari dan pembantunya keluar.

Tapi tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Rio menoleh, dan dilihatnya pak Broto kemudian turun dari dalam mobil.

“Rio, kalian mau pergi?”

“Bu Wulan katanya mau belanja bersama Murni.”

“Ee, nanti dulu, ayo ikuti aku, aku mau kamu menyanyi dulu untuk aku,” kata pak Broto sambil menarik lengan Rio.

Dan dengan entengnya kemudian pak Broto duduk di teras.

Rio hanya tersenyum-senyum. Saat Wulan pindah kemari, gitar miliknya juga dibawanya, atas perintah pak Broto.

“Sewaktu-waktu aku butuh mendengarkan kamu menyanyi untuk aku, jadi bawalah gitar itu,” katanya ketika Rio mengangkut beberapa barang Wulan yang masih tersisa.

“Saya mengambil gitarnya dulu ya Pak,” kata Rio yang kemudian pergi ke arah samping rumah, dimana ada sebuah kamar yang diperuntukkannya untuk beristirahat ketika dia tidak sedang bertugas mengantar sang bidadari.

Bu Broto langsung ke arah belakang, berpapasan dengan Wulan yang baru saja keluar dari kamar.

“Ibu?” Wulan merangkul ibu mertuanya erat-erat.

“Aku kangen sama Ibu,” bisiknya.

“Ibu juga kangen Nak, ternyata kamu mau pergi?”

“Hanya belanja beberapa keperluan, tidak apa-apa, saya suruh Murni membuatkan minum dulu untuk bapak sama Ibu.”

“Bapakmu sedang pengin nyanyi-nyanyi tuh, sama Rio,” kata bu Broto sambil duduk di ruang tengah.

“Murni, buatkan jus jeruk saja untuk bapak sama ibu ya,” kata Wulan setengah berteriak.

“Baik, Bu,” sahut Murni dari belakang.

Lalu Wulan duduk di depan ibu mertuanya.

“Nanti Ibu sama bapak makan disini ya?”

“Iya, tapi kan kamu mau pergi?”

“Tidak terlalu penting Bu, bisa nanti-nanti, atau besok. Lebih penting menemani bapak sama Ibu di sini.”

“Baiklah, masak apa kamu hari ini?”

“Hanya masak sayur kare, sama lele goreng, apa ibu suka?”

“Ibu sama bapak selalu suka apa saja masakan kamu.”

“Benarkah?”

“Benar dong, masa ibu harus berbohong?”

“Bapak ada di depan ya ?” tanya Wulan saat mendengar dentingan gitar mengalun, dan suara merdu Rio.

“Kamu tahu sendiri kan? Ayah kamu itu kalau datang kesini pasti Rio yang dicari. Itu tuh, katanya biar selalu ingat masa muda-nya dulu.”

Wulan tersenyum.

“Tapi Ibu senang kan, mendengar bapak menyanyi?”

“Terkadang suaranya agak sumbang, tapi nekat,” kata bu Broto sambil tersenyum lucu, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Enggak kok Bu, Wulan sering mendengar, suara bapak bagus kok.”

Murni datang dan menuajikan dua gelas jus seperti perintah Wulan.

“Yang untuk bapak, taruh di depan saja ya Mur.”

“Baik, Bu,” kata Murni yang kemudian meletakkan satu gelas di depan bu Broto, dan membawa yang satu gelas lagi ke arah depan.

“Bagaimana Murni menurut kamu? Kamu suka ditemani dia?”

“Suka sekali Bu, Murni seperti teman buat Wulan. Kalau tidak ada Murni, sepi sekali rumah ini.”

“Murni,” kata bu Broto ketika Murni melintas dari arah depan.

“Ya Bu,” jawab Murni sambil berjongkok di hadapan bu Broto.

“Eh, nggak usah jongkok begitu, berdiri saja,” kata bu Broto sambil tangannya memberi isyarat agar Murni berdiri.

Murni pun berdiri.

“Kamu kerasan tinggal bersama bu Wulan?”

“Sangat kerasan Bu. Bu Wulan sangat baik kepada saya.”

“Bagus. Ibumu juga sudah lama ikut aku, dan dia kami anggap sebagai keluarga juga.”

“Iya Bu, saya tahu.”

“Ya sudah, baik-baik menemani bu Wulan ya?”

“Baik Bu.”

Lalu Murni beranjak ke belakang.

“Dia itu sebenarnya cantik. Bukan cantik, kalau cantik itu biasanya kulitnya kuning bersih, Murni itu agak hitam, jadi ibu bilang dia manis.”

“Benar Bu, manis wajahnya, dan manis perilakunya. Dia juga rajin serta cekatan dalam melakukan semua hal.”

“Syukurlah. Dia mirip ibunya.”

“Ibu, apakah makan siang ditata sekarang?” tanya Murni dari arah ruang makan.

“Mau makan sekarang Bu?” tanya Wulan kepada ibu mertuanya.

“Tanyakan dulu sama bapakmu, kelihatannya masih asyik menyanyi. Biasanya kalau sudah begitu, setiap ditawarin makan lalu bilang … nanti … nanti….”

“Siapkan saja Murni, kan memang sudah saatnya makan,” perintah Wulan.

Murni mengangguk, dan menjalankan tugasnya untuk menyiapkan makan siang.

“Baiklah. Biar Wulan tanyakan ya.”

Wulan melangkah ke arah depan. Dilihatnya Rio dan pak Broto menyanyi bersama dengan sangat gembira. Wulan belum mengucapkan apapun, menunggu sampai lagu yang mereka kumandangkan itu berakhir. Ia berdiri di tengah pintu.

“Wulan, kenapa berdiri di situ? Kemari-lah. Duduk dan ikut menyanyi,” sapa pak Broto sambil melambaikan tangannya, setelah selesai menyanyikan sebuah lagu.

Wulan mendekat, tersenyum.

“Wulan tidak bisa menyanyi, Pak. Hanya suka mendengarkan saja.”

“Kirain kamu kemari mau ikutan menyanyi. Kalau ibumu itu dulu suka menyanyi, dulu … waktu masih muda. Kalau sekarang, dia tidak mau lagi. Katanya suaranya sudah sember.”

Wulan tertawa.

“Wulan mau menanyakan, apakah Bapak mau makan sekarang?”

“Oh, iya … waktunya makan ya? Baiklah, Rio, ayo kita makan dulu,” ajak pak Broto sambil berdiri.

“Saya di sini saja Pak. Biasanya juga di sini,” jawab Rio.

“Tapi tidak, untuk kali ini. Aku mengundang kamu untuk makan bersama kami. Ayo lah. Wulan, dia takut sama kamu, ajak dia.”

Senyuman Wulan melebar, membayangkan Rio takut sama dirinya. Tapi kemudian dia menatap Rio.

“Rio, bapak sudah mengundang, jadi aku juga mengundang kamu, ayo Rio, jangan sungkan,” kata Wulan.

“Rio … “ pak Broto menoleh lagi ke arah Rio, karena Rio masih tetap duduk.

Rio berdiri, ketika Wulan menganggukkan kepalanya.

“Bu, Rio akan makan bersama kita,” kata pak Broto.

“Oh ya, tentu saja, ayolah Rio, jangan sungkan,” sambut bu Broto ramah.

Rio merasa, bahwa keluarga pak Broto adalah keluarga yang baik dan penuh perhatian kepada sesama. Tidak membedakan walau saat ini dia adalah ‘sopir’ di rumah itu. Tapi Rio heran, Restu tidak memiliki hati seindah orang tuanya.

“Ayo duduklah. Murni, tambahkan satu lagi piringnya untuk Rio,” kata bu Broto ketika piring yang ditata masih kurang satu.

Murni bergegas menyiapkannya.

“Duduklah Rio,” kata Bu Broto lagi.

Hanya ada dua buah kursi yang tersisa, setelah pak Broto dan bu Broto duduk berdampingan. Jadi tak bisa tidak, Rio duduk di samping Wulan. Sedikit gemetar ketika ia harus menyendokkan nasi ke piring setiap yang ada di sekitar meja itu.

“Jangan sungkan Rio, kami lebih suka makan bersama begini, seperti keluarga. Tapi kalau Restu tidak ada, kamu pasti sungkan kalau disuruh makan bersama Wulan saja,” kata pak Broto sambil menyendokkan makanannya.

“Saya biasa makan di luar. Murni yang menyiapkannya,” kata Rio. Mana berani dia makan bersama Wulan di rumah itu. Ingin sih, tapi dia kan harus menjaga, jangan sampai ketahuan kalau diantara dirinya dan Wulan tadinya adalah sepasang kekasih.

“Tidak apa-apa sebenarnya, tapi terserah kamu saja. Aku tahu kamu seorang yang sangat santun dan mengerti batasan dalam bersikap,” kata pak Broto.

“Benar.” Sahut bu Broto.

Wulan tak menyahut sepatahpun. Ia masih saja berdebar ketika menyadari bahwa ada Rio di sampingnya, dan dia harus berusaha supaya tidak gugup agar kedua mertuanya tidak curiga.

“Jam berapa Restu pulang?” tanya bu Broto yang tentu saja membuat Wulan bingung. Restu tidak pulang sejak kemarin. Tapi dia berusaha menjawab sebisanya.

“Tidak tentu Bu, kadang sore, kadang malam.”

“Aku akan terus mengawasinya, tapi siang ini aku memang tidak ke kantor. Kangen sama suara Rio,” kata pak Broto.

Wulan bertanya-tanya. Mengawasi saat di kantor, bisa saja. Tapi apakah dia benar-benar pulang setelah jam kantor, mana pak Broto tahu.


Restu memang tidak pulang. Bahkan dirinya dan Lisa sama-sama tidak bekerja hari itu.

Restu menelpon ke kantor dan mengatakan bahwa dia sedang tidak enak badan. Itu dikatakannya, untuk berjaga-jaga, kalau sampai ayahnya datang ke kantor dan menanyakannya. Dan untunglah ayahnya tidak ke kantor hari itu, malah datang ke rumahnya tanpa dia ketahui.

Keduanya masih tergolek di ranjang hotel. Lisa tampak terlelap, tapi tidak dengan Restu. Ia terus teringat ancaman ibunya tentang gelang itu. Tapi bagaimana caranya mengambil dari tangan Lisa? Memintanya kembali, adalah tidak mungkin. Mencurinya, tentu tidak gampang. Berkali-kali dia menyentuh tangan bergelang itu, tapi Lisa selalu merasakannya.

Restu yang merasa bingung, kemudian menemukan sebuah akal. Ia mengambil ponselnya, dan memotret gelang itu, dari segala sisi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 16

Tags: No tags
0

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *