SELAMAT PAGI BIDADARI (18)

Karya Tien Kumalasari

Wulan mendekati Murni yang masih menangis terisak-isak. Baju berantakan, lalu ada noda darah berbecak di sofa. Gemetar Wulan saat berjongkok di depan Murni.

Bayangan mengerikan segera terlintas. Ini ulah siapa? Tak ada orang lain di rumah itu. Wulan bergegas ke kamar Restu, melihat Restu tergolek di ranjang. Bau alkohol memenuhi ruangan di kamar itu.

“Apa yang kamu lakukan?” hardik Wulan kasar. Ia begitu marah.

“Uuuh … per .. gi … pergiii …”

“Kamu bukan manusia Restu! Kamu bi**ng!!” kata tak senonoh itu keluar karena amarah yang tak terbendung.

“Iblis! Jahanam!! Aku benci kamu !! Aku benci kamuuu!! Setan iblis!!” teriak Wulan sambil menggebrak pintu berkali-kali.

“Kamu … diaaam … penghianat … !”

Wulan juga tak bisa menahan tangis. Ia kembali menemui Murni yang masih bersimpuh di lantai.

“Murni,” katanya lembut, sambil membetulkan baju Murni yang berantakan, kemudian menariknya duduk di sofa.

“Jahanam itu memperkosa kamu?”

Murni merangkul Wulan dan kembali terguguk di pundak Wulan. Sedih dan marah bergumpal di dada Wulan. Ini adalah puncak dari semua kejahatan yang dilakukan suaminya.

“Aku tak tahan lagi. Aku akan melaporkannya pada orang tuanya,” geram Wulan.

“Jangan Bu …” isak Murni.

“Ini kejahatan yang tidak bisa dibiarkan, Murni.”

“Jangan sampai simbok tahu, saya tidak ingin simbok menjadi sedih.”

Wulan mengelus punggung Murni.

“Baiklah, nanti kami akan mengaturnya supaya simbok tidak tahu. Tapi kejahatan ini tidak bisa dibiarkan. Aku sudah muak dengan kelakuannya.”

“Maaf Bu.”

“Bagaimana dia bisa melakukannya?”

“Saya … membukakan pintu … ketika mendengar gedoran dipintu depan..”

“Bukankah dia selalu membawa kunci rumah?”

“Entahlah, saya membukakannya … lalu tiba-tiba dia menubruk saya, memaksa saya …” lalu Murni kembali menangis.

Wulan tak perlu banyak bertanya. Dia sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya.

“Saya tak berdaya, ingin menjerit, tap..pi … mulut saya… dibungkam .. ddan …”

“Baiklah, sudah, tidak usah cerita, aku sudah tahu, sekarang kamu mandi ya bersihkan tubuh kamu, dan ganti pakaian kamu. Buang saja pakaian yang kamu pakai ini, sudah robek di sana-sini, dan kotor oleh tangan iblis. Aku tahu ini berat. Aku prihatin atas kejadian ini, aku akan selalu mendukung kamu. Kalau perlu akan aku laporkan dia ke polisi.”

“Jangan Bu, saya mohon … simbok pasti akan tahu.”

Wulan menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Tapi kelakuan Restu tak bisa dibiarkan.

“Kembalilah ke kamar kamu, aku akan membersihkan semua ini, Murni.”

Terhuyung Murni melangkah, sambil menangis tak henti-hentinya. Wulan menuntunnya dengan merangkul pundaknya. Air matanya-pun bercucuran. Miris mendengar kisah Murni yang sangat menyakitkan. Akhirnya Wulan tak sampai hati meninggalkan Murni. Ia menunggu saat Murni membersihkan diri, kemudian mengenakan baju yang lebih bersih.

“Tidurlah Murni, malam sudah larut, bahkan hampir pagi,” katanya lembut, sambil menyeka air matanya sendiri. Tak tega rasanya melihat gadis baik yang selalu menemaninya itu mendapat perlakuan yang sangat biadab dari majikan yang mestinya patut dihormati.


Hari hampir pagi, tapi Wulan melarang Murni untuk keluar dari kamar. Semalaman dia menangis, dan Wulan selalu memeluknya.

Wulan bangkit ketika mendengar langkah di luar pintu.

Ketika keluar, dilihatnya Restu melangkah ke arah dapur dengan terhuyung-huyung.

“Mau apa kamu?” hardik Wulan.

“Minum, kepalaku pusing sekali.”

“Laki-laki b**at!”

“Apa kamu?” tanya Restu sempoyongan dan berusaha menampar Wulan.

Tapi Wulan berhasil menghindar, dan Restu jatuh tertelungkup. Wulan membiarkannya. Hari masih pagi, tapi Wulan segera menelpon ibu mertuanya.

“Ada apa Wulan? Pagi sekali kamu menelpon ibu?”

“Ibu, maafkan Wulan. Ibu sudah bangun?”

“Tentu saja sudah, ibu bahkan sudah mandi.”

“Maukah Ibu datang kemari?”

“Nanti ibu akan ke rumah kamu. Kemarin ibu tergesa-gesa, jadi tidak sempat bicara.”

“Wulan mohon, sekarang Bu,” kata Wulan memohon.

“Sekarang?” tanya bu Broto heran.

“Sekarang Bu, ada hal penting yang akan Wulan katakan sama ibu, tapi tidak di rumah sini.”

“Tampaknya serius sekali Wulan?”

“Sangat serius Bu. Saya tunggu.”

Wulan menutup pembicaraan itu. Lalu menyimpan kembali ponselnya. Sementara itu Restu berusaha bangkit. Badannya terasa lemah. Ketika bangkit, ia merasa alam sekitarnya berputar-putar.

“Minum … tolong ambilkan minum …” rintihnya.

Wulan pergi ke belakang, mengambil segayung air, kemudian di siramkan ke tubuh Restu, membuatnya gelagapan.

“Apa-apaan kamu?”

:Manusia b**at seperti kamu tidak cukup diguyur air. Harusnya disiram bensin lalu disulut. Mengerti?”

Wulan terus menerus bicara kasar. Kemarahannya sungguh tak terkendali.

Restu bangkit, lalu menatap istrinya marah.

“Kurangajar kamu!”

Guyuran air itu membuat kesadarannya sedikit pulih. Ia merasa Wulan sangat kasar, tidak seperti biasanya.

“Kamu lebih dari kurangajar. Kamu biadab, seperti bukan manusia.”

“Tutup mulut kamu!” Restu berteriak.

Wulan masih memegang gayung, ia ke belakang lalu ketika kembali, gayung itu sudah penuh air. Dengan gemas Wulan menyiramkannya lagi ke kepala Restu.

Restu marah bukan alang kepalang. Ia mendekati Wulan dan menjambak rambutnya. Wulan menjerit, lalu Murni tiba-tiba keluar. Ia membantu Wulan mencakar wajah Restu yang masih memegangi rambut Wulan.

Restu melepaskan pegangan di rambut istrinya, menyapu wajahnya yang berdarah.

“Begundal busuk. Kamu berani ?”

Pada saat itu pak Broto dan bu Broto muncul. Sangat terkejut melihat suasana yang kacau balau. Air menggenangi sebagian ruang tengah, dan melihat Restu wajahnya berdarah. Lalu Wulan yang rambutnya acak-acakan.

“Apa yang terjadi?” teriak pak Broto?

Restu sangat terkejut melihat ayah dan ibunya datang.

“Apa yang terjadi, sehingga kamu meminta bapak sama ibu datang, Wulan?” teriak Restu.

Wulan menangis dengan rambut awut-awutan, sementara Murni menyandarkan tubuhnya pada tembok ruangan.

“Wulan, ada apa?” tanya bu Broto lembut.

“Tanyakan pada mas Restu Bu, tanyakan apa yang dilakukannya pada Murni, semalam.”

“Apa yang dilakukannya?” teriak pak Broto.

“Dia memperkosa Murni!” pekik Wulan menahan emosi.

Pak Broto dan bu Broto terkejut.

“Restu !!” hardik pak Broto sambil menatap Restu penuh amarah.

Restu menundukkan kepalanya.

“Aku tidak … aku tidak … “ tergagap Restu menjawabnya, karena sesungguhnya dia belum sepenuhnya sadar.

“Lihatlah Pak, lihat ada darah di sofa itu. Disitu dia memperkosa Murni.”

Murni kembali menangis. Menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

“Apa kamu bukan anakku? Kamu kerasukan iblis? Atau kamu sendiri iblis itu?” teriak pak Broto sambil menampar wajah Restu sekeras-kerasnya.

Restu menutupi wajahnya.

“Tapi … tapi … “

“Tengah malam dia datang sambil mabuk. Murni membukakan pintu, lalu diperkosa oleh dia,” Wulan mengumbar kemarahannya. Tak tahan, lalu semua ditumpahkannya di pagi itu juga.

“Dia berbohong! Dis banyak dusta! Dia berhubungan dengan wanita itu. Mencuri gelang lalu diberikan padanya. Lalu mengembalikannya pada ibu. Tapi yang dikebalikan itu barang palsu. Hanya imitasi!” Wulan berteriak tak mau berhenti.

Pak Broto semakin tersulut amarahnya.

“Jadi itu kelakuan kamu?” teriaknya sambil menjambak rambut anaknya.

“Ampun Pak … saya mohon ampuun … Saya tidak sadar melakukannya …”

“Itu karena kamu mabuk! Kamu manusia tersesat. Dosamu setinggi langit, sedalam lautan!”

“Ampun Pak, saya akan bertanggung jawab, saya akan menikahinya,” katanya gemetar.

“Aku tidak mauuu!” tiba-tiba Murni berteriak.

Wulan mendekatinya, kemudian berusaha menenangkannya.

“Pergi kamu dari sini !” hardik pak Broto.

“Ampun Pak ..”

“Pergiiii !!”

“Pak, tenangkan hati Pak, tenang, jangan terbawa amarah,” kata bu Broto pilu. Sebagai seorang ibu tentu saja dia tak sampai hati melihat anaknya disakiti.

“Biarkan saja. Pergi !! Kamu tidak mendengar kataku? Pergi !! Kamu bukan anakku lagi!”

“Bapaaak,” rintih Restu sambil bersimpuh dihadapan ayahnya, memegangi kedua kakinya memelas.

“Jangan panggil aku bapak. Aku bukan bapakmu!”

“Ampun Bapakkk …” Restu benar-benar menangis.

“Wulan, ambil semua pakaian Restu, biar dibawanya. Setidaknya aku masih merasa iba melihat kamu tak memiliki pakaian.”

Wulan melangkah ke kamar Restu. Dia memasukkan semua pakaian dan semua barang Restu ke dalam kopor, lalu membawanya keluar.

“Itu barang-barang Restu?”

“Dia tidur di situ, tidak pernah tidur di kamar saya.”

Pak Broto bertambah marah.

“Jadi begitu? Dan kamu Wulan, selalu menutupinya?”

“Maaf Bapak,” jawab Wulan sambil menangis.

“Restu! Itu barang-barang kamu! Ambil dan segera pergi !”

“Bapak … biarkan dia memperbaiki kesalahannya,” tangis bu Broto.

“Dia akan memperbaikinya kalau dia sudah sadar apa artinya menderita. Segera pergi, bawa kopor kamu dan besok akan aku urus perceraian kamu!”

“Bapak …”

Pak Broto duduk di sofa, tangannya bersedakap, tak peduli pada Restu yang berdiri dengan lunglai, lalu keluar sambil menarik kopornya.

Bu Broto menubruk suaminya dengan tangis yang mengharu-biru.

“Sudahlah Bu, itu pelajaran untuk dia. Kesalahannya sudah bertumpuk-tumpuk.”

“Tapi dia anak kita Pak.”

“Kalau dia bisa menyadari kesalahannya, maka dia akan kembali menjadi orang baik. Biarkan dia pergi, dan menyadari bahwa hidup bukan hanya bersenang-senang. Ada saatnya manusia terpuruk. Sudahlah, jangan menangis Bu.” Kata pak Broto lembut.


Di luar, Restu berpapasan dengan Rio yang datang dengan sepeda motor bututnya. Dengan heran dia menghentikan kendaraannya. Mulutnya ingin menyapa tapi Restu terus saja melangkah. Rio heran. Restu pergi dengan berjalan kaki, menyeret kopor dan badannya basah, rambut awut-awutan.

“Apa yang terjadi?”

Rio kembali menjalankan motornya, memasuki halaman dan memarkirnya di bawah pokon. Ia melihat mobil pak Broto. Mobil Restu juga terparkir di sana.

Rio melangkah perlahan mendekati rumah, lalu kembali mundur ketika mendengar suara tangis bu Broto.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi? Apakah pak Broto sudah mengetahui kelakuan Restu lalu mengusirnya pergi?” gumam Rio sambil memasukkan motornya ke garasi. Ia akan mengeluarkan mobil Wulan, tapi diurungkannya.

Akhirnya karena tak tahu apa yang harus dilakukannya, Rio hanya duduk di bangku, yang terletak di bawah pohon mangga.

Tapi rupanya kehadiran Rio diketahui oleh pak Broto. Pak Broto segera keluar, dan memanggil Rio. Bukan untuk menyuruhnya menyanyi, tentu saja, karena Rio menatap wajah pak Broto yang gelap bagai tertutup mendung.

“Ya Pak,” kata Rio pelan.

“Antarkan aku ke kantor.”

“Sekarang Pak? Ini masih pagi.”

“Tidak apa-apa, ada yang harus aku lakukan.”

“Baiklah.”

Pak Broto masuk ke dalam sebentar, kemudian keluar lagi, lalu mengajak Rio pergi.


Wulan membersihkan rumah, dan noda darah di soja, dibantu Murni dengan mata sembab karena tak berhenti menangis.

Dia juga membuatkan minum untuk bu Broto dan Wulan, dua cangkir coklat susu seperti biasanya.

Ketika meletakkannya di meja, bu Broto menyentuh pundaknya.

“Maafkan Restu, Murni.”

Murni mengangguk lemas.

“Aku akan melakukan apa saja, untuk menebus kesalahan Restu.”

“Saya mohon, jangan sampai simbok tahu tentang kejadian ini Bu, saya mohon.”

“Mengapa Murni?”

“Saya tidak ingin simbok sedih,” Murni kembali terisak.

“Ya sudah, ya sudah … aku tidak akan mengatakannya. Selanjutnya kamu harus segera bisa menenangkan diri kamu, kami semua bersama kamu.”

Murni mengangguk, kemudian berlalu.

“Kamu istirahat saja dulu Murni. Tidak usah memasak untuk hari ini. Kita memesan saja untuk makan pagi,” kata Wulan.

Murni mengangguk. Rasanya dia memang tak mampu melakukan apapun. Dia memasuki kamar kemudian kembali meratapi nasibnya.

“Wulan, sudah lama hal ini berlangsung, mengapa kamu tidak mau berkeluh pada ibu? Kami mengira rumah tangga kamu baik-baik saja.”

“Maaf Bu, saya juga hanya ingin menjaga perasaan ibu dan Bapak. Saya rela menderita demi menyenangkan bapak sama ibu.”

“Wulan, tapi kamu salah. Kamu akhirnya tidak bisa mengendalikan dia, membiarkan dia terperosok semakin jauh,” kata bu Broto seakan menyalahkan Wulan.

“Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa Bu, dia tidak pernah mau mendengarkan kata Wulan. Itu sudah sejak kami baru saja menikah.”

“Ya Tuhan.”

“Sejak awal pernikahan dia sudah bilang tidak mencintai Wulan, dia mencintai gadis lain. Malah dia menuduh Wulan, bahwa Wulan mau menjadi menantu ibu, karena Wulan gila harta, dan sebagainya.”

“Dan kamu hanya diam?”

“Kalau dilawan juga pasti akan ramai. Karenanya Wulan memilih diam.”

“Tapi aku melihat kalian seperti baik-baik saja.”

“Dia meminta agar kami berpura-pura.”

“Ya Tuhan, pasti kamu sangat menderita.”

“Tidak Bu, demi kebahagiaan bapak sama Ibu yang menyayangi saya. Saya merasa baik-baik saja. Hanya saja, setelah kelakuan dia semalam, Saya tidak bisa menahan kemarahan saya. Saya muntahkan semuanya, saya maki dia, dan saya melaporkan semuanya pada bapak sama Ibu. Sekarang, karena semua sudah terbuka, saya mau pamit pada bapak dan Ibu.”

“Apa?”

“Ijinkan saya pergi Bu.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 19

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *