SELAMAT PAGI BIDADARI (19)

Karya Tien Kumalasari

Bu Broto terbelalak menatap menantu tersayangnya.

“Kamu bilang apa, Wulan?”

“Semuanya sudah selesai Bu, bapak sudah berjanji akan menceraikan kami. Jadi tak ada gunanya saya berada di sini lagi. Ijinkan saya pergi.”

“Tidak Wulan, kamu tidak boleh pergi,” kata bu Broto yang kemudian kembali terisak.

“Mengapa Bu, saya bukan siapa-siapa lagi di sini. Maafkanlah kalau selama ini saya melakukan kesalahan, dan membuat kecewa bapak atau Ibu.”

“Jangan Wulan. Kami sudah kehilangan Restu, jangan sampai kami kehilangan kamu juga. Keputusan kamu salah Wulan. Kamu tetap anakku,”

Wulan terdiam. Ia tadi melihat, wajah pak Broto muram, dan menatap dirinya seperti tak suka. Barangkali karena dia tak pernah mengatakan apapun tentang Restu. Maksudnya untuk menenangkan hati mertuanya, tapi yang terjadi adalah bahwa kemudian mereka seperti menyalahkannya. Rasa bersalah itu yang kemudian mendorong Wulan untuk pergi.

“Wulan merasa bersalah. Ternyata langkah Wulan melindungi mas Restu itu salah. Dia semakin terjerumus karena tak ada penghalang.”

Tapi benarkah itu karena Wulan? Bukankah sudah menjadi tekat Restu untuk terus bersama Lisa? Bahwa sekarang dia mabuk-mabukan, kemudian sampai tega melakukan perkosaan, itu karena merasa bahwa Lisa mengkhianatinya.

“Tidak, jangan begitu. Ada kesalahan kamu yang selalu melindungi dia, tapi tidak semuanya adalah kesalahan kamu. Restu sudah terjerumus karena godaan perempuan itu. Entah mengapa Restu menjadi gelap mata dan melakukan hal kejam terhadap Murni.”

“Dia mabuk Bu.”

“Apakah dia sering mabuk-mabukan?”

“Seingat Wulan baru kali itu saya melihat mas Restu mabuk.”

“Pasti ada sebabnya. Mungkin dia frustasi, entah karena apa. Dia juga tega menipu ibu tentang gelang itu. Pasti dia tak tega memintanya kembali, lalu membuat tiruannya dengan imitasi, karena dia tak punya uang banyak lagi.”

“Mungkin karena uang mas Restu tidak berlimpah seperti dulu, lalu perempuan itu meninggalkannya, entahlah. Beberapa hari yang lalu dia meminjam uang lima juta kepada saya.”

“Kamu memberikannya?”

“Kalau tidak pasti dia akan marah.”

“Pasti perempuan itu yang minta, lalu karena dia tak punya lagi, lalu meminjamnya sama kamu.”

“Mungkin Bu.”

Bu Broto mengusap air matanya. Banyak hal yang membuatnya terluka. Kelakuan anak semata wayangnya, dan diusirnya yang anak oleh ayahnya sendiri.

“Tolong kamu jangan pergi, Wulan.”

“Saya bukan lagi menantu ibu, setelah bercerai. Tidak enak kalau saya terus bersama keluarga ini.”

“Kamu bukan menantu aku lagi, tapi kamu menjadi anakku.”

Wulan terdiam, memang tak bisa dipungkiri, kedua mertuanya amat menyayanginya, tapi setelah kejadian ini, Wulan merasa harus pergi.

Bu Broto merangkulnya sambil menangis.

“Jangan pergi Wulan. Kamu anakku.”


Rio heran karena pak Broto hanya sebentar berada di kantor. Baru sekitar dua jam kemudian dia sudah kembali, dan meminta Rio mengantarkannya pulang.

“Kamu tahu apa yang terjadi, Rio?” tanya pak Broto dalam perjalanan.

“Saya tidak tahu apa yang Bapak maksud.”

“Kamu juga tidak tahu apa yang dilakukan Restu selama ini?”

Rio terdiam. Nada suara pak Broto tidak seperti biasanya. Seperti orang yang sedang tertekan, seperti sedang menahan marah. Rio tidak tahu apa yang terjadi, tapi pak Broto seperti menuduhnya bahwa dia tahu sesuatu. Kelakuan Restu? Dia tahu, tapi apa dia harus berterus terang kepada ayahnya?

“Kelakuan anakku, anakku satu-satunya, yang aku harapkan bisa menjadi pewaris perusahaan milikku. Sungguh mengecewakan.”

Pak Broto mendesah, seperti menahan rasa sesak di dadanya.

“Tadi aku menyuruh salah seorang staf untuk mengurus perceraiannya.”

Rio terkejut. Kali ini ia menoleh ke arah samping. Ia melihat tatapan pak Broto yang redup, tanpa cahaya.

“Perceraian … siapa Pak?”

“Perceraian Restu dan Wulan, masa perceraian aku sama istriku?”

Rio menghela napas. Entah napas perihatin, atau napas penuh syukur. Ada sebuah harapan membayang dalam angan-angannya.“Bercerai?” gumam Rio, seperti kepada dirinya sendiri.

“Itu satu-satunya jalan. Dan aku mengusirnya.”

Rio teringat saat pagi tadi melihat Restu dengan penampilan awut-awutan, tubuh basah, berjalan menarik kopor. Ia ingin bertanya tadi, tapi diurungkannya. Baru sekarang dia mendengar kejadian yang sebenarnya.

“Aku sangat sedih, kecewa, frustasi. Tapi itu adalah pelajaran bagi dia. Kesalahannya sangat berat. Berselingkuh, berbohong, mencuri, dan sekarang …. “

Rio menoleh ke arah pak Broto, seperti menunggu apa yang akan diucapkannya. Agak lama pak Broto kemudian diam. Tapi tiba-tiba …

“Memperkosa … “

“Apa?” kata Rio setengah berteriak. Bayangan buruk melintas. Wulan diperkosa oleh suaminya sendiri? Rio mengepalkan tangannya geram.

“Murni gadis tak berdosa.”

“Apa?” Rio harus meyakinkan apa yang didengarnya, karena ia berada dalam suasana geram dan marah, sehingga tak yakin apa yang didengarnya. Benarkah Murni yang diperkosa?

“Pulang dalam keadaan mabuk, lalu memperkosa pembantu Wulan.”

“Ya Tuhan,” keluh Rio. Tak mengira Restu melakukannya.

“Biarkan dia pergi, dan menerima semua ini sebagai pelajaran. Ia pergi tak membawa apapun, kecuali pakaian yang dibawanya dalam kopor.”

“Saya ikut prihatin …”

“Saya menyesali sikap Wulan. Dia tahu kelakuan suaminya, tapi tidak pernah melaporkannya pada orang tuanya.”

“Barangkali … bu Wulan hanya ingin menjaga perasaan Bapak, sama ibu.”

“Barangkali itu alasannya.”

Tiba-tiba ponsel pak Broto berdering. Dari istrinya.

“Ya Bu. Aku akan langsung pulang. Ibu masih di situ?”

“Bapak harus segera ke rumah Wulan.”

“Ada apa lagi? Biarkan semuanya menjadi tenang dulu. Aku juga ingin menenangkan diri.”

“Wulan mau pergi.”

“Wulan mau pergi?” pekik pak Broto.

Rio-pun terkejut. Spontan dia menoleh ke arah pak Broto.

“Kalau Wulan pergi, akan pergi ke mana dia? Harusnya aku diberi tahu,” kata batin Rio yang tiba-tiba berdebar tak karuan.

“Hentikan, jangan boleh dia pergi.”

“Cepatlah Bapak datang, aku tak bisa mencegahnya.”

Pak Broto menutup ponselnya.

“Rio, ke rumah Wulan,” perintahnya.

Tanpa disuruh dua kali Rio memutar haluan, menuju ke rumah Wulan. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi, dan apa sebenarnya maksud Wulan.

Keduanya terdiam beberapa saat lamanya. Sampai kemudian sampai dihalaman rumah Wulan, dan Rio menghentikannya.

Pak Broto bergegas memasuki rumah. Dilihatnya sang istri duduk di sofa sambil menyandarkan tubuhnya. Ia bangkit ketika mendengar langkah suaminya.

“Pak …”

“Ada apa?” tanya pak Broto sambil duduk.

“Wulan memaksa mau pergi aku sudah mencegahnya, tampaknya dia nekat. Tolong Bapak membujuknya.

“Mana dia?”

“Di kamarnya.”

“Wulaan,” teriak pak Broto agak keras.

Wulan keluar dari kamar. Pak Broto menunjuk ke arah sofa, memberi isyarat agar Wulan duduk di depannya.
Wulan duduk, menundukkan wajahnya.

“Kamu mau ke mana?”

“Biarkan saya pergi ,” lirihnya.

“Pergi ke mana? Pulang ke rumah kamu? Bukankah rumah peninggalan orang tua kamu sudah kamu jual? Saya sedang mengurus perceraian kamu dan Restu. Ada orang yang akan menyelesaikannya.”

“Kalau saya bukan lagi menantu keluarga ini, maka sebaiknya saya pergi.”

“Siapa mengatakan seperti itu?”

Wulan menundukkan wajahnya. Ia merasa pak Broto menyalahkannya karena menutupi perbuatan Restu, sehingga kelakuan Restu semakin menjadi-jadi.

“Saya merasa bersalah, mohon maaf.”

“Untuk apa lagi itu?”

“Saya telah menutupi semuanya, tidak mengatakannya kepada Bapak atau ibu, itu karena_”

“Sudah, aku tahu apa yang akan kamu katakan.”

Wulan mengusap air matanya.

“Sebentar lagi kamu bukan menantu keluarga Broto, tapi kamu akan menjadi anak kami.”

Wulan mengangkat wajahnya.

“Sejak kalian menikah, kami tidak menganggap kamu sebagai menantu. Kamu adalah anak kami. Kamu kagum atas budi baik kamu, sikap kamu, ketulusan hati kamu. Itu sebabnya kami menganggapmu bukan sebagai menantu, tapi sebagai anak sendiri.”

“Saya merasa bersalah.”

“Tidak, apa kamu merasa bahwa aku marah sama kamu? Aku mengerti kamu melakukannya karena apa, dan aku menghargainya. Jangan merasa bersalah. Anakku sendiri yang karena perempuan penggoda itu lalu lupa segalanya. Melakukan hal buruk, dan terkutuk,” pak Broto merasa sedih. Wajahnya muram. Wulan menatapnya dan merasa iba. Ia tahu pak Broto tulus mengatakannya. Ia tahu keluarga itu menyayangi dirinya.

“Jangan pergi,” kata pak Broto sendu.

Wulan merosot turun dari tempat duduknya, merangkul kaki pak Broto dan tersedu di sana.

“Sudah, berdirilah.”

Pak Broto berusaha mengangkat tubuh Wulan dan menyuruhnya kembali duduk.

Tiba-tiba Murni muncul dan bersimpuh di dekat Wulan.

“Kalau bu Wulan pergi, saya mau ikut bersamanya,” katanya dengan suara gemetar.

“Tidak. Siapa yang mau pergi?” kata pak Broto.

“Wulan dan kamu akan tetap di sini. Aku minta maaf atas kelakuan Restu yang tak beradab. Apakah ada tuntutan kamu untuk aku menebusnya?” kata pak Broto.

Murni menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu mau uang? Katakan berapa.”

“Tidak.”

“Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan anakku?”

“Saya minta, jangan sampai simbok mengetahui peristiwa ini. Saya tak mau simbok ikut bersedih. Biar saya menanggungnya sendiri.”

“Baiklah. Simbokmu tak akan mengetahuinya. Ada lagi?”

Murni kembali menggeleng.

“Baiklah, kamu akan tetap menjadi keluarga kami, tinggallah di sini bersama Wulan, karena ini adalah rumahnya.”

Wulan mengangkat wajahnya.

“Tidak usah begitu Pak, ini rumah Bapak dan Ibu.”

“Nanti aku juga akan mengurus agar rumah ini menjadi atas nama kamu. Diam dan jangan membantah.”


Hari-hari terus berjalan, Wulan mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia tak sampai hati menolak permintaan keluarga Broto agar dia tetap tinggal. Rasa bersalah telah diendapkannya, karena pak Broto tidak lagi menganggap Wulan bersalah.

Pagi hari itu ia melihat Rio duduk di tangga teras, sambil memegang gitar, dan memainkannya dengan diiringi suara merdunya.

“I can’t stop loving you …”

“Rio,” panggil Wulan sambil duduk di teras.

“Selamat pagi bidadari …” ucapnya lembut.

“Duduklah di sini.” Kata Wulan sambil meminta agar Rio duduk di kursi.

Rio berdiri, menuruti permintaan Wulan, masih dengan merangkul gitarnya. Wulan berdebar, Rio menatapnya dengan pandangan tajam, serasa menembus ulu hatinya. Wulan mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Kenapa?”

“Semunya sudah selesai.”

“Apa maksudmu? Kamu benar-benar ingin memecatku?”

“Rio, kamu harus menghentikannya. Kamu bukan sopir. Kamu pengusaha yang sukses. Kamu punya nama besar diantara para pebisnis di kota ini.”

“Pak Broto masih minta agar aku menjadi sopir pribadimu.”

“Hentikan Rio,” Wulan memohon.

“Aku senang bisa menatap bidadariku setiap hari.”

“Tidak dengan cara ini.”

“Aku suka, aku suka bisa mengucapkan selamat pagi untuk bidadariku.”

“Rio, aku masih istri orang.”

“Hampir menjadi mantan. Aku bahagia akhirnya kamu terlepas dari dia.”

Lalu tanpa mempedulikan Wulan lagi, Rio melanjutkan memetik gitarnya. Wulan menatapnya lembut. Bukankah bahagia rasanya saat berada di dekat orang yang dicintainya? Tapi Wulan harus menahan diri. Ia tak ingin keluarga Broto mengetahui hubungannya dengan Rio. Ia ingin agar Rio segera pergi dan membuka jati dirinya, tapi entah mengapa, Rio masih menyukai pekerjaannya.

“Baiklah, aku akan ke kantor sekarang, kalau kamu ingin aku mengantarkan kamu, hubungi aku,” akhirnya kata Rio.

“Baiklah. Lebih baik kamu menekuni pekerjaan kamu yang sesungguhnya, aku merasa tidak enak kalau begini terus.

“Kamu tidak suka, aku berada di dekat kamu selamanya?”

“Akan ada saatnya, tapi bukan sekarang.”

Rio mengangguk, kemudian berdiri.

“Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Nanti aku kembali.”


Pak Broto sedang menikmati secangkir coklat susu yang disediakan yu Sarni. Bu Broto menemaninya, sambil melihat acara televisi.

“Bu, makan pagi sudah siap,” kata yu Sarni dari arah belakang.

“Oh iya Ni, sebentar, bapak baru melihat berita.”

“Ada pengusaha yang sangat dermawan. Dia sering membagi-bagikan sembako untuk orang miskin. Itu, mereka sedang di sebuah panti asuhan,” kata pak Broto.

“Bagus sekali kalau Bapak juga melakukannya.”

“Aku sudah sering melakukannya, tapi biasanya hanya berbentuk uang saja.”

“Pak, lihat, itu wajahnya persis seperti Rio bukan?”

“Yang mana?”

“Yang sedang berbincang dengan pak Walikota. Aduh, nggak kelihatan lagi. Bapak sih, tidak memperhatikan. Seperti Rio deh. Persis, bedanya dia memakai jas, kaca mata hitam, tampak gagah sekali. Nah, itu Pak … kelihatan lagi.”

Pak Broto juga heran. Wajah seseorang yang sedang bersalaman dengan pak Walikota, persis dengan wajah Rio.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 20

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *