Karya Tien Kumalasari
“Ada orang begitu persis ya Pak, seperti kembar,” bu Broto masih berkomentar, saat mereka sudah ada di ruang makan.
“Iya, itu semua kan kebesaran Allah.”
“Apakah Rio terlahir kembar ya Pak?”
“Masa, saudara kembar, yang satu jadi pengusaha, satunya lagi jadi tukang ngamen? Jadi sopir kan karena aku yang menyuruhnya menjadi sopir di keluarga kita.”
“Iya juga ya Pak. Itu tadi kan acara di Balai Kota, makanya dihadiri pak Wali kota. Acaranya pagi-pagi sekali, setelah apel pagi.”
“Iya, aku tahu. Itu acara peletakan batu pertama atas bangunan baru untuk perluasan ruangan kantor.”
“Iya, ramai sekali.”
“Ni, nasi gorengnya kok tumben ke asinan nih?” teriak pak Broto setelah menyendok sarapannya beberapa sendok.
Yu Sarni mendekat.
“Masa sih Pak, aduh … maaf ya Pak,” kata yu Sarni penuh sesal.
“Tumben Ni, biasanya tidak begini, dan ini terjadi sudah beberapa hari terakhir ini lho. Hanya saja aku mendiamkannya, barangkali kamu sedang capek atau memikirkan sesuatu.
“Iya Bu, kenapa, soalnya beberapa hari ini kepikiran Murni terus.”
“Kenapa kepikiran Murni? Kangen? Kalau kangen nanti aku suruh Wulan mengajaknya kemari.”
“Iya bener, Sarni tuh lagi kangen sama anaknya, sampai-sampai masak nggak karuan rasanya,” tukas pak Broto,
“Nanti aku suruh Wulan mengajaknya kemari.”
“Oh ya Bu, mobilku agak kempes, tolong Rio sekalian disuruh kemari, biar mengantar aku ke kantor.”
“Baiklah, aku telpon Wulan saja.”
Bu Broto segera mengambil ponsel dan menelpon Wulan.
“Ya Ibu.”
“Lagi ngapain, Wulan.”
“Lagi ngebantuin Murni di dapur nih Bu.”
“Oh, belum pada sarapan? Ini Wulan, bapak mau minta tolong Rio, bisa ke rumah nggak? Mobilnya bapak bocor tuh, jadi Rio mau disuruh nganterin ke kantor.”
“Oh, tapi … maaf Bu, Rio baru … baru minta ijin … ada keperluan katanya.”
“O, nggak ada ya?”
“Iya bu, sudah sejak pagi-pagi sekali. Bagaimana kalau Wulan yang mengantar bapak, Wulan ke situ sekarang ya Bu.”
“Pak, Rio sedang ijin, ada keperluan, bagaimana kalau Wulan yang mengantarnya?” bu Broto bertanya pada suaminya.
“Nggak ah, kasihan Wulan, aku panggil sopir kantor saja,” jawab pak Broto.
“Wulan, kata bapakmu, mau memanggil sopir kantor saja. Tapi kalau kamu mau ke rumah nggak apa-apa nih, ajak Murni, simboknya kangen tuh.”
“Oh, iya Bu, setelah sarapan Wulan mau ke situ bersama Murni.”
Bu Broto menutup ponselnya, sementara suaminya menelpon ke kantor minta dijemput.
“Murni, simbokmu kangen. Kita ke sana ya?” kata Murni.
Setelah kejadian mengerikan itu. Wulan selalu mendampingi Murni. Ia bahkan minta agar Murni tidur di kamarnya dengan menggelar kasur busa di samping tempat tidurnya. Ia merasa harus selalu mendampinginya, karena Murni masih tampak trauma.
“Ketemu simbok?”
“Iya, simbokmu katanya kangen. Itu kata ibu tadi.”
“Apa simbok tahu tentang_”
“Tidak, bapak sama ibu sudah berjanji untuk merahasiakan kejadian itu.”
“O.. ya sudah.”
“Mau ya? Kamu harus bersikap biasa, supaya simbok tidak curiga.”
“Syukurlah kalau simbok tidak tahu.”
Tapi ketika sampai di rumah pak Broto, dan bertemu simboknya, tiba-tiba Murni merangkul simboknya sambil menangis terisak, membuat yu Sarni heran.
“Ada apa kamu ini Mur? Ketemu simbok kok malah nangis?”
“Aku … kangen sama simbok …” sahutnya terbata. Sebenarnya dia ingin menekan segala penderitaannya, menyembunyikannya di hadapan simboknya, tapi rasa dan air matanya tak mau berkompromi. Air matanya terurai begitu saja, membuat yu Sarni bertanya-tanya.
“Kamu seperti sudah tidak ketemu bertahun-tahun saja Mur? Lagi pula rumah bu Wulan kan tidak begitu jauh dari sini?”
“Iya sih Mbok, soalnya … tadi bu Wulan juga bilang kalau simbok kangen sama aku.”
“Kangen sih, tapi cuma kangen biasa saja. Dan agak terganggu karena beberapa hari yang lalu simbok bermimpi buruk tentang kamu.”
“Mimpi apa sih mbok?” tanya Murni sambil duduk, setelah bisa menguasai perasaannya.
“Karena simbok tidur terlalu malam, atau apa, simbok memimpikan kamu. Simbok seperti melihat kamu terjatuh ke dalam jurang, meraih ranting-ranting pohon yang terjurai di sekitar jurang itu, tapi tak berhasil. Simbok berteriak-teriak memanggil nama kamu, tapi tak ada yang mendengar. Simbok menangis meraung-raung, kemudian terbangun. Dan bersyukur karena itu hanyalah mimpi.”
Murni menatap simboknya sambil kembali menitikkan air mata. Ia merasa, mimpi orang tuanya tersebut adalah firasat, ketika dirinya mendapat musibah. Ia menahan keluarnya air mata itu sekuat tenaga, lalu mengusap matanya yang basah.
Ia mencoba tersenyum menatap simboknya.
“Simbok hanya bermimpi kan?”
“Iya, hanya mimpi, tapi mimpi itu terbawa oleh simbok, sampai memasak juga tidak enak. Tapi simbok bersyukur karena kamu baik-baik saja.”
“Iya Mbok, aku baik-baik saja. Bu Wulan memperlakukan aku seperti saudara.”
“Syukurlah, senang simbok mendengarnya. Kamu sudah sarapan? Tadi simbok masak nasi goreng, kata pak Broto ke asinan. Dan bu Broto bilang masakanku tidak seenak biasanya beberapa hari terakhir ini. Mungkin karena terganggu mimpi itu.”
Murni terdiam. Apakah kejadian yang menimpa dirinya dirasakan oleh simboknya? Apakah jerit tangisnya terasa sampai di lubuk hati simboknya?
“Kamu sudah sarapan?” Yu Sarni mengulang pertanyaannya.
“Sudah Mbok, sebelum berangkat sudah sarapan sama bu Wulan.”
“Syukurlah.”
“Simbok jangan memikirkan mimpi itu lagi. Bukankah mimpi hanyalah bunga tidur?”
“Iya benar. Baiklah, simbok sudah lega karena ternyata kamu baik-baik saja.”
“Iya Mbok. Simbok mau memasak? Sini aku bantu.”
“Baiklah, tapi aku buatkan minum untuk bu Wulan dulu, juga untuk kamu.”
“Biar aku saja yang buat Mbok,” kata Murni sambil bangkit dan menyiapkan minum untuk Wulan dan dirinya sendiri.
Sementara itu di ruang tamu, bu Broto asyik menceritakan tayangan di televisi, yang menunjukkan acara dari sebuah perusahaan yang sedang membagikan sembako kepada dua ribu orang warga tak punya, termasuk beberapa anak yatim piatu.
“Itu lho Wulan, heran aku, si boss perusahaan itu, kenapa ya, wajahnya mirip sekali dengan Rio. Seperti pinang dibelah dua.”
Wulan terkejut. Ia sudah tahu bahwa sang boss yang di maksud ibunya adalah memang Rio adanya. Tadi pagi dia pamit pagi-pagi karena ada acara pembagian sembako dan pertemuan dengan Wali Kota bersamaan dengan sebuah acara di Balai Kota. Tapi dia hanya tersenyum mendengarnya. Sedih juga memikirkan, kapan Rio membuka jati diri yang sebenarnya.
“Kamu tidak melihat televisi pagi tadi?”
“Tidak bu, sibuk bersih-bersih kebun sama Murni.”
“O, kalau kamu melihatnya pasti kamu heran. Wajah kok bisa persis.”
“Mirip barangkali bu.”
“Mirip sampai persis. Heran aku.”
“Iya Bu, banyak orang mirip di dunia ini.”
“Iya sih. Tapi kok aku kebayang terus wajah pengusaha itu.”
“Namanya siapa Bu?” Wulan pura-pura bertanya.
“Namanya … aduh … Bram … Bram … siapa ya, nama perusahaannya itu … yaah, ibu lupa … tidak begitu perhatian.”
“Soalnya ibu hanya memperhatikan boss nya saja.”
“Iya, barangkali,” kata bu Broto sambil tertawa. Setelah kehilangan anak laki-lakinya, kehadiran Wulan yang masih berada diantara keluarganya, sangat menghiburnya. Apalagi Wulan sangat lembut hati, dan selalu bisa menyenangkan orang tua. Sesal kehilangan anak itu, oleh suaminya dikatakan sebagai pelajaran atas semua kesalahannya, dan sesungguhnya, membuat jauh di dalam lubuk hatinya, mereka berharap, pada suatu hari Restu akan kembali, setelah bisa mendandani hidupnya.
‘***
Restu menjalani hari-harinya dengan perasaan tak menentu. Ia merasa seperti sebuah layang-layang putus talinya, tak tahu kemana angin menerbangkannya. Beberapa hari terakhir ini dia menginap di sebuah losmen murah, untuk tempat berteduh. Tapi saat uangnya menipis, ia tak tahu lagi harus ke mana.
Hampir sebulan dia terombang ambing dalam ketidak pastian tentang hidupnya, lalu tiba-tiba dia teringat Lisa. Apakah benar Lisa benar-benar tak peduli padanya?
Sore itu dia berjalan ke rumah Lisa. Dan beruntung saat itu Lisa ada di rumah, karena baru saja pulang dari bekerja.
“Lisa,” sapa Restu penuh harap.
“Mas Restu? Apa itu kamu?”
“Biarkan aku duduk dulu, Lisa. Aku letih karena berjalan sampai kemari.”
“Oh ya, silakan duduk,” kata Lisa. Sikapnya tak semanis dulu, yang setiap kali ketemu Restu pasti langsung memeluknya mesra.
“Lisa, Kamu sudah melupakan aku?”
“Lupa? Tidak. Tapi Mas sudah lama tidak menghubungi aku.”
“Aku sering menghubungi kamu, tidak pernah tersambung. Aku kehilangan kamu Lisa.”
“Ya, sudahlah Mas, rupanya memang jalan hidup kita harus bersimpangan.”
“Aku diusir orang tuaku sendiri.”
“Ya ampuun, aku ikut prihatin Mas,” kata Lisa dengan wajah datar. Rasanya ucapan itu hanya keluar dari bibirnya, bukan dari hatinya.
“Berhari-hari aku tidur di losmen murah, karena uangku terbatas.”
“Kasihan kamu Mas, mengapa orang tua kamu begitu kejam?”
“Bolehkah aku menumpang sementara di rumah kamu?”
Lisa membelalakkan matanya.
“Menumpang di rumah aku? Ya tidak mungkin Mas, bagaimana nanti kata tetangga, kita kan tidak ada hubungan apa-apa. Maaf ya Mas.”
“Hanya sampai aku mendapat pekerjaan saja, hanya numpang tidur.”
“Aduh Mas, maaf … sekali lagi maaf, aku tidak bisa.”
Restu menahan hatinya yang perih. Ia menyadari bahwa Lisa sudah berubah. Bahkan sejak uangnya mulai menipis. Ia melihat gelang yang pernah diberikannya, masih melingkar di pergelangan tangannya. Mulutnya ingin berkata untuk meminta kembali gelang itu, tapi ia tak bisa mengeluarkan suara.
“Ya sudah Mas, sebentar lagi ada yang mau nyamperin aku untuk jalan-jalan, jadi tolong Mas pergi dulu, nanti kalau dia datang, pasti akan menimbulkan pemikiran yang tidak-tidak, dikira Mas itu pacar aku.”
Restu berdiri, tidak memerlukan ucapan dua kali untuk dia pergi. Dia sudah tahu bahwa Lisa bukan lagi Lisa yang selalu bergayut dilengannya, selalu manja dalam setiap pertemuan, dan begitu manis saat melayaninya. Itu dulu, saat ia masih bisa menghamburkan uang, dan mengguyur kekasihnya itu dengan limpahan uang dan kesenangan.
Tanpa mengatakan kata permisi, Restu berdiri dan melangkah keluar dari rumah bekas kekasihnya. Saat masih di halaman, masih sempat terdengar Lisa bergumam.
“Huhh, mana penampilan sudah begitu lusuh, uang tidak lagi punya, untuk apa datang kemari? Ada yang lebih kaya dan bisa menyenangkan aku dengan hartanya, Huhh!”
Entah apa lagi omelan yang diucapkan, Restu sudah tidak mendengarnya karena dia sudah keluar dari halaman.
‘***
Ketika Rio kembali ke rumah Wulan di sore hari itu, Wulan segera mengatakan bahwa pak Broto dan bu Broto melihat tayangan televisi pagi harinya, dan melihat wajah seorang boss yang wajahnya mirip Rio.
Rio tertawa.
“Benarkah?”
“Rio, kamu tidak bisa begini terus. Dan tolong jangan bilang aku memecat kamu,” kata Wulan dengan wajah bersungguh-sungguh.
Tapi kembali Rio hanya tertawa.
“Rio, kamu harus menghentikan semua ini. Bapak dan ibu harus tahu siapa diri kamu yang sebenarnya.”
“Iya, aku sedang berpikir bagaimana caranya.”
“Kamu kan punya banyak akal licik,” sergah Wulan.
“Ya ampuun, akal licik. Kesannya aku seperti penjahat sih,” kesal Rio.
“Memang iya.”
“Memang iya, aku penjahat, aku pencuri yang sedang menunggu mangsaku terlena.”
“Apa maksudnya?”
“Aku akan mencuri kembali hati kamu.”
“Rio !!”
Rio terbahak.
“Baiklah, akan ada saatnya aku akan membuka siapa diriku, tapi aku harus menemukan caranya, karena aku juga harus memikirkan, saat aku mengatakan diriku sebenarnya, bukan tak mungkin pak Broto akan marah besar. Marah karena aku telah menipu dia.”
Wulan terdiam. Apa yang dikatakan Rio memang ada benarnya.
“Jadi kamu harus bersabar, nanti aku pasti akan menemukan caranya, untuk membuka tabir itu agar tidak menimbulkan sesuatu yang justru tidak kita inginkan.”
“Baiklah, terserah kamu saja.”
‘***
Hari itu Wulan sedang makan siang dengan mengajak Murni. Hanya mereka berdua karena Rio kembali punya acara yang tidak bisa ditinggalkan.
“Nanti tidak usah memasak lagi Murni. Kita kan hanya berdua. Untuk makan malam bisa membeli dari sini sekalian”
“Iya Bu, terserah Bu Wulan saja.”
Mereka asyik makan, sehingga tidak tahu ketika seseorang berdiri diam di dekat meja mereka.
‘***
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 21
Leave A Comment