Karya Tien Kumalasari
Murni melihat siapa yang datang, memberi isyarat dengan matanya kepada Wulan.
“Wulan,” laki-laki itu menatap Wulan dengan tatapan memelas.
Wulan menoleh dan terkejut.
“Mas Restu?”
“Bolehkah aku duduk?”
Wulan agak ragu. Ia melihat Restu yang tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh. Lalu timbul belas kasihannya.
“Silakan. Mas mau makan?”
Restu mengangguk, sesungguhnya dia memang sangat lapar.
“Mau makan apa dan minum apa?” tanya Wulan.
“Terserah kamu saja,” katanya sambil menundukkan wajahnya.
Wulan segera melambaikan tangan kepada pelayan, dan memesankan makan serta minum untuk Restu.
Wulan menatap Restu. Mata itu begitu kosong. Sikap garang yang dulu selalu ditunjukkannya, tak lagi tampak. Sebulan lalu ayahnya mengusirnya, dan tampaknya dia belum mendapatkan sesuatu untuk pegangan.
“Aku minta maaf,” desis Restu lirih.
Murni diam menunduk. Kebenciannya kepada lelaki di hadapannya masih nyata. Ia tampak tak sudi menatapnya. Ia bahkan bergegas menyelesaikan makannya, lalu pamit untuk pergi ke mobil terlebih dulu.
“Kamu mau menunggu di mobil? Baiklah, ini kuncinya,” kata Wulan sambil mengulurkan kunci mobilnya.
“Murni, maafkan aku,” kata Restu sebelum Murni pergi, tapi Murni tak menjawab. Ia terus melangkah keluar dari rumah makan itu.
Restu menghela napas berat.
“Susah memaafkan dosa sebesar yang aku lakukan, aku sadar.”
“Bertobatlah, agar Allah menolong kamu.”
Makanan yang dipesan telah terhidang, Wulan mempersilakan bekas suaminya untuk makan. Walau kebencian telah mendarah daging, tapi hati yang welas asih masih melingkupi sikapnya. Ia mana tega membiarkan orang kelaparan dan tampak butuh pertolongan.
Wulan masih menghabiskan sedikit makanannya, lalu mereka makan bersama-sama.
Wulan menyelesaikan makannya terlebih dulu, karena memang dia sudah hampir menyelesaikan ketika Restu datang.
“Kamu tinggal di mana Mas?”
“Masih di losmen murahan.”
“Oh ….”
“Wulan, aku merasa bersalah, aku minta maaf ya,” kata Restu setelah menyelesaikan makannya.
“Aku sudah memaafkannya sebelum kamu memintanya. Tapi aku belum bisa melupakannya.”
“Aku tahu.”
“Apa rencana Mas selanjutnya?”
“Wulan, bolehkah aku menebus kesalahanku dengan kembali sama kamu?”
Wulan terkejut. Beruntung dia telah selesai makan, kalau tidak, pasti semua makanan akan terhambur dari mulutnya. Ia lalu meraih sisa minumnya, dan menghabiskannya.
“Aku serius. Bolehkah? Aku akan berbuat baik, dan menjadi suami yang baik untuk kamu,” pintanya memelas.
Wulan menghela napas berat.
“Itu tidak mudah Mas.”
“Tidak mudah itu bukan berarti tidak bisa, bukan?”
“Dan tidak bisa,” kata Wulan tandas.
“Tidak bisa?”
“Maaf Mas. Bapak sendiri yang menceraikan kita, dan aku bersyukur, bapak serta ibu tidak membuang aku juga, walau aku bukan lagi menantunya.
“Apakah surat cerai itu suda ada?”
“Walaupun prosesnya sedang berjalan, aku tak bisa mencabutnya. Walau begitu, aku akan selalu mendoakan kamu, agar kamu segera menemukan jalan hidup yang baik untuk kamu. Kalau kamu sudah bisa menata hidup kamu, aku yakin bapak dan ibu pasti akan bisa menerimamu kembali.”
Restu menundukkan wajahnya. Dari semula dia juga tak yakin Wulan bisa menerimanya kembali. Tadi, saat dia berjalan untuk mencari makan, kebetulan melihat Wulan sedang makan bersama Murni. Ia mencoba mendekatinya, dan ternyata dia mendapatkan jawaban yang menyakitkan. Wulan menolaknya.
“Mas, aku punya sedikit uang, pakailah. Aku harus segera pulang,” kata Wulan sambil meletakkan uang dua juta di meja, dimana Restu masih menundukkan wajahnya.
Restu mengangkat wajahnya, dan melihat Wulan membayar makanannya di kasir, kemudian keluar tanpa menoleh lagi kepadanya.
Restu menghela napas, melirik ke arah setumpuk uang di meja, dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Tak usah merasa malu, karena dia memang membutuhkannya.
‘***
Ketika Wulan memasuki mobilnya, dilihatnya Murni tertidur di jok depan, samping kemudi. Wulan tersenyum haru. Melihat wajah pulas seakan tanpa beban rasa haru segera menyegap dadanya. Gadis baik dan lugu, yang seharusnya terjaga kesuciannya, dirusak oleh amukan iblis berwajah manusia bernama Restu. Wulan tak habis pikir, mengapa Restu tiba-tiba meminta rujuk. Mana mungkin Wulan menerimanya? Sejak dulu tak ada rasa cinta diantara mereka, dan di sepanjang pernikahan yang tidak mereka kehendaki itu, tak pernah sedikitpun ada bahagia diantara mereka. Bahkan saling menyakiti. Kalau Wulan menerimanya, biarpun ada janji manis diucapkan Restu, Wulan tak ingin menerimanya. Ia yakin Restu sudah hampir putus asa, karena tak bisa menemukan jalan untuk hidup mandiri. Sejak dulu bergelimang harta, tak pernah merasakan pederitaan, dan sekarang ia merasa tak bisa melakukan apa-apa, lalu ingin kembali menjalani pernikahan dengan janji-janji yang entah bisa ditepatinya atau tidak.
Wulan menstarter mobilnya, dan perlahan menjalankan mobilnya. Tiba-tiba Murni terjaga. Ia mengucek matanya, seperti bangun dari mimpi.
“Maaf Bu, saya ketiduran,” katanya sedikit malu.
“Tidak apa-apa Murni, kalau masih ingin tidur, tidur saja lagi.”
“Tidak. Sudah hilang kantuknya.”
“Syukurlah. Kita pulang sekarang, ya.”
“Apa yang tadi dia lakukan?”
“Ingin rujuk kembali.”
“Ibu menerimanya?”
“Tentu saja tidak. Surat cerai saja belum keluar, mau rujuk?”
“Seandainya sudah keluar?”
“Tetap saja aku tidak mau. Aku merasa, apa yang ingin dilakukannya tadi, karena dia sudah kepepet, tidak bisa berbuat apa-apa. Bukan karena sadar yang sesungguhnya.”
“Kalau dia kembali, lebih baik saya pergi.”
“Tidak Murni, kamu akan selalu bersama aku.”
“Terima kasih Bu Wulan.”
Ketika Wulan dan Murni memasuki halaman, dilihatnya Rio sedang duduk di teras, sambil membuka-buka laptopnya.
Murni membuka pintu rumah dan membawa belanjaan ke dalam.
“Sudah lama Rio?”
“Sekitar satu jam.”
“Maaf ya, aku belanja terus makan siang di luar. Kamu sudah makan?”
“Belum sih, aku kira bisa makan di sini bersama kamu.”
“Tidak apa-apa, Murni membeli lauk matang yang bisa langsung di santap. Mau masuk ke dalam?”
“Tidak, sopir tidak boleh sembarangan masuk ke rumah majikan,” kata Rio sambil tersenyum.
Wulan membalas senyuman itu.
“Aku sudah bilang, segera hentiksn semua ini kan?”
“Iya, tidak lama lagi aku akan melakukannya.”
“Bukannya aku tidak mau kamu ada di sini setiap hari, aku khawatir bapak sama ibu lebih dulu mengetahui siapa sebenarnya kamu, dan itu mungkin akan berakibat buruk. Bisa saja bapak tersinggung karena kamu selama ini membohongi keluarga Broto.”
“Iya, aku tahu.”
“Segera lakukan Rio, aku ingin hidup kita tenang tanpa ada sesuatu yang kita sembunyikan.”
“Iya, tenanglah, bidadari-ku.”
“Aku ganti baju dulu, sekalian meminta Murni agar menyiapkan makan untuk kamu,” kata Wulan sambil melangkah ke belakang.
Rio mengangguk. Ia mengambil gitarnya, lalu memetiknya di teras, sambil menunggu Murni menyiapkan makan untuknya.
“I can’t stop loving you …
“Mas Rio sering banget nyanyi lagu itu,” kata Murni tiba-tiba, sambil membawakan jus jambu dan sepiring nasi ayam goreng beserta sambal dan lalapan.
Rio tersenyum, sambil melanjutkan alunan lagunya. Murni meletakkan semua yang dibawanya diatas meja.
“I can’t stop loving you, I’ve made up my mind. To live in memories, of the lonesome time, I can’t stop waiting you …
Murni masih berdiri di pintu, mendengarkan Rio menyanyikan lagunya, sampai selesai.
Rio tertawa melihat ulah Murni yang tampak lucu.
“Kamu suka lagunya? Atau suka suaraku?” canda Rio.
“Dua-duanya Mas tapi saya hanya tahu artinya yang awal Mas nyanyikan itu.”
“Apa artinya, coba?”
“Aku tak bisa berhenti mencintaimu, benarkah?” tanya Murni.
“Pinter kamu Murni. Oh ya, di sekolah, kamu juga mendapat pelajaran bahasa Inggris kan?”
“Iya sih, tapi nilai bahasa Inggris saya jelek. Tapi sebenarnya Mas Rio menyanyikan lagu itu untuk siapa? Mas Rio punya pacar ya?”
“Aku sangat mencintai pacar aku.”
“Ya ampuun, indah sekali. Dimana sekarang pacar mas Rio?”
“Ah, kamu … mau tahu saja …”
Murni tertawa lucu.
Ketika Wulan keluar, ia ikut tersenyum mendengar jawaban Rio.
“Memangnya Murni menanyakan apa sih Rio?”
“Menanyakan di mana pacar aku, coba … bagaimana aku harus menjawabnya?”
Murni tertawa.
“Soalnya Mas Rio nyanyinya lagu itu terus Bu. Jadi saya tanya, apa mas Rio punya pacar, kalau punya, di mana pacarnya sekarang, gitu.”
“Nanti kamu akan tahu sendiri siapa pacar mas Rio.”
“Ya sudah, Murni ke belakang dulu, mas Rio silakan makan,” kata Murni yang kemudian beranjak ke belakang.
“Makanlah Rio,” kata Wulan.
“Tungguin dong,” kata Rio manja.
“Ih, nggak sopan, majikan disuruh nungguin sopirnya makan,” canda Wulan untuk membalas candaan Rio tadi.
“Nggak apa-apa, aku memang sopir yang nggak sopan. Mana bisa dibilang sopan, sopir mencintai majikan. Tapi cintaku cinta sopan kok. Bukankah cinta itu bukan dosa?”
Wulan tersenyum manis, lalu duduk di depan Rio.
“Yang berdosa adalah saat cinta tidak bisa meletakkan di mana dia harus berada.”
“Hm, bagus. Dan segar jus jambunya,” kata Rio sambil meneguk jus jambu yang disajikan Murni.
“Cintaku aku letakkan di tempat yang aman kok. Karena cinta yang bisa meletakkan di mana dia harus berada adalah cinta yang tulus.”
“Sudah, makan saja dulu, nggak usah ngegombal.”
Rio tertawa renyah, kemudian menikmati makanannya dengan lahap, karena di tungguin sang ‘majikan’ yang selalu disebutnya bidadari.
‘***
Restu duduk di sebuah taman, menatap alam sekitar dengan takjub. Selama ini ia tak pernah menikmati indahnya alam, sejuknya desir angin dan harumnya bunga-bunga. Hati dan jiwanya tertutup godaan nafsu setan yang selalu terasa indah dan memuaskan. Tapi kemudian menjatuhkannya dalam papa yang tak terampunkan. Bahkan bekas istri yang penuh cinta kasih terhadap sesama, dan berhati lembut-pun kemudian menolaknya untuk dirinya kembali.
Sekarang, di sore yang sejuk karena pohon-pohon rindang menaunginya, semilir angin mengipasinya, harumnya bunga menyentuh hidungnya, ia baru merasa bahwa semua yang dirasa disore ini begitu menenangkan jiwanya. Jiwa yang semula tersesat, jiwa yang tak pernah terpuaskan, sekarang begitu terasa tenang, dan nyaman.
Kemana semua ini sebelumnya? Mengapa tidak sejak dulu dirasakannya?
Restu meraba sakunya, di dalam dompet hanya tersisa beberapa puluh ribu rupiah, kemudian bekas istrinya memberinya lagi dua juta. Untuk apa uang itu? Dulu dua juta bisa lenyap dalam sekejap, hanya untuk mengisi perut dan bersenang-senang. Terkadang malah bisa kurang. Tapi sekarang, yang dua juta itu terasa amat besar artinya. Tak terasa air mata Restu menetes, kemudian dengan segera diusapnya dengan ujung lengan bajunya.
“Ya tuhan … tunjukkan jalan terbaik untuk hidup hambamu ini,” bisiknya dalam sendu, lalu sekali lagi air matanya menitik.
Mengapa baru sekarang mengingat Tuhan? Kemana hilangnya Tuhan dalam kehidupannya selama ini?
“Restu? Apa benar kamu Restu?” sebuah sapa tiba-tiba mengejutkannya.
Dipandanginya seorang laki-laki sebaya dirinya, yang berdiri menatapnya dengan heran. Restu merasa pernah mengenalnya, tapi lupa dimana, dan siapa dia. Beberapa saat lamanya dia mengingat-ingat, kemudian disebutkannya sebuah nama.
“Supri? Supriyanto?”
Laki-laki itu tertawa senang karena akhirnya Restu mengingatnya.
“Aku senang kamu mengingat aku,” katanya sambil duduk disamping Restu.
Supri adalah teman sekolah semasa SMA, kemudian terpisah setelah sama-sama lulus. Supri berhenti sekolah karena ketidak adanya biaya, sedangkan Restu kemudian kuliah sampai selesai. Tapi Supri tampak lebih gagah dan segar sekarang.
“Aku hampir tidak mengenalimu Restu. Aku dengar kamu menjadi pengusaha, melanjutkan usaha orang tua kamu. Tapi coba lihat penampilan kamu. Sungguh aku heran. Apa yang terjadi? Kamu seperti anak hilang, Restu,” kata Supri sambil terus menatap bekas teman sekolahnya.
“Nasibku buruk, aku diusir oleh orang tua aku sendiri.”
“Kamu diusir? Alangkah kejamnya orang tua kamu Restu.”
“Tidak, aku yang salah.”
Kemudian Restu menceritakan semua kisah hidupnya.
Dari kelakuannya yang buruk, sampai lupa segala hal-hal baik, dan terjerumus ke dalam perilaku yang tak terpuji. Semuanya diceritakan, sampai ayahnya mengusirnya tanpa membawa harta.
Supri menatapnya iba. Ia tahu sahabatnya ingin bertobat.
“Sekarang kamu tinggal di mana?”
“Aku menginap di losmen, dan hampir kehabisan uang.”
“Ya ampun, biarpun losmen lebih murah dari hotel, tapi kamu salah memilihnya, sementara uangmu tidak banyak.”
“Aku bingung harus berbuat apa.”
“Karena kamu terbiasa hidup mewah. Sekarang kalau kamu mau memperbaiki hidup kamu, ikutlah bersamaku. Rumahku rumah sederhana, tapi istriku pasti akan senang kalau aku berniat menolong seorang teman, untuk ikut tinggal di rumah aku.”
“Tinggal di rumah kamu? Apa tidak menyusahkan?”
“Yang penting kamu mau atau tidak, setelah itu ikutlah bekerja di tempatku, aku punya bengkel kecil-kecilan.”
“Bengkel apa?”
“Mobil. Tapi kalau kamu masih suka hidup enak, pasti pekerjaan ini tidak enak buat kamu. Seharian bekerja keras, berlepotan oli ….”
“Aku mau, apapun aku mau, Supri.”
“Ambil barang-barangmu di losmen, dan ikut kerumahku.”
Barangkali tangisan Restu telah menyentuh ke ujung langit, dan Tuhan menuntun tangannya untuk melangkah ke suatu jalan, yang semoga adalah yang terbaik untuk hidupnya.”
‘***
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 22
Leave A Comment