Karya Tien Kumalasari
Pagi hari itu pak Broto sedang membaca koran pagi. Secangkir coklat susu sudah dihabiskannya sebelum dingin. Ia hanya ingin sarapan roti tawar bakar oles mentega dan seiris keju, karena harus buru-buru berangkat ke kantor.
Ia menikmati potongan-potongan roti itu sambil membaca koran. Ada headline yang kembali membuatnya heran.
“Seorang pengusaha kaya dan dermawan akan membagikan bantuan berupa uang dan sembako di daerah terpencil. Pengusaha itu adalah R. Bramantyo.”
Pak Broto berhenti membaca, karena melihat tampang pengusaha yang disebutkan. Kembali ia melihat wajah kembarnya Rio.
“Bu, lihat ini Bu, ini yang kita lihat di televisi, yang wajahnya mirip Rio itu kan?” kata pak Broto sambil membuka korannya lebar-lebar dan menunjukkannya kepada istrinya.
Bu Broto mengambil kacamatanya, kemudian mengamati gambar di koran, yang ditunjukkan suaminya.
“Ini? Benar Pak, ini orangnya yang kita lihat di televisi itu. Benar, persis Rio.”
“Heran ada wajah persis seperti ini.”
“Coba nanti kalau ketemu Rio, gambar ini ditunjukkan. Pasti dia senang, wajahnya persis dengan wajah seorang pengusaha besar,” kata bu Broto sambil tertawa.
“Ya sudah Bu, aku harus datang pagi, karena ada pertemuan dengan seorang utusan dari sebuah perusahaan.”
“Tamu penting ya pak? Pagi-pagi sekali?”
“Bukan begitu, sebelumnya aku harus bicara dengan staf, dan mempelajari surat yang sudah dikirimkan.”
“Ya sudah pak, aku kan nggak tahu soal perusahaan. Harusnya ada Restu, supaya pekerjaan Bapak lebih ringan,” sesal bu Broto.
“Sudah, jangan mengingat-ingat dia lagi. Biarkan dia belajar menjalani hidup, dan tahu bagaimana rasanya mengais rupiah demi rupiah, bukan hanya menikmati kesenangan sengan menghamburkan uang, yang akhirnya membawanya kepada perilaku yang tidak terpuji.”
“Iya, benar Pak, tapi bagaimanapun aku kan ibunya, pantas kalau aku merasa kehilangan.”
“Memangnya hanya ibu saja yang merasa kehilangan? Bapak ini apalagi. Tapi kita tidak boleh cengeng. Berpikirlah bahwa Restu sedang belajar menjalani hidup.”
“Ya Pak.”
“Aku berpikir, Wulan akan aku suruh belajar tentang mengendalikan sebuah usaha.”
“Wulan itu pintar. Dia juga pernah kuliah, meskipun belum selesaai karena kemudian orang tuanya meninggal.”
“Itulah Bu, mungkin mulai bulan depan akan aku minta dia membantu aku di kantor.”
“Iya Pak, nanti ibu bantu bicara sama Wulan, mudah-mudahan dia bersedia.”
“Ya sudah, bapak berangkat dulu ya.”
“Iya Pak, hati-hati di jalan.”
“Katanya Ibu mau belanja hari ini?”
“Iya, nanti aku minta tolong Rio supaya bisa mengantar.”
“Telpon saja dari sekarang.”
“Sekarang kan belum datang Pak, baru jam setengah delapan, biasanya Wulan menyuruh datang antara jam sembilan.”
“Ya sudah, terserah Ibu saja,” kata pak Broto sambil berjalan menuju ke mobil, dimana sopir dari kantor sudah menjemputnya.
“Murni, kamu membuat apa untuk sarapan kita?” tanya Wulan pagi hari setelah bersih-bersih rumah.
“Saya sedang merebus sayuran, ada sambal pecel di kulkas.”
“Bagus Murni, nasi pecel, sudah lama aku tidak makan pecel.”
“Kebetulan kemarin beli tauge dan mentimun di tukang sayur, sementara di kulkas juga ada bayam dan kacang panjang.”
“Hm, sedap. Sama bikin telur ceplok ya Mur?”
“Mau nggoreng telur ceplok, tiga saja ya Bu, sama mas Rio.”
“Hari ini Rio tidak datang, katanya ada urusan. Jadi buat untuk dua orang saja. Aku, sama kamu.”
“Baiklah, kalau begitu. Eh Bu, ada telpon tuh,” kata Murni.
Wulan segera berlari ke arah ruang tamu, ketika mendengar ponselnya berdering. Ternyata dari ibunya. Sejak Restu diusir, pak Broto meminta supaya Wulan menganggap mereka orang tuanya, jadi dia kemudian juga menganggap mereka sebagai pengganti orang tuanya yang sudah meninggal.
“Hallo Ibu,” sapanya begitu membuka ponsel.
“Wulan, sedang apa kamu?”
“Baru selesai bersih-bersih rumah, kalau Murni sedang membuat pecel.”
“Wah, enak sekali.”
“Ibu mau? Nanti Wulan kirim ke rumah.”
“Nggak usah Wulan, Sarni sudah masak tumpang”
“Wah, itu juga enak.”
“Rio sudah datang? Nanti kalau sudah datang, ibu minta agar dia mengantarkan ibu dan Sarni belanja,”
“Oh, maaf Bu, hari ini Rio tidak datang, katanya ada keperluan di kampungnya, mungkin dua atau tiga hari.”
“Oh, begitu ya.”
“Kalau Ibu mau belanja, biar Wulan saja yang mengantarkan sama Murni.”
“Benarkah? Pasti menyenangkan belanja berempat.”
“Sekarang Bu? Tapi Wulan belum mandi.”
“Tidak sekarang, cuma mau belanja kebutuhan rumah, tidak tergesa-gesa. Lagi pula kamu belum sarapan juga.”
“Cuma sarapan, tapi mau mandi dulu.”
“Selesaikan semuanya, ibu juga mau mandi dulu.”
“Baiklah, saya juga akan bilang sama Sarni bahwa kita mau belanja bersama.”
Wulan meletakkan ponselnya, lalu bergegas ke belakang.
“Mana sayurnya, aku bantu memotong-motong sebentar.”
“Sudah selesai Bu, tinggal menggoreng telur.”
Kalau begitu aku mandi dulu saja, demikian juga kamu, soalnya kita akan mengantarkan ibu belanja, pasti dengan yu Sarni juga.”
“Benarkah?” tanya Murni gembira.
“Kamu catat juga apa kebutuhan kita sendiri, jadi kita bisa sekalian belanja.”
“Baik Bu. Tapi maaf Bu, apa ibu punya obat pusing?”
“Ada di almari obat. Kamu sakit?”
“Tidak, hanya sedikit pusing, mungkin karena tidur kemalaman tadi.”
“Kamu juga sih, mengapa tidur sampai malam?”
“Menyetrika baju Bu, sudah tiga hari menumpuk.”
“Setelah makan baru kamu minum obatnya, atau kamu nanti nggak usah ikut belanja saja ya?”
“Ikut Bu, hanya sedikit pusing, nanti setelah minum obat pasti sudah sembuh.”
“Baiklah, aku siapkan obatnya dulu, kalau begitu.”
Sudah seminggu Restu bekerja membantu Supri di bengkel. Supri senang karena Restu cepat mengerti tentang mesin hanya dalam waktu singkat. Dalam keadaan terpaksa harus bergerak, tak bisa tidak Restu harus menjalaninya. Setiap hari berkutat dengan mesin, sampai tubuh berkeringat dan berlepotan oli, tidak dirasakannya. Tiba-tiba Restu merasa, bahwa menikmati uang dengan keringat bercucuran terasa nikmat. Baru sekarang dia tahu, bahwa untuk mendapatkan uang harus disertai dengan usaha dan jerih payah yang tidak mudah. Nikmat mencari uang inilah yang membuka mata hatinya tentang kehidupan yang sebenarnya. Bukan menghamburkan uang dengan mudah, dan tanpa perhitungan, untuk kesenangan yang ternyata hanyalah sesuatu tanpa makna.
“Istirahat dulu Restu, ini aku bawakan nasi bungkus untuk kita semua,” kata Supri yang tadi pamit sebentar untuk membeli makanan. Ada dua karyawan lainnya yang ikut membantu dalam usaha bengkel itu.
“Aku selesaikan dulu ini, katanya akan diambil jam satu siang.”
“Nggak apa-apa. Ditinggal makan dulu, pasti selesai, nanti biar dibantu Sardi, kan mereka sudah selesai.”
Restu terpaksa meninggalkan pekerjaannya, setelah mencuci tangan dia segera makan bersama, duduk di lantai, dan melahap dengan nikmat.
“Kamu menyesal Restu, terpaksa menjalani hidup yang sederhana seperti ini? Tubuh belepotan olie dan keringat bercucuran, lalu makan dengan berkelesotan di lantai. Makan nasi bungkus pula,” kata Supri sambil menatap Restu yang menikmati makan siangnya dengan lahap.”
“Aku senang melakukannya. Ini adalah pembelajaran untuk hidup aku. Terima kasih kamu telah menarik tubuh dan jiwaku untuk sesuatu yang sangat bermakna dalam hidup ini.”
Supri tertawa.
“Akhirnya kamu tahu bukan, bahwa untuk sesuap nasi kita harus mengucurkan keringat kita.”
“Kamu benar, dan menikmati makan dari hasil keringat adalah nikmat. Aku juga berterima kasih karena kamu telah membawa aku untuk mengenal Tuhan, sesembahan segala umat, yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang selalu mendengar jerit orang yang bertobat.”
“Aku bersyukur kamu bisa memahami ketika Allah memberi kita cobaan. Dulu aku pernah menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Selepas SMA, aku jatuh cinta kepada seorang gadis, dan menikahinya dalam hidupku yang masih serba kekurangan. Aku bekerja di sebuah bengkel, menabung sedikit demi sedikit, lalu bisa membuat bengkel kecil-kecilan seperti ini. Jadi kalau hidup sengsara, aku sudah kenyang menikmatinya. Tapi sekarang aku bisa merasakan hidup enak. Bukan karena harta berlimpah, tapi karena aku bisa makan berkecukupan bersama anak dan istriku, serta bisa memberi peluang kerja bagi orang lain, dan aku menamakannya, ini adalah anugerah,” kata Supri panjang lebar.
Restu mengangguk mengerti. Ia bisa menerima apa yang dikatakan sahabatnya, dan siap menjalani apapun, demi kelanjutan hidupnya.
“Siapa tahu, nanti kamu bisa menabung, lalu bisa mendirikan bengkel juga dan tidak hanya ikut aku.”
“Aamiin,” kata Restu bersemangat.
Tapi saat mereka sedang makan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Mobil mewah, dan seorang berpakaian perlente, walau setengah tua, turun dari mobil itu.
“Mas, tolong isi anginnya ya.”
Restu hendak berdiri dengan meninggalkan makanannya, tapi salah seorang temannya telah mendahuluinya.
“Biar aku saja.”
“Tiba-tiba kaca jendela mobil di sebelah kiri terbuka, dan seorang wanita cantik melongok keluar.
“Mas, agak cepat ya, kami sedang tergesa-gesa,” kata wanita itu, padahal salah seorang karyawan bengkel sedang mengerjakan pengisian angin di mobil itu.
“Sabar, sayang,” kata laki-laki itu.
Restu menoleh ke arah mobil, karena merasa mengenal suara wanita itu. Dan terkejut karena dia adalah Lisa, dan laki-laki itu adalah pak Thomas, atasan Lisa..
Ada rasa marah yang kemudian merambati jiwanya. Marah karena wanita bernama Lisa itulah yang telah membuatnya terjerumus dan lupa segala-galanya, kemudian saat dia butuh pertolongan, dia mengacuhkannya. Tentu saja, karena Lisa bukan gadis yang memiliki cinta seperti yang dulu dirasakan Restu. Lisa hanya ingin uangnya, hartanya, dan kesenangan yang diberikannya. Ketika Restu datang dalam keadaan susah, mana sudi dia peduli lagi?
Ketika itu Lisa juga menoleh ke arahnya, tapi tentu saja ia tak mengenalinya lagi. Restu yang tampan dan gagah, sekarang tampak kurus dan kotor berlepotan oli.
Restu merasa lega ketika mobil itu berlalu.
“Kamu tampak aneh. Kenal sama mereka?”
“Dia Lisa,” jawab Restu singkat.
Supri tentu saja mengerti, karena Restu telah menceritakan semua yang dialaminya sebelum mengikuti dirinya dan mau bekerja untuknya.
“Oh, dia? Perempuan nggak bener, dandanannya menyolok, kata-katanya kasar. Siapa pula yang menjadi korbannya? Kamu tahu?”
“Dia pak Thomas, atasannya sendiri. Sudah lama dia suka sama Lisa.”
“Ya sudah, kenapa kamu kelihatan kesal? Cemburu?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Dia sudah lama aku lepaskan dari ingatan aku, tapi ketika melihat dia, aku ingin marah.”
“Hanya ingin, tapi jangan marah dong. Dia itu juga termasuk orang yang menunjukkan sama kamu, bahwa cinta yang sejati. Bukan milik dia.”
“Benar. Baiklah, aku tidak akan marah lagi.”
“Lanjutkan makannya, dan istirahat sebentar untuk shalat.”
Bu Broto dan Wulan asyik berbelanja, sambil berbincang, karena Sarni dan Murni membantu memilih barang yang mereka butuhkan.
“Apa yang ibu katakan itu benar, Wulan. Bapak ingin kamu membantunya di kantor.”
“Tapi Wulan kan belum pernah bekerja Bu, mana bisa Wulan melakukannya?”
“Mengapa tidak bisa. Kamu itu kan pintar. Dulu karena tahu bahwa kamu berprestasi di kuliah kamu, bapak kan ingin membiayai kuliah kamu. Kamu menolak sih.”
“Iya Bu, soalnya Wulan kan sudah banyak merepotkan Bapak sama Ibu, dan sebenarnya Wulan ingin fokus menjalani hidup berumah tangga.”
“Sayang Restu menyia-nyiakan kamu.”
“Tidak apa-apa Bu, memang beginilah garis kehidupan yang harus Wulan jalani. Wulan bahagia karena mendapatkan bapak dan Ibu sebagai pengganti orang tua Wulan yang sudah tak ada.”
“Kamu anak baik, kami sangat menyayangi kamu.”
“Bu, daging di rumah tinggal sedikit, ditambah lagi ya Bu,” kata yu Sarni yang masih memilih-milih sayur.
“Iya, tidak apa-apa Ni.”
“Baiklah, kamu boleh memikirkannya Wulan, nanti kalau sudah ada waktu, bapak pasti akan bicara sama kamu. Aku hanya memberi tahu tentang keinginan bapak itu, supaya kamu bisa memikirkannya.”
“Iya Bu, nanti akan Wulan pikirkan.”
“Sarni, beli tomat yang masih segar dan matang, tadi bapak ingin jus tomat juga,” perintah bu Broto.
Ketika mereka selesai berbelanja, Sarni dan Murni segera membawa belanjaan mereka, mengikuti kedua majikan mereka.
“Kamu ingin beli sesuatu, Wulan?”
“Sepertinya tidak Bu.”
“Mau melihat-lihat baju?”
“Kalau Ibu ingin, Wulan antarkan. Tapi Wulan belum ingin beli.”
“Ya sudah kalau begitu, kita pulang ya.”
Wulan mendahului karena harus mengambil mobil di parkiran, dan minta agar yang lain menunggunya di lobi.
Tapi tiba-tiba Murni memegangi kepalanya. Yu Sarni terkejut, melihat wajah Murni juga tampak pucat.
“Kamu kenapa Murni?” tanya ibunya cemas.
“Nggak apa-apa Mbok, ini sudah dari pagi, aku lupa minum obat yang diberikan bu Wulan.”
‘***
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 23
[…] Bersambung ke Jilid 22 […]