SELAMAT PAGI BIDADARI (23)

Karya Tien Kumalasari

Yu Sarni memijit-mijit tengkuk Murni.

“Aku tidak apa-apa Mbok, memang tadi pagi merasa pusing, tapi aku lupa minum obat yang diberikan bu Wulan,” kata Murni.

“Kok bisa lupa itu bagaimana sih Mur, memperhatikan kesehatan sendiri itu kan penting,” tegur bu Broto.

“Iya Bu, nanti sampai di rumah saya akan minum obatnya.

Ketika Wulan sudah datang dengan membawa mobilnya, yu Sarni memapah Murni agar masuk ke dalam mobil. Wulan terkejut, melihat Murni sangat pucat.

“Ada apa Murni?”

“Katanya pusing, jawab bu Broto yang kemudian duduk di samping kemudi, sementara yu Sarni memijit-mijit kepala Murni di belakang.

“Tadi pagi memang dia bilang agak pusing. Kamu sudah minum obatnya Mur?”

“Maaf Bu, saya lupa minum obatnya.”

“Lhho, bagaimana sih kamu? Sekarang pusing sekali? Ke dokter saja ya?”

“Tidak … tidak … saya tidak mau ke dokter. Mau istirahat saja di rumah.”

“Ya sudah, ini mengantar ibu, lalu langsung pulang supaya kamu bisa segera beristirahat.”

Tapi dalam hati Wulan, sebenarnya ada perasaan was-was. Sebulan lebih yang lalu, terjadi perkosaan itu. Adalah hal yang mungkin kalau sekarang Murni hamil.

“Ah, tidak … jangan …” gumam Wulan yang ternyata terlontar dari mulutnya, membuat bu Broto heran.

“Kamu bilang apa Wulan?”

“Oh, eh … apa Bu?”

“Kamu bilang … tidak … jangan. Apanya yang jangan?”

“Eh … itu Bu, saya tadi … seperti meninggalkan kompor masih menyala… mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa,” jawab Wulan sekenanya. Dia bersyukur karena tiba-tiba bisa menemukan jawaban yang tepat. Walau begitu, kekhawatiran itu tetap ada.

Setelah mengantarkan bu Broto dan yu Sarni, dengan disertai pesan yu Sarni wanti-wanti agar Murni segera minum obatnya, maka Wulan segera meluncur menuju pulang.

Ia membantu membawa belanjaan, karena melihat Murni tampak lemas.

“Murni, kamu cuci kaki tangan dulu, ganti baju, lalu minum obatnya, dan segera tidur. Kalau pusingnya tidak reda, nanti sore aku antar kamu ke dokter.”

“Tidak Bu, jangan.”

“Murni, kalau sakit tidak bisa kita obati sendiri, maka hanya kepada dokter-lah kita minta obatnya.”

“Tidak Bu, saya takut di suntik.”

Wulan terkekeh.

“Murni, kamu itu bukan anak kecil lagi lhoh. Kok bisa-bisanya takut disuntik? Disuntik itu kan tidak sakit, hanya seperti digigit semut,” kata Wulan seperti menasehati seorang anak kecil.

“Tapi Murni takut Bu, sungguh.”

“Kamu tahu tidak, dokter itu tidak selalu perlu menyuntik pasiennya. Kalau sakitnya biasa saja, mana perlu disuntik?”

“Saya ke belakang dulu saja ya Bu, Maaf, barang-barangnya saya tata nanti sore ya Bu.”

“Sudah, tidak usah mikir barang belanjaan, nanti aku yang atur. Segera minum obatnya dan istirahatlah.”

“Baik Bu.”


Wulan termenung sampai beberapa saat lamanya. Kekhawatiran kalau sampai Murni hamil selalu menghantuinya. Ia tak mau Murni menderita. Kasihan gadis, lajang, harus memelihara seorang bayi.

“Ah, aku berandai-andai terlalu jauh. Hanya pusing, mengapa aku juga ikut pusing? Mudah-mudahan Murni hanya pusing karena kecapekan atau masuk angin,” gumamnya sambil menata barang-barang belanjaan yang tadi dibelinya. Ia tak ingin Murni melakukannya karena badannya sedang tidak enak.

Ketika sedang asyik itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Senyum Wulan merekah, melihat wajah tampan dengan mata teduh di layar ponselnya itu tampak seperti menatapnya dengan tatapan memikat.

“Ya, Rio,” sapanya sumringah.

“Hallo, bidadari … lagi ngapain.”

“Ini, lagi menata belanjaan di dapur.”

“Tadi kamu belanja?”

“Mengantarkan ibu belanja, sekalian aku juga belanja.”

“Menyesal beberapa hari bakal tidak menikmati masakan kamu.”

“Ah, tidak lama kan? Urusannya belum selesai?”

“Iya, belum kelar, nanti aku akan membuat kejutan untuk kamu.”

“Kejutan apa ya?”

“Namanya kejutan, ya tidak bisa dikatakan sekarang dong. Nanti kamu tidak akan terkejut lagi.”

“Hmm, coba aku tebak …”

“Oke, tebak saja.”

“Kamu mau memberi aku oleh-oleh.”

“Tidak. Memangnya aku kemana?”

“Mmm … kamu mau melamar aku?”

Rio terbahak.

“Idiih, sudah ingin dilamar ya?”

“Nggak, bercanda … tahu. Baru saja diurus dan surat cerai belum kelar, sudah minta dilamar?”

“Iya lah, kan akunya yang ngebet.”

“Rio, jangan bercanda.”

“Baiklah, ya sudah … aku masih banyak urusan nih.”

“Lho, masalah tebak-tebakan tadi bagaimana?”

“Tidak usah ditebak, nanti juga kamu akan tahu,” kata Rio sambil tertawa, kemudian menutup pembicaraan itu.”

Wulan tersenyum. Rio selalu bisa membuatnya tertawa. Lalu Wulan menyelesaikan pekerjaannya menata barang-barang, kemudian masuk ke kamar Murni. Dilihatnya Murni pulas, tapi wajah itu masih tampak pucat. Wulan mendekat, dan memegang kening Murni, takutnya dia panas. Tapi tidak. Wajah Murni justru berkeringat.

Wulan merasa sedikit lega.

“Tapi kalau nanti sore masih mengeluh juga, aku pasti akan memaksanya pergi ke dokter.”

Lalu Wulan menyesal karena tadi tidak menceritakan keadaan Murni kepada Rio, dan kekhawatiran yang melandanya. Habis, Rio kelihatan masih sibuk. Ia harus menunggu sampai Rio datang, sehingga ada teman untuk berbagi, karena Wulan benar-benar gelisah karena sakitnya Murni.


Yu Sarni yang sangat khawatir, tampak begitu gelisah.

“Kenapa sih Ni, kamu mondar mandir seperti orang bingung?”

“Ini Bu, mau menelpon Murni, bagaimana keadaannya sekarang.”

“Anakmu itu hanya kecapekan, lalu masuk angin, kamu kok begitu bingungnya sih Ni.”

“Tadi kelihatan pucat sekali Bu, tentu saja saya khawatir.”

“Kalau kamu khawatir, telpon saja sana. Tapi kalau dianya sedang tidur nanti malah mengganggu. Kamu telpon Wulan saja, menanyakan keadaannya.”

“Oh gitu ya Bu, saya telpon bu Wulan saja.

“Ada apa Yu? Mau ngomong sama Murni?” tanya Wulan saat yu Sarni menelpon.

“Iya Bu, kalau bisa.”

“Bisa saja sih Yu, tapi sekarang Murni sedang tidur. Pulas sekali tidurnya.”

“Oh, syokurlah kalau begitu. Yu Sarni sangat khawatir, karena tadi wajahnya kelihatan pucat.”

“Murni hanya kecapekan Yu, tidak usah khawatir. Nanti kalau dia sudah bangun biar menelpon yu Sarni.”

“Baiklah Bu, terima kasih banyak. Maaf lho, mengganggu.”

“Tidak apa-apa, aku sedang melihat acara televisi nih, tidak sedang repot.”

Yu Sarni merasa lega.

“Bagaimana?” tanya bu Broto.

“Kata bu Wulan, Murni sudah tidur pulas. Katanya juga, Murni hanya masuk angin.”

“Nah, sekarang kamu lega kan?”

“Iya Bu, sangat lega. Saya ke belakang dulu, menyiapkan minuman, barangkali bapak segera pulang.”


Bengkel Supri di siang hari ini sedang banyak pelanggan. Beberapa mobil menunggu untuk di servis atau di betulkan mana yang kurang sempurna.
Tiba-tiba ponsel Supri berdering.

“Hallo … pak Bram? Oh … di mana? Baiklah, saya akan segera mengirimkan orang saya ke situ. Baiklah, segera.”

Supri menutup ponselnya, lalu menatap Restu yang sedang membetulkan mesin.

“Restu. Tolong ke ke alamat Jl. Bhayangkara 10 ya, ada langganan yang ban nya kempes, dan meminta kita untuk memasang ban serepnya.”

“Ini aku belum selesai.”

“Biar aku saja. Pak Bram ini kan langganan. Sebaiknya segera dilayani.”

“Baiklah.”

Restu mengambil peralatan untuk mencopot dan memasang ban, kemudian membawa motor Supri, untuk pergi ke alamat yang dikatakan sahabatnya.

Sesampainya ke alamat yang dituju, Restu melihat sebuah mobil mewah, dan seorang laki-laki gagah sedang berdiri di bawah sebuah pohon rindang.

Restu mendekat, dan sangat terkejut melihat laki-laki gagah berpakaian perlente itu wajahnya sangat mirip dengan sopir bekas istrinya. Ia menatapnya tak berkedip.

“Luar biasa, sangat mirip. Tak mungkin ini Rio. Rio kan hanya sopir, sedangkan ini, berpakaian necis, dengan jas biru tua serasi dengan celananya yang tampak pas dipakai oleh orang segagah dia.

Restu mendekat.

“Saya dari bengkel Supri Pak,” katanya pelan begitu turun dari sepeda motor.

“Oh iya, ini, tiba-tiba kempes, tampaknya tertusuk paku atau apa, entahlah. Tolong dipasangkan serepnya, lalu bawa yang bocor untuk ditambal ya?”

“Dan suaranya juga mirip kata batin Restu. Tapi ia terus mengangguk dan mengerjakan sesuai perintah sang pelanggan.

Laki-laki gagah itu tak begitu memperhatikan sang montir. Ia duduk di sebuah bangku yang kebetulan ada di bawah pohon, sambil terus sibuk bertelpon.

Restu mengerjakannya dengan cekatan, membuat pak Bram sangat senang. Ia mengeluarkan uang duaratus ribu, diserahkannya pada Restu. Saat itulah dia menatap Restu. Tapi ia tak mengucapkan apa-apa. Ia hanya berkata ‘terima kasih’ sambil mengulurkan uangnya.

Restu menerimanya ragu.

“Pak, ini … terlalu banyak.”

“Berapa ongkosnya? Sisanya buat kamu,” katanya tanpa mempedulikan Restu yang menatap lembaran merah itu dengan takjub, sementara sang pengendara mobil sudah berlalu.

Restu memasukkan uang ke dalam sakunya, lalu menuju kembali ke bengkel sambil membawa ban kempes milik tuan gagah yang baik hati itu.


Restu meletakkan ban yang harus ditambal, kemudian menyerahkan uang duaratus ribu kepada Supri.

“Kok banyak sekali?”

“Nggak tahu, dia memberi uang itu, aku kembalikan nggak mau.”

Supri tertawa.

“Pak Bram itu seorang pengusaha yang sangat dermawan. Kalau ke bengkel, baik suruhan atau dia sendiri yang atang, pasti selalu memberikan uang lebih. Ya sudah, itu rejeki kamu.”

“Apa maksudmu? Ini untuk bengkel kan?”

“Bayarkan ongkos yang semestinya ke bengkel, sisanya untuk kamu.”

“Untuk aku?”

“Itu rejeki kamu,” kata Supri sambil tertawa.

Restu tersenyum dan mengangguk, ditolak-pun Supri tak akan mau menerimanya. Baiklah, rejeki, kata Supri.


Sore hari itu Murni terbangun, agak terkejut melihat dapur sudah rapi. Pasti Wulan sudah melakukannya sendiri.

“Kok Bu Wulan mengerjakan semuanya?” tanya Murni.

“Bagaimana keadaan kamu? Masih pusing?”

“Tidak Bu, sudah baikan.”

“Jangan karena kamu takut ke dokter, maka kamu bilang sudah baikan.”

Murni tersenyum/

“Tidak Bu, sungguh saya sudah tidak apa-apa. Hanya sedikit mual.”

“Mual? Muntah-muntah?”

“Tidak, hanya mual. Tapi saya sudah menggosok perut saya dengan minyak kayu putih, dan sudah mereda.”

Wulan diam. Kata mual, pusing, selalu dihubungkannya dengan kehamilan. Itu karena Wulan memang sangat khawatir tentang itu.

“Benar, tidak apa-apa? Ke dokter yuk.”

“Bu Wulan gimana sih, saya sudah tidak apa-apa. Mengapa harus ke dokter juga?”

“Bukan karena kamu takut dokter kan?” Wulan masih mendesak.

“Ya ampun Bu, bukan karena takut, saya memang sudah tidak apa-apa. Saya buatkan minum untuk Bu Wulan ya.”

“Aku sudah membuat minumanku sendiri Mur, kamu buat untuk kamu sendiri saja.”

“Bu Wulan kok sudah melakukan semuanya, dan tidak membangunkan saya.”

“Kamu tidurnya sangat pulas, nggak sampai hati aku. Ya sudah, buat minuman hangat, lalu kemari, ini roti yang tadi kita beli.”

“Baik Bu, tapi saya mau mandi dulu.”

“Mandi dengan air hangat, kamu kan belum sehat benar.”

“Iya Bu, gampang,” kata Murni sambil menjauh.


“Kok sampai sore pak, baru pulang?” tanya bu Broto ketika suaminya pulang.

“Banyak yang harus dikerjakan. Besok, pengusaha yang pernah kita lihat di televisi dan kita lihat di koran itu, akan menemui aku di kantor.”

“Benarkah?”

“Tadi orang kepercayaannya yang datang, dan membicarakan masalah kerja sama. Aku setuju, karena kita banyak diuntungkan dengan adanya kerja sama itu.”

“Syukurlah Pak, biarpun ibu tidak mengerti tentang bisnis, tapi ibu senang kalau usaha Bapak semakin maju.”

“Ibu sudah bicara sama Wulan tentang keinginanku itu?”

“Sudah, waktu belanja bersama tadi.”

“Wulan ikut belanja?”

“Memang yang mengantarkan Wulan, soalnya Rio minta ijin tiga hari, karena ada keperluan di kampung.”

“O, acara lamaran, barangkali.”

“Nggak tahu aku Pak, Wulan tampaknya juga tidak mengerti. Ya syukurlah kalau dia sudah mendapatkan jodohnya, memang sepertinya sudah saatnya dia berumah tangga.”

“Kembali ke Wulan tadi Bu, Ibu sudah bicara kan?”

“Sudah.”

“Apa katanya?”

“Tampaknya dia mau, tapi masih ragu-ragu. Takut tidak bisa memenuhi harapan Bapak.”

“Nanti aku akan bicara lagi sama dia. Aku yakin Wulan bisa kok”

“Iya Pak, semoga benar-benar bisa membantu.


Pagi hari itu seluruh staf kantor sudah bersiap untuk menunggu tamu yang mereka anggap luar biasa, karena dia adalah seorang pengusaha terkenal.

Pak Broto masih duduk di kantornya, ketika tiba-tiba sekretaris mengatakan bahwa ada yang ingin bertemu.

“Siapa?”

“Namanya pak Bram.”

“Pak Bram?” pak Broto terkejut karena nama tamu yang ditunggu adalah Bramantyo.

“Kok sudah datang? Berapa orang?”

“Sendiri.”

Pak Broto heran.

“Sendiri, persilakan beliau masuk.”

Pak Broto berdiri untuk menyambut tamu yang aneh itu. Ketika pintu terbuka, seorang laki-laki gagah dengan setelah jas abu-abu tua masuk, langsung menubruk kaki pak Broto.

Pak Broto bingung dan tentu saja tercengang.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 24

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *