Karya Tien Kumalasari
Pak Broto bingung, laki-laki gagah yang seorang pengusaha terkemuka itu tetap saja merangkul kakinya, bahkan sesekali terdengar isaknya.
“Pak Bram, tolong berdirilah, saya tidak enak kalau begini,” kata pak Broto sambil berusaha membangunkan tamunya.
“Mari kita duduk, dan katakan ada apa?”
“Bapak, sebelum saya menuruti perintah Bapak, saya mohon, maafkanlah saya, apapun yang telah saya perbuat,” katanya dengan suara bergetar.
“Apa yang harus saya maafkan? Pak Bram tidak pernah melakukan kesalahan apapun.”
“Banyak Pak, saya teklah membohongi Bapak lama sekali.”
“Apa maksud pak Bram?”
“Katakanlah bahwa Bapak akan memaafkan saya.”
“Tapi apa yang harus saya maafkan? Saya bingung, saya tidak mengerti.”
“Bapak pernah bilang bahwa saya mirip dengan sopir Bapak bukan?”
“Oh, ya ampun, saya yang harus minta maaf. Bukan maksud saya menyamakan bapak dengan sopir saya. Tapi … memang wajah sopir saya itu sangat ganteng, mirip sekali dengan Pak Bram. Tapi dari mana Bapak tahu bahwa saya menyamakan wajah Bapak dengan sopir saya? Sungguh bukan dengan maksud merendahkan,” kata pak Broto yang kemudian merasa ketakutan.
“Tidak Pak, Bapak tidak salah. Saya memang Rio.”
Kalau saja pak Broto tidak memegang tanganan sofa, pasti dia sudah jatuh terguling. Matanya menatao tamunya tak berkedip, sementara sang tamu yang memang Rio adanya itu menundukkan wajahnya.
“Apa pak Bram bergurau?”
“Nama saya Rio Bramantyo,” jawab Rio tanpa mengangkat wajahnya.
“Rio? Sopirnya Wulan?”
“Saya Rio sopirnya bu Wulan.”
“Kamu menyamar menjadi sopir, atau kamu Rio yang menyamar menjadi pengusaha?” pak Broto masih bingung, tidak bisa begitu mudah mempercayai apa yang dikatakan Rio.
“Saya Bramantyo yang menyamar menjadi sopir Pak.”
Pak Broto menyandarkan tubuhnya. Rio kemudian duduk di depannya.
“Saya mohon maaf, saya mohon, maafkan saya Pak,” kata Rio memelas.
“Jadi kamu itu Rio? Rio pengusaha yang menyamar jadi pengamen, lalu menjadi sopir keluarga aku?” kata pak Broto setelah bisa menenangkan diri.
“Iya Pak, saya mohon maaf.”
“Mengapa ? Mengapa kamu melakukan itu? Maaf, aku ber ‘kamu’ sekarang, karena aku biasa begitu. Apa kamu marah?”
“Tidak Pak, sungguh, tetaplah bersikap seperti dulu, saya senang menerima perlakuan ini, bahkan kalau kerja sama ini sudah berjalan,” kata Rio menatap pak Broto dengan memelas. Ia masih khawatir, pak Broto akan marah atas apa yang telah dilakukannya.
“Katakan, mengapa kamu melakukannya? Menjadi pengamen jalanan, memasuki restoran, dan dengan suka rela menyanyi untuk aku.”
“Sesungguhnya, Wulan adalah bekas pacar saya,” katanya pelan. Masih takut kalau pak Broto akan menyemprotnya.
“Wulan? Bekas pacar kamu?”
Rio mengangguk lesu.
“Tapi dia menikah dengan putra Bapak.”
“Kamu ingin merebutnya dari tangan anakku?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Cinta saya tulus, suci, saya ikhlas Wulan berdampingan dengan pria lain, asalkan Wulan hidup bahagia.”
“Kamu tahu kalau Wulan tidak bahagia?”
“Maaf, saya memang tahu. Saya beberapa kali melihat pak Restu berduaan dengan seorang wanita.”
“Itu setelah kamu menjadi sopir aku kan? Saat kamu memutuskan untuk masuk kedalam keluarga aku sebagai sopir, apa kamu sudah melihat bahwa Restu bukan suami yang baik?”
“Saat saya mengamen, saat pak Restu bersuara kasar, bahkan yu Sarni pernah mengatakan bahwa pak Restu selalu kasar kepada istrinya.”
“Lalu kamu pura-pura jadi pengamen, untuk apa?”
“Hanya ingin melihat keadaan Wulan, dan merasa yakin bahwa Wulan bahagia.”
Pak Broto menghela napas panjang.
“Tapi saya tidak pernah mengganggu Wulan, bahkan menyentuhpun tidak. Saya bersedia menjadi sopir karena ingin melindungi Wulan.”
“Tapi kamu ternyata melihat bahwa rumah tangga mereka berantakan bukan?”
“Saya sangat prihatin untuk itu.”
“Apa kamu masih mencintai Wulan?”
Rio menundukkan wajahnya.
“Karena ketulusan cinta itu, saya rela melakukan apapun agar bisa melindungi dia. Kalau saya yakin Wulan hidup bahagia, saya pasti sudah pergi jauh meninggalkannya, karena bagi saya yang terpenting adalah kebahagiaan Wulan.”
“Jadi jelasnya, kamu masih mencintai Wulan?”
“Ya Pak. Tapi kalau Wulan menolak saya, saya tidak akan merasa sakit hati. Hidup adalah sebuah pilihan.”
“Ya Tuhan, sungguh luar biasa cara Tuhan mempersatukan cinta yang terpisah. Tapi tidak, aku harus yakin Wulan masih mencintai kamu. Sekarang, Wulan adalah anakku, dan kebahagiaannya adalah tanggung jawabku. Kalau kamu bisa membahagiakannya, maka dekatilah dia,” kata pak Broto sambil menatap tajam Rio.
Rio mengangkat wajahnya.
“Bapak mau memaafkan saya?”
“Aku bisa mengerti. Tapi jangan terburu senang dulu. Kalau Wulan tidak suka lagi sama kamu, maka kamu harus pergi jauh-jauh darinya.”
Rio tersenyum. Dia merosot dari tempat duduknya, meraih tangan pak Broto, kemudian diciumnya lama sekali.
“Baiklah, bagaimana dengan kerja sama itu? Hanya akal-akalan kamu juga agar bisa meminta maaf dan mendekati aku?”
Rio menggenggam erat tangan pak Broto.
“Tidak pak, tentu saja tidak. Kerja sama akan terus berjalan, dan saya yakin usaha bersama ini akan lebih berkembang bagi kita.”
Pak Broto tersenyum.
“Mana staf kamu yang akan datang hari ini? Bukankah kamu mendahului mereka?”
Rio melihat arloji tangannya.
“Mereka akan datang setengah jam lagi. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Baiklah, anak buahku sudah bersiap menyambut di ruang meeting.”
Hari itu Murni kelihatan aneh. Dia tidak segesit biasanya. Ia bersih-bersih rumah sambil sesekali mencium botol minyak kayu putih yang terbuka tutupnya. Botol kecil itu selalu digenggamnya, sementara tangan yang lain mengayunkan sapu dan kemoceng untuk bersih-bersih ruang dan perabotan.
Ulah Murnio itu tidak luput dari perhatian Wulan yang baru saja keluar dari kamar. Beberapa menit yang lalu, pak Broto menelponnya, dan memintanya datang ke kantor. Wulan berdebar, pasti pak Broto akan mengulangi perintahnya agar dia membantunya di kantor.
“Hm, baiklah, aku akan mencobanya,” gumamnya saat itu, sambil bersiap-siap.
Tapi ketika aroma minyak kayu putih merebak memenuhi ruangan, lalu melihat ketika sebentar-sebentar Murni mencium botol kecil berisi minyak kayu putih itu, maka kemudian Wulan mendekati Murni.
“Murni, kamu kenapa?”
“Oh, ini Bu, rasanya kalau tidak mncium bau minyak kayu putih kok saya merasa mual terus perut terasa nggak enak.”
Wulan terpaku ditempatnya berdiri. Pusing, mual, bau minyak kayu putih … Bukan karena Wulan pernah merasakannya, tapi ia pernah mendengar salah seorang temannya bercerita, saat dia hamil, keluhan yang dikatakannya hampir sama dengan keluhan Murni.
“Kamu beristirahat saja Murni, nanti sore kita ke dokter. Kalau sekarang aku mau ke kantornya bapak dulu, bapak memanggil aku.”
“Kenapa ke dokter Bu, tidak, saya tidak mau.”
“Murni, apa yang kamu rasakan itu aneh. Kamu itu sakit.”
“Saya tidak merasakan sakit, saya bisa mengerjakan banyak hal. Bersih-bersih rumah, memasak …”
“Murni, jangan bandel ya. Pokoknya kita harus ke dokter sore nanti. Kamu harus mau.”
“Tapi saya takut Bu, sungguh saya takut.”
“Aku temani kamu. Aku juga akan minta pada dokternya agar dia tidak menyuntik kamu.”
Murni menatap Wulan ragu. Sebenarnya dia benar-benar takut. Tapi karena Wulan memaksa, dia tak berani berkata ‘tidak’.
“Oke, Murni, sekarang istirahatlah. Dan tidak usah memasak, aku akan beli lauk matang saja nanti.”
Murni hanya mengangguk. Tapi saat Wulan berangkat, dia melanjutkan kegiatannya bersih-bersih. Ia membersihkan tubuhnya, barulah masuk ke dalam kamarnya. Memang benar, Murni merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Pusing, lemas, mual. Tapi dia merasa bahwa hanya karena masuk angin maka dia merasa sedikit terganggu.
Dia membaringkan tubuhnya. Bersyukur bahwa Wulan sangat pengertian, tidak memintanya agar memasak, karena sesungguhnya dia sedang enggan memasak.
Ia memejamkan matanya, sambil sebelah tangannya mendekatkan botol minyak kayu putih itu pada hidungnya.
“Ini pasti gangguan lambung, karena kemarin terlalu banyak makan rujak,” gumamnya sambil terus memejamkan matanya, berharap pusingnya segera hilang. Sebenarnya Wulan sudah menunjukkan obat pusing di almari obat, yang kalau dia merasa pusing maka tinggal mengambilnya. Tapi kali ini Murni enggan menggerakkan tubuhnya yang terasa lemas.
Bu Broto mengetuk pintu rumah Wulan ketika melihat rumah itu terkunci rapat. Tapi berkali-kali dia memencet bel tamu, bahkan mengetuk pintunya, tak ada jawaban dari dalam.
“Apa Wulan pergi ya? Katanya Rio minta ijin untuk beberapa hari, pastilah dia kemudian pergi sendiri, sama Murni.
Tapi kemudian bu Broto menelpon Wulan. Beberapa kali tidak diangkat.
“Ya ampun, pasti Wulan menyimpan ponselnya di dalam tas, sehingga tidak mendengar dering telpon dari aku.”
Lalu bu Broto merasa bersalah, karena tadi tidak meminta agar Wulan saja yang disuruhnya datang.
Bu Broto duduk di teras, berusaha memanggil taksi online, tapi kemudian terdengar pintu dibuka dari dalam.
“Oh, ada Bu Broto ,” Murni memekik kaget.
“Kamu kemana saja? Aku sudah memencet bel, sudah mengetuk pintu, kamu tidak segera membukanya. Aku sudah mau memanggil taksi nih.”
“Maaf Bu, saya sedang di kamar mandi, perut saya agak nggak enak rasanya.”
“Hm, perut kamu sakit? Pantesan bau minyak kayu putih. Bu Wulan mana?”
“Bu Wulan pergi, tadi bapak menelpon, agar bu Wulan segera pergi ke kantor bapak.”
“Oh, jadi Wulan ke kantor nih? Rupanya bapak sedang memaksa Wulan agar mau membantunya di kantor.”
“Iya Bu.”
“Ya sudah, kalau kamu sakit, kembalilah tidur sana, aku mau pulang saja.”
“Jangan Bu, saya buatkan minum dulu, lalu sebaiknya Ibu menunggu, siapa tahu bu Wulan tidak lama.”
“Perutmu masih sakit? Mulas? Diare?”
“Tidak Bu, hanya agak nggak enak rasanya. Sepertinya lambung saya terganggu, kemarin makan rujak kebanyakan.”
“O, kamu itu gimana. Makan apapun kalau berlebihan, ya pasti menyebabkan sakit. Sudah minum obatnya?”
“Saya tidak tahu obat sakit perut yang mana Bu.”
“Di almari obat kan ada, coba cari, dan baca etiketnya, pasti kamu tahu-lah, masa nggak bisa baca, anak lulusan SMA?”
“Iya Bu, nanti Murni cari, atau menunggu bu Wulan saja, takut salah. Lagi pula bu Wulan bilang, nanti sore mau mengajak Murni ke dokter.”
“O, ya sudah kalau begitu.”
“Saya buatkan minum ya Bu.”
“Tidak usah Mur, aku mau pesan taksi saja. Nggak tahu juga Wulan akan lama atau tidak, lagipula kamu kan sedang sakit.”
“Tidak sakit beneran sih Bu, paling hanya gangguan lambung.”
“Apapun, yang namanya gangguan itu juga penyakit.”
“Ya sudah, aku pesan taksi saja, lelu kamu tiduran sana.”
“Bu, tapi jangan bilang simbok kalau saya sakit ya, takutnya simbok khawatir.”
“Iya, baiklah.”
Wulan terkejut, ketika memasuki ruang pak Broto, tapi ruangan itu kosong. Sekretarisnya juga tak kelihatan. Dia duduk di sofa, menunggu.
“Kemana ya Bapak, kalau pergi, mengapa tadi memanggil aku?” gumamnya sambil membuka-buka majalah yang terletak di meja.
Tiba-tiba seseorang masuk.
“Bu Wulan?” tanya seorang gadis cantik, yang pernah dikenal Wulan sebagai sekretarsis pak Broto.
“Ya?”
“Pak Broto sedang menunggu Ibu di ruang meeting.”
“Oh, baiklah.”
“Mari saya antarkan,” kata gadis itu.
Wulan mengikuti sang sekretaris dengan dada berdebar.
“Tampaknya kali ini aku tak bisa mengelak lagi,” gumamnya dalam hati.
Tapi betapa terkejutnya Wulan, ketika memasuki ruang meeting, dia melihat Rio ada di sana, duduk di hadapan pak Broto. Tak ada orang lain selain pak Broto dan Rio .
Wulan menahan langkahnya.
“Wulan, kenapa berhenti di situ, kemarilah,” kata pak Broto sambil melambaikan tangannya.
Wulan melangkah perlahan, sedikit gemetar karena Rio terus menatapnya sambil tersenyum lucu.
“Apa ini? Rio sudah ketemu bapak, dan dia sebenarnya adalah Rio. Apakah Rio datang sebegai pengusaha yang akan bekerja sama?” kata batin Wulan.
“Wulan, kenapa kamu itu? Sini, aku perkenalkan kamu dengan rekan bisnis kita yang luar biasa ini.”
Wulan melangkah perlahan, lalu pak Broto memintanya agar Wulan duduk di antara dirinya dan Rio.
“Pak Bram, perkenalkan, ini Wulandari, anak saya. Dia akan menjadi wakil saya mulai hari ini,” kata pak Broto sambil menahan senyuman.
“Bapak, tap … pi…”
“Ini perintah, dan semuanya sudah diputuskan,” kata pak Broto tandas.
Wulan menundukkan wajahnya.
“Kecuali itu, pak Bram ini sebenarnya juga ingin melamar kamu. Apakah kamu bersedia menjadi istrinya?”
Wulan merasa bumi yang dipijaknya bergoyang.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 25
[…] Bersambung ke Jilid 24 […]