SELAMAT PAGI BIDADARI (25)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto tertawa melihat Wulan seperti orang linglung. Ia melirik ke arah Rio, yang tersenyum-senyum menggemaskan. Ada apa sebenarnya, apa yang terjadi, dan apa yang dilakukan Rio sehingga pak Broto berkata seperti itu.

“Wulan, kamu itu kenapa? Sejak masuk ke ruangan ini kok seperti orang bingung begitu?”

Wulan tak bisa menjawabnya. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya.

Pak Broto masih saja tertawa.

“Lihat Rio, Wulan kebingungan. Barangkali dia akan menolak lamaran kamu,” kata pak Broto masih dengan tertawa.

Wulan mengangkat wajahnya. Apa dia salah dengar? Pak Broto memanggilnya Rio? Jadi Rio sudah membuka jati dirinya? Ia menetap Rio dengan pandangan kesal, karena Rio tak mengatakan sebelumnya. Tapi Rio masih tetap saja tersenyum-senyum, membuat Wulan semakin gemas.

“Apa jawabmu Wulan?” pak Broto mengulangi pertanyaannya.

Wulan belum menjawab. Kejadian ini sungguh membuatnya terkejut. Bukan karena pak Broto mengatakan bahwa dia adalah wakilnya di perusahaan, tapi karena ternyata Rio sudah mengatakan semuanya. Bahkan pasti kisah cintanya di masa lalu sudah diceritakannya.

“Kalau kamu menolak, jawab saja menolak. Bukankah laki-laki ini menyebalkan? Dia bahkan sudah menipu ayahmu ini habis-habisan. Pura-pura menjadi pengamen, lalu bersemangat ketika aku menjadikannya sopir di rumah kita, yang ternyata dia hanya ingin dekat sama kamu. Menyebalkan bukan? Kalau aku jadi kamu, sudah pasti aku tolak si pembohong ini,” canda pak Broto.

Mendengar itu, barulah Wulan tersenyum.

“Tuh, Rio, dia tersenyum, dia setuju untuk menolak kamu. Ya kan Wulan?”

Rio tertawa lebar.

“Bapak, kalau Wulan menolak saya, saya akan bunuh diri saja, di tempat ini juga,” kata Rio sambil menampakkan wajah mewek.

Pak Broto tertawa semakin keras.

“Jawab Wulan, aku tidak mau melihat orang bunuh diri di depanku,” kata pak Broto, masih dengan tawa kerasnya.

Wulan tetap tidak menjawab, tapi ia tak bisa menahan senyum melihat kekonyolan dua laki-laki di hadapannya ini.

“Baiklah Rio, karena aku takut kamu bunuh diri di hadapan aku, aku yang mewakili Wulan untuk menjawabnya. Lamaran diterima.”

Rio mendekati pak Broto lalu mencium tangannya sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Wulan masih saja tersenyum.

“Konyol !!” akhirnya Wulan mengatakannya.

Dan ke dua laki-laki itu tertawa karena yakin bahwa Wulan tak akan menolaknya.

“Baiklah Bapak, karena saya sudah diterima, saya mohon agar mulai hari ini saya dipecat dari jabatan saya sebagai sopir bu Wulan.

“Tentu, sekarang juga aku pecat kamu.”


Siang hari itu selepas dari kantor pak Broto, Rio mengajak Wulan makan di sebuah restoran. Wulan mengomel karena Rio tidak mengatakan apapun tentang hal dia membuka jati dirinya di depan pak Broto.

“Mengapa aku harus mengatakannya? Bukankah kemarin aku sudah bilang bahwa akan memberikan kejutan?”

“Jadi ini, kejutannya?”

Rio mengangguk, begitu bahagianya dia, akhirnya bisa menemukan kembali cinta dari kekasihnya, yang sekian lama menghilang karena pernikahannya dengan Restu.

“Kamu suka sekali membuat kejutan Rio?”

“Asyik bukan?”

“Kadang menyebalkan.”

“Masa? Bukankah kamu suka?”

“Tidak.”

“Bohong. Kamu suka bohong juga ya? Tadi didepan pak Broto tidak menjawab bahwa kamu suka lamaran aku.”

“Memangnya kamu minta sama bapak supaya melamarkan aku untuk kamu?”

“Iya.”

“Dasar.”

“Sekarang aku ingin mendengar jawaban langsung dari mulut kamu, apa jawabmu?”

“Kan sudah dijawab sama bapak?”

“Kamu sendiri dong, aku ingin mendengar jawaban kamu.”

“Rio, kamu harus menunggu sampai masa idah aku selesai.”

“Iya, aku tahu, tapi hanya sebuah jawaban, masa sih aku baru bisa mendengarnya sampai beberapa bulan lagi?”

Wulan cemberut.

“Jawab dong, Bidadari …”

Wulan tertawa. Ia ingat ketika dengan konyolnya Rio mengamen dan mngucapkan ‘SELAMAT PAGI BIDADARI’ di rumah keluarga Broto, dan membuat yu Sarni ke ge er an.

“Iya, aku mau.”

“Mau apa dong.”

“Kamu mintanya apa?”

“Oh ya, setiap permintaan pasti kamu mau?”

“Rio, kamu jangan konyol. Tadi bapak mengatakan kalau kamu mau melamar aku, ya itu jawabannya.”

“Baiklah, toh nanti kalau kamu sudah jadi istriku, kamu harus mau semuanya kan?”

“Hiih, norak ya.”

“Eh, aku ngomong apa?”

“Rio, nanti setelah makan kita cepat pulang ya. Perasaanku nggak enak nih.”

“Kenapa sih?”

“Beberapa hari ini Murni mengeluh sakit.”

“Murni sakit?”

“Tapi aku curiga, jangan-jangan Murni hamil.”

“Haaa? Benarkah?”

“Keluhannya pusing, lemas, perut terasa nggak enak.”

“Kamu harus membawanya ke dokter untuk kepastiannya.”

“Iya, nanti sore aku harus memaksa dia, soalnya dari kemarin-kemarin, aku sudah mengajaknya ke dokter, tapi dia menolak. Katanya takut di suntik.”

Rio terbahak.

“Masa sih? Sudah segede itu, takut disuntik?”

“Ada lhoh, teman aku yang sudah kuliah tetap takut disuntik.”

“Heran deh.”

“Tapi nanti sore aku harus memaksanya. Lalu aku jadi bingung nih, bagaimana kalau benar-benar Murni hamil?”

“Kita cari Restu, dia harus menikahinya.”

“Murni tidak mau. Dulu saja pernah ketemu saat sedang makan bersama aku, lalu ketemu Restu, dia pergi menjauh. Pasti dia sangat benci sama pemerkosanya.”

“Ya sudah, hal itu dipikirkan lagi. Tapi bicara tentang Restu, aku jadi ingat. Aku tahu di mana Restu berada.”
“Memangnya di mana?”

“Dia bekerja di sebuah bengkel mobil.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Bengkelnya itu, bengkel langganan aku. Waktu itu ban mobilku kempes, aku kebetulan pergi sendiri, tidak mengajak sopir. Aku kesulitan dong memasang ban serep aku, lalu aku menelpon bengkel langganan. Eh yang datang Restu. Kaget aku.”

“Dia mengenali kamu?”

“Nggak tahu apa yang dipikirkan dia, tapi aku tahu, dia menatap aku agak-agak heran gitu sepertinya. Tapi diam saja.”

“Syukurlah kalau dia bekerja. Harapan bapak sama ibu adalah agar dia tahu bagaimana sulitnya hidup. Semoga semua itu bisa menjadi pelajaran bagi dia. Semoga juga dia segera menemukan kehidupan yang baik, sadar akan kesalahannya, lalu bapak bisa menerima dia kembali.”

“Aamiin. Lalu kalau dia mau kembali sama kamu?”

“Dia pernah menemui aku dan ingin kembali, tapi aku menolaknya. Aku yakin hal itu dilakukan karena dia sudah putus asa karena tak tahu apa yang diperbuatnya.”

“Tapi nyatanya dia sekarang bisa bekerja. Lain kali aku akan mencari cara agar bisa ketemu dia lagi, dan sedang aku pikirkan cara agar bisa membantu dia.”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Mungkin aku akan membuka sebuah bengkel baru. Aku mau bicara dulu sama Supri, pemilik bengkel itu, agar membantu aku untuk usaha bengkel, lalu minta agar dia mengarahkan Restu untuk memimpin bengkel baru itu.”

“Berarti kamu akan menceritakan semuanya pada Supri, tentang Restu?”

“Mungkin, sedikit.”

“Kamu sungguh baik Rio.”

“Tapi kamu tidak perlu mengatakan hal ini pada bapak, terutama tentang usaha aku tentang mendirikan bengkel itu, juga Restu tidak usah tahu bahwa semua itu usaha aku.”

“Baiklah. Aku suka itu.”

“Sekarang segera selesaikan makan siang kita, katanya kamu harus segera pulang karena Murni sakit.”

“Iya, benar Rio. Banyak yang aku harus memikirkannya. Semoga dugaanku tentang kehamilan itu tidak benar.”


Bu Broto juga terkejut, ketika suaminya mengatakan tentang pengusaha besar yang ternyata adalah Rio.

“Ya Tuhan, jadi yang kita lihat di televisi dan gambar di koran itu memang Rio?”

“Dia menangis-nangis minta maaf karena telah menipu kita selama ini.”

“Beruntung sekali Wulan, dicintai seorang pengusaha yang dengan segala upaya dilakukan demi mendekati dan menjaga kekasihnya.”

“Hebat dia itu. Kalau mengingatnya, aku selalu geleng-geleng kepala karena takjub.”

“Apa itu berarti nanti Wulan akan menjadi istrinya?”

“Iya lah Bu, karena sesungguhnya mereka memang saling mencintai. Dan hebatnya, walau berdekatan, mereka bisa menjaga martabat dan kehormatan, mengingat Wulan adalah istri Restu.”

“Senang mendengarnya.”

“Rio anak baik. Tapi aku agak rugi Bu.”

“Kenapa? Apa dia mengurungkan kerja sama itu?”

“Bukan. Kerja sama tetap berlanjut, tapi dengan tidak adanya Rio di keluarga kita, aku tidak lagi bisa seenaknya meminta dia menyanyi sambil main gitar.”

“Bapak itu, kenapa memikirkan hal sepele seperti itu?”

“Ini bukan hal sepele Bu, kalau kita menyanyi, maka kita akan merasa selalu bersemangat. Cobalah sekali-sekali ibu bernyanyi. Pasti nyaman di hati.”

“Ogah, suara ibu sudah jelek, sember … nanti yang mendengar pada lari semuanya.”

“Siapa yang mau lari, wong dulu suara Ibu itu juga bagus kok. Ya tidak usah menunggu Rio untuk menyanyi, misalnya bersenandung saat melakukan kesibukan di rumah, saat berdandan. Gitu lho Bu.”

“Nggak mau. Malu dong Pak.”

“Adanya cuma aku, paling-paling Sarni. Ibu harus tahu, menyanyi itu sehat.”

Bu Broto hanya tersenyum mendengar kata-kata suaminya. Menyanyi? Dulu dia suka, tapi setelah menyadari bahwa suaranya jelek, mungkin pita suaranya sudah bermasalah karena tua, dia enggan melakukannya.


Supri sedang sibuk di bengkel, ketika ponselnya berdering. Ia mengangkatnya, biarpun masih dengan tangan berlepotan olie karena walaupun dia pemiliknya, tetap saja dia seringkali harus turun tangan membantu.

“Hallo, oh iya Pak Bram, ini saya sendiri. Oh, baiklah, apa pak Bram mau kemari? Tidak? Oh, iya, saya tahu tempatnya. Penting sekali ya? Harus sekarang? Tapi saya harus menyelesaikan pekerjaan saya dulu. Maukah pak Bram menunggu? Baiklah, nanti saya kabari kalau saya sudah selesai.”

“Harus memperbaiki mesin ke suatu tempat?” tanya Restu setelah Supri meletakkan ponselnya.

“Bukan, ada yang ingin agar aku menemuinya.”

“Oh, ya sudah.Kalau harus datang ke suatu tempat, aku sudah selesai nih.”

“Hanya ingin bicara, entahlah tentang apa. Itu pengusaha besar yang sering ke bengkel kita. Oh ya, yang dulu kamu datangi untuk memasang ban serepnya. Ini malah yang sudah ditambal belum diambil.”

“Nanti kalau kamu menemui dia kan bisa dibawa sekalian.”

“Iya, kamu benar, sekarang ayo bantu aku supaya cepat selesai, soalnya aku sedang ditunggu.”

“Baiklah, sini aku bantu.”


Supri memenuhi panggilan Rio di suatu rumah makan. Hanya Supri yang makan, karena Rio sudah makan sebelumnya, bersama Wulan.

“Kok Bapak malah tidak makan?”

“Hanya pesan makanan kecil sama minum, soalnya saya sudah makan, mas Supri. Jangan sungkan, sementara Mas Supri makan, saya akan ngomong-ngomong sama Mas Supri.”

“Baiklah,” kata Supri sambil mengangguk.

“Sudah lama kah, pegawai yang bernama Restu itu bekerja pada Mas Supri?”

“Baru satu bulan lebih Pak, tapi dia pintar dan cekatan. Dia itu sebenarnya kan teman saya sekolah di SMA dulu.”

“O, teman sekolah?”

“Kami berpisah karena dia lanjut kuliah, sedangkan saya berhenti karena tidak punya biaya. Tiba-tiba ketemu saat dia sedang bengong di sebuah taman. Nasibnya buruk. Dia diusir oleh orang tuanya karena kelakuannya.”

“O, dia bercerita semua itu pada Mas Supri.”

“Bercerita Mas, tak ada yang disembunyikan, karena dulu kami sahabat, cuma beda kasta. Dia kaya raya, saya miskin papa,” kata Supri sambil bercanda.

Dan karena Supri ternyata sudah tahu semuanya, maka Rio tidak usah banyak cerita.

“Pak Bram tahu tentang Restu? Atau Pak Bram justru kenal sama dia? Berarti waktu mengganti ban itu pak Bram sempat bertegur sapa dong. Tapi kok Restu tidak cerita apa=apa ya.”

“Tidak bertegur sapa memang, karena dia tidak mengenali saya, hanya saya yang mengenali dia.”

“Oh, dan itu sebabnya maka pak Bram memberi dia uang banyak?”

“Dia cerita tentang uang tak seberapa itu?”

“Cerita, tapi saya berikan uang itu sama dia, setelah dipotong ongkos resmi nya. Kasihan saya sama dia.”

Lalu terjadilah pembicaraan antara Rio, yang dikenal Supri dengan panggilan pak Bram, dan Supri sendiri tentang rencana seperti yang sudah diceritakannya pada Wulan.


Sore itu Wulan mengajak Murni ke dokter langganannya. Wulan terus membujuknya agar Murni mau mengikuti sarannya, karena sebelumnya Murni selalu menolaknya. Apalagi Murni juga merasa bahwa badannya terasa selalu lemas dan tidak ingin makan apapun.

Tidak lama menunggu, keduanya dipersilakan masuk. Dan apa yang ditakutkan Wulan, ternyata terbukti. Murni hamil.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 26

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *