Karya Tien Kumalasari
Tiba-tiba Murni memekik histeris mendengar kata dokter. Mengejutkan Wulan dan dokter itu sendiri.
“Tidaak, dokter. Saya minta gugurkan kandungan saya,” pekiknya.
Wulan merangkulnya untuk menenangkannya.
“Murni, jangan begitu. Janin itu tak berdosa,” kata Wulan lembut.
“Aku tidak mau, aku tidak mau mengandung anak pendosa itu,” tangisnya.
Dokter segera mengerti apa yang terjadi. Tapi dia bukan dokter kandungan, dan dia juga yakin bahwa dokter manapun tak akan mau melakukannya.
“Ibu, itu baru dugaan saya. Yang bisa memastikan adalah dokter kandungan. Jadi sebaiknya ibu menuruti saran saya agar ke dokter kandungan segera, supaya semuanya jelas. Saya akan memberikan pengantarnya,” kata sang dokter sambil menuliskan surat pengantar.
“Baik dokter,” kata Wulan sambil menerima surat pengantar, sedang sebelah tangannya merangkul Murni yang menangis terisak.
“Tenang Murni, semua akan ada jalan keluarnya.”
Lalu Wulan mengajak Murni keluar, setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter yang memeriksa Murni.
“Saya tidak mau Bu, saya hanya mau menggugurkan kandungan saya saja,” isak Wulan di sepanjang perjalanan ke arah dokter kandungan yang ditunjuk oleh dokternya tadi.
“Murni, ini semua belum jelas, kita harus menunggu sampai dokter kandungan memeriksanya.”
“Maukah Bu Wulan berjanji, bahwa nanti setelah dipastikan, saya boleh menggugurkan kandungan saya?”
Wulan mengelus pundak Murni yang duduk di sebelahnya, dengan tangan kiri nya.
“Dengar Murni, kalaupun iya, kamu tidak boleh menggugurkannya.”
“Saya tidak sudi mengandung anak dari laki-laki jahat seperti dia. Saya membencinya. Saya tidak sudi.”
“Tenang Murni. Baiklah, kamu membenci dia, tapi janin yang ada didalam rahim kamu itu tidak berdosa. Kamu tega, melenyapkan nyawa janin itu? Apa kemauan dia maka dia hadir di dalam rahim kamu. Bukan kemauannya kan? Mengapa kamu juga membencinya?”
“Bu Wulan tidak mengerti perasaan saya,” keluh Murni sambil terisak.
“Aku sangat mengerti. Aku bisa merasakan bagaimana pahit rasanya menerima keadaan seperti itu. Tapi menggugurkan kandungan itu dosa, Murni,” kata Wulan lembut.
“Bagaimana mungkin saya melahirkan anak sementara saya belum menikah?”
“Nanti kita cari Restu, agar dia bertanggung jawab.”
“Tidaaaak, saya tidak sudi sama dia,” pekik Murni dan kembali histeris.
“Tenang dulu Murni, baiklah, soal itu nanti kita bicara di rumah ya, sekarang kita ke dokter dulu, dan ingat, apapun hasilnya kamu harus menerimanya dengan tenang. Ya,” pesan Wulan wanti-wanti.
Murni diam, tapi isaknya masih terdengar.
“Ingat ya Murni, apapun yang terjadi, jangan menunjukkan bahwa kamu membenci janin itu. Dokter akan marah sama kamu kalau kamu ungkapkan keinginan kamu itu.”
Murni tetap diam. Pikirannya lari kemana-mana. Bagaimana kalau simboknya tahu, bagaimana dia mengatakan kepada semua orang ketika mereka bertanya siapa dan di mana ayah bayi yang dikandungnya. Biarpun harus memastikannya di dokter kandungan, tapi pernyataan dokter terdahulu sudah hampir pasti benar. Itu membuat hati Murni menjadi ciut.
Tapi Wulan bersyukur, sampai pemeriksaan selesai dan dinyatakan bahwa Murni positip hamil lima minggu, Murni diam dan bergeming di tempat duduknya. Wulan-lah yang menjawab semua perkataan dokter, dan menerima resep yang diberikannya.
Mereka sampai di rumah ketika hari sudah malam, setelah mengambil dulu obat di apotek.
Malam itu, saat menemani Murni tidur, ponsel Wulan berdering. Wulan keluar dari kamar dan menuju teras untuk menerimanya, karena telpon tersebut datangnya dari Rio. Wulan khawatir karena dia yakin Rio akan menanyakan hasil pemeriksaan Murni ke dokter.
“Ya, Rio,” sapa Wulan.
“Apa kamu jadi mengantar Murni ke dokter?”
“Jadi. Dua dokter. Yang pertama, dokter umum, lalu ke spesialis kandungan, karena dari dokter umum sudah ada dugaan bahwa Murni positip hamil. Di dokter Kandungan hanya untuk meyakinkan dugaan dokter umum tersebut.”
“Jadi benar, Murni mengandung?”
“Ya Rio, sesore sampai malam aku terus mendampingi dan membujuknya, karena Murni histeris begitu mendengar hal itu. Ia bahkan ingin menggugurkan kandungannya, tapi aku berhasil menenangkannya.”
“Bagaimana kalau aku cari Restu dan memintanya untuk bertanggung jawab?”
“Jangan dulu Rio, aku sudah mengatakannya sekilas, tapi Murni berteriak-teriak menolaknya. Dia sangat membenci Restu.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku hanya akan terus mendampinginya dan menguatkannya. Dan aku punya rencana, kalau anak itu lahir, biarlah dia menjadi anakku.”
“Bagus Wulan, aku senang mendengarnya. Barangkali itu satu-satunya jalan terbaik.”
“Baiklah Rio, aku tidak bisa meninggalkannya, sampai dia benar-benar tertidur. Dia menangis terus.”
“Ya, aku bisa mengerti. Baiklah, temani dia dulu. Kalau ada waktu aku akan ke rumah kamu.”
“Baiklah Rio.”
“Selamat malam Bidadari,” kata Rio dengan lembut.
“Selamat malam, Pangeran yang baik hati,” jawab Wulan sambil tersenyum.
Wulan kembali ke kamar, melihat Murni masih terisak.
“Belum tidur, Murni?”
“Tidak bisa tidur Bu,” jawabnya dengan suara serak.
“Kamu harus segera tidur. Tenangkan hati kamu. Kamu tidak menanggung beban itu sendiri. Aku akan selalu ada untuk kamu.”
“Saya takut kalau simbok mendengarnya. Saya tak mau simbok sedih karena kejadian yang menimpa saya.”
“Kita akan bicara pelan-pelan sama yu Sarni.”
“Jangan Bu, tolong jangan bilang apapun sama simbok.”
“Tapi bagaimana cara kamu menutupinya. Kalau kamu hamil, pasti kelihatan.”
“Itu sebabnya saya ingin membuang anak ini.”
“Ya Tuhan, Murni istigfar ya, jangan sampai kamu menjadi pembunuh. Bayi itu tak berdosa. Kamu lah yang berdosa kalau melakukannya.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
Murni, besok kalau anak kamu lahir, dia akan menjadi anakku.”
“Apa maksud bu Wulan?”
“Aku akan menganggap bayi itu sebagai anakku. Dia akan menjadi anakku, Murni.”
Murni bangkit dari tempatnya berbaring.
“Benarkah?”
“Aku berjanji akan melakukannya.”
“Tapi … ibu kan … tidak punya suami lagi?”
“Aku … juga akan menikah lagi, Murni.”
Murni tersenyum, melihat sinar bahagia di mata majikannya ketika mengatakan ingin menikah. Entah mengapa, ia akan merasakan kebahagiaan yang dirasakan majikannya.
“Bu Wulan akan menikah? Sama pak Rio kan?”
Wulan tersenyum senang, pembicaraan tentang menikah itu membuat Murni sejenak melupakan kegundahan jiwanya.
“Bagaimana kamu bisa menduga begitu?”
“Saya tahu, Pak Rio menyukai Bu Wulan sejak lama.”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Lagunya selalu I can’t stop loving you,” kata Murni.
Wulan tertawa.
“Siapa tahu dia punya wanita yang lain?”
“Tidak, cara pak Rio memandang Bu Wulan sangat berbeda.”
“Murni bisa aja.”
“Tapi benar kan?”
“Doakan bahwa itu benar ya Mur?”
“Saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Bu Wulan, yang sangat baik pada saya.”
Tapi kemudian Murni kembali membaringkan tubuhnya. Wajahnya kembali suram.
“Murni, kamu harus tetap bersemangat, dan berhentilah meratapi apa yang sudah berlalu, hadapilah hidup ini, apapun yang menimpa kamu. Kalau ada masalah yang memberatkan kamu, mari kita hadapi bersama.”
“Menurut Bu Wulan, apa yang harus saya lakukan? Baiklah, saya akan menerima keadaan ini, tapi saya tidak ingin simbok menjadi sedih. Apa sebaiknya saya pergi saja dari sini?”
“Jangan Murni, kalau kamu pergi, yu Sarni akan bertambah sedih.”
“Saya akan membuat alasan.”
“Alasan apa?”
“Saya bekerja di luar kota.”
“Lalu kamu akan melakukan apa?”
“Entahlah. Saya akan melahirkannya jauh dari sini.”
Wulan termenung. Rupanya dia juga memikirkan, bagaimana kalau Murni disembunyikan sampai dia melahirkan.
Beberapa hari terakhir ini Supri sering meninggalkan bengkel. Semua kegiatan bengkel diserahkannya kepada Restu.
Hari itu bengkel agak sepi. Hanya ada satu mobil yang harus dibenahi, dan digarap oleh dua orang karyawan lainnya.
Restu sedang beristirahat, ketika Supri datang.
“Sepi ya?” kata Supri sambil duduk, lalu menyalakan kipas angin di meja kerjanya.
“Baru saja selesai semua, masih tersisa satu mobil ada masalah di karburator.”
“Syukurlah sudah diatasi.”
“Sibuk sekali kamu kelihatannya.”
“Ya. Ini aku mau bicara sama kamu.”
“Tentang …?”
“Tentang bengkel dong. Ada seorang pengusaha yang ingin membuka bengkel, dan sudah disiapkan tempat serta peralatannya. Serba baru dan canggih.”
“Hebat. Di mana?”
“Letaknya strategis, dipinggir jalan besar. Besok aku ajak kamu ke sana untuk melihat. Kamu pasti suka.”
“Yah, aku lebih suka di sini, kan milik kamu, bukan milik pengusaha yang entah siapa itu.”
“Bukan begitu, aku akan minta agar kamu memimpin bengkel itu.”
“Aku? Mengapa aku?”
“Dia minta agar aku menunjuk seseorang yang bisa dipercaya, dan itu adalah kamu.”
“Jangan Pri, aku tidak berani. Masa aku yang harus memimpin bengkel? Aku belum canggih betul, masih harus banyak belajar.”
“Jangan takut. Ada montir-montir yang terlatih akan membantu kamu, semuanya sudah diatur.”
“Kalau sudah ada montir-montir terbaik, mengapa harus aku?”
“Harus ada yang diserahi sebagai pimpinan, yang mengatur semuanya.”
“Aku nggak berani dong Pri, kalau mengecewakan bagaimana?”
“Kamu harus berani. Kamu mendapat kepercayaan ya harus bersyukur. Dari situ kamu akan lebih berkembang. Dan penghasilan kamu juga jauh lebih baik.”
“Ya ampuun, maksa nih ya?”
“Di sana sudah ada tempat untuk kamu tinggal. Di lantai atas.”
“Tempat itu bertingkat?”
“Dua tingkat, dan bagus. Bersyukurlah Restu. Ini jalan dari Allah karena kamu sudah bertobat dan menjalani hidup dengan baik.”
“Takutnya mereka kecewa dengan cara kerja aku.”
“Kamu kan sudah mempelajari semuanya di sini. Dan kamu juga bekas pengusaha. Kamu pasti bisa mengatur semuanya. Kamu jadi bos, tidak harus berkutat dengan olie dan berkeringat seperti di sini.”
Restu menghela napas, belum begitu yakin atas kepercayaan yang tiba-tiba diberikan kepada dirinya.
“Baiklah, besok kita lihat bersama tempat itu, dan semua perlengkapannya. Kamu bisa mengatur itu seperti sebuah usaha. Setelah oke, kamu bisa langsung tinggal di rumah itu, dan bengkel itu akan langsung beroperasi.
Restu tak bisa menolak. Ia belum yakin, tapi ia akan mencobanya. Barangkali benar kata Supri, ini adalah jalan terbaik menuju kehidupan yang lebih layak.
Hari itu Wulan pergi ke kantor. Ia langsung menuju ke ruang pak Broto.
“Kamu akan langsung bekerja hari ini, Wulan?” tanya pak Broto gembira ketika Wulan masuk ke ruangannya.
“Tidak sekarang dong Pak, saya kan harus belajar dulu dari Bapak.”
“Baiklah, ayo kita belajar mulai sekarang.”
“Begini Pak, sebenarnya saya ingin bicara tentang Murni.”
“Murni? Kata Sarni dia sakit, beberapa hari yang lalu. Kenapa dia?”
“Murni hamil.”
Pak Broto terkejut, menatap bekas menantunya tak berkedip.
“Saya sudah membawanya ke dokter.”
“Ini perbuatan anak bengal itu,” kesal pak Broto sambil mengusap wajahnya.
“Murni takut kalau yu Sarni mendengarnya. Dia bahkan ingin lari dari rumah karena bingungnya.”
“Kita harus mencari Restu.”
“Murni tidak mau ketemu mas Restu. Dia sangat membencinya.”
Pak Broto menghela napas berat.
“Saya bilang pada Murni, kalau anaknya lahir, maka saya yang akan merawatnya.”
“Kamu?”
“Saya akan menjadikannya anak saya.”
“Itu bagus. Anak yang dikandung Murni adalah darah dagingku.
“Tapi Murni ingin bersembunyi dari yu Sarni. Begitu besar kekhawatirannya tentang orang tuanya.”
“Bagaimanapun tidak bisa selamanya menyembunyikan sebuah rahasia. Suatu saat dia pasti akan tahu.”
“Bapak kan punya cabang di luar kota?”
“Ya, itu baru akan dibuka Rio bulan depan.”
“Bagaimana kalau Murni dipekerjakan di sana?”
“Murni bekerja?”
“Dia lulusan SMA Pak, apapun, bantu-bantu di administrasi, misalnya.”
Pak Broto mengerti, ini adalah upaya Wulan untuk menjauhkannya Murni dari ibunya, agar tak tahu tentang kehamilan anaknya.
Yu Sarni terkejut, ketika tiba-tiba Murni datang.
“Eh, kamu sama siapa Mur? Kok tiba-tiba datang, membuat simbok kaget saja.”
“Sama Bu Wulan. Tuh di depan.”
“Mau belanja, atau sudah belanja?”
“Baru mau, bu Wulan mengajak Murni mampir.”
Yu Sarni menatap Murni lekat-lekat.
“Kamu kok agak pucat sih Mur?”
“Simbok bercanda deh. Karena tidak pernah kepanasan, kulit Murni jadi putih, tidak hitam seperti biasanya.”
“Kamu sehat?”
“Sehat sekali Mbok.”
“Syukurlah, simbok senang mendengarnya.”
“Murni ikut mampir kemari, sekalian mau bilang sama simbok.”
“Bilang apa?”
“Mulai besok, Murni mau bekerja.”
“Bukankah kamu sudah bekerja di rumah bu Wulan?”
“Ini bekerja di kantoran Mbok?”
“Di kantoran? Bercanda kamu?”
“Tidak Mbok, ini sungguhan. Pak Broto apa belum bilang sama Simbok? Murni mau bekerja di kantornya pak Broto, tapi di luar kota. Agak jauh dari sini.”
“Jauh itu di mana?”
“Di Jakarta Mbok.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 27
[…] Bersambung ke Jilid 26 […]