SELAMAT PAGI BIDADARI (29)

Karya Tien Kumalasari

Supri heran, tiba-tiba Restu menghilang dari sisinya. Ia menoleh ke belakang, barangkali dia tertinggal jauh di belakang, tapi ia tak melihat bayangannya.

Supri kembali ke arah pintu masuk, sambil memanggil-manggil nama Restu, tapi Restu bagai lenyap ditelan bumi.

“Restu ! Restu !”

Tak ada, dimana-mana tak ada, ia mengitari seluruh arena kerumunan, tak tampak bayangan sahabatnya.

“Tadi di sampingku, bagaimana bisa menghilang tiba-tiba?” gumamnya resah.

Ia keluar dari halaman hotel, lalu menelpon Restu, tapi tak ada jawaban.

“Kemana anak itu? Tadi sangat bersemangat untuk menyalami pengantin, kok tiba-tiba menghilang?”

Lalu berkali-kali Supri menelponnya, dan panggilan yang kesekian puluh kalinya, barulah dia mendapat jawaban.

“Restu, kemana kamu nih? Di gondol kuntilanak?” kesal Supri.

“Aku sudah di rumah.”

“Apa kamu sudah gila?”

“Lanjutin saja pestanya, aku lebih baik pulang.”

“Kenapa?”

“Tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing.”

“Ya ampun. Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang lebih dulu? Aku muter di sekitar gedung dan halaman, sampai pegal kaki aku,” gerutu Supri.

“Maaf, kamu agak jauh dari aku, aku tak sempat pamit. Maaf Supri,” katanya kemudian menutup pembicaraan tiba-tiba.

“Kesambet barangkali. Aku kok merasa ada yang aneh. Kenapa ya dia?”

Dan karena resah itu, Supri pun akhirnya juga bermaksud pulang. Tapi tidak, dia tidak pulang, tapi pergi ke bengkel tempat Restu tinggal.


Restu sedang meringkuk diatas pembaringan, dengan pikiran kacau yang memenuhi benaknya.

“Rio … Rio sopirnya Wulan, Rio Bramantyo … pengusaha kaya yang baik hati itu? Yang dulu sering aku suruh-suruh dengan kasar, aku maki-maki karena aku selalu merasa berkuasa, dan dia hanya seorang sopir. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Dosaku demikian besar, dan celakanya lagi, dia memberi aku kehidupan yang jauh lebih layak dari gelandangan yang tak punya tempat tinggal dan penghasilan seperti yang aku terima. Dia … dia …

Berlinang air mata Restu mengingatnya, mengingat betapa besar dosanya, dan betapa dia harus menanggung malu karena orang yang semula dia rendahkan, ternyata pengusaha hebat yang terkenal karena kedermawanannya, bahkan menolongnya.

Terbayang wajah ganteng rupawan yang bersanding dengan Wulan, bekas istrinya, yang sangat cantik bak Dewi dari Kahyangan. Lalu Restu menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Dia … dia … dia …” lirihnya pilu.

Beberapa saat lamanya dia tenggelam dalam luka dan sesal, sampai ketika kemudian terdengar ponselnya berdering. Dari Supri.

“Pasti dia marah karena aku meninggalkannya begitu saja. Habis aku tiba-tiba kalut dan bingung,” gumamnya sambil membuka ponselnya.

“Ya Pri,” sapanya pelan.

“Buka pintunya, aku ada dibawah,” kata Supri yang langsung menutup ponselnya.

Restu turun ke bawah, menemui sahabatnya yang pasti sangat kesal. Tanpa mengatakan apapun, dia mengajaknya ke atas.

“Kamu kesambet, atau apa?” ketus Supri begitu mereka duduk.

“Aku sangat kacau.”

“Kacau kenapa? Kamu tadi sangat bersemangat untuk menyalaminya karena merasa berhutang budi, bukan? Kenapa tiba-tiba kabur?”

“Tolong jangan marah dulu.”

“Bukan hanya marah, aku ingin memakanmu,” kesal Supri.

“Ya ampun, kamu harus mendengar dulu penjelasan aku sebelum marah-marah.”

“Baiklah, tapi awas, kalau penjelasan kamu tidak masuk akal, jangan lagi menjadi sahabatku,” ancam Supri.

“Kejam sekali ancamannya sih,” kata Restu, memelas.

“Ada apa?” kata Supri dengan nada agak rendah, mendengar suara Restu yang memelas.

“Pengantinnya itu, bekas istriku.”

Supri terkejut.

“Jadi itu istri kamu? Eh, bekas istri kamu? Kamu memang gila ya, istri secantik itu disia-siakan,” omel Supri.

“Sudahlah Pri, jangan lagi bicara soal itu.”

“Habisnya … kamu juga syok, melihat istri kamu bersanding dengan pengusaha hebat itu kan? Kamu cemburu? Jadi sekarang kamu merasa cinta sama bekas istri kamu? Tapi sesal kemudian tak berguna bukan?” omel Supri panjang seperti sepur.

“Bukaaaan, bukan karena aku cemburu atau masih cinta sama dia.”

“Lalu apa? Nyatanya kamu langsung pulang. Tak kuat melihatnya disamping pak Bram kan?”

“Yang namanya pak Bram itu Rio, dulu sopir ayahku.”

Supri tercengang. Ia tak bisa mengerti apa yang dikatakan Restu. Pak Bram, pengusaha kaya raya itu, sopir ayahnya Restu?

“Pasti kamu bergurau kan?”

“Itu benar. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tapi dia itu Rio, sopir ayahku, yang ternyata namanya Rio Bramantyo. Pantes wajahnya sangat mirip.”

“Maksudnya … dulu itu dia hanya sopir, lalu menjadi pengusaha kaya? Ah, gimana kamu itu? Mana mungkin seorang sopir tiba-tiba menjadi kata. Lagi pula dia sudah menjadi langganan bengkel aku sejak beberapa tahun lalu, sedangkan kamu pergi dari rumah baru beberapa bulan lalu.”

“Aku juga bingung. Apa dulu dia menyamar jadi sopir ya?”

“Kenapa?”

“Dia tadinya malah seorang pengamen.”

“Aneh.”

“Itu sebabnya aku jadi linglung, lalu lari pulang. Kamu harus memaafkan aku Pri,” keluh Restu.

Supri menghela napas berat.

“Masih banyak teka-teki dalam hidup kamu yang belum terjawab. Kamu harus segera mencari jawabnya, agar hidup kamu tenang.”

“Atau aku tinggalkan saja bengkel ini, lalu kembali saja menjadi montir di tempat kamu?”

“Apa kamu sudah gila? Disini kamu benjadi bos, di tempat aku kamu hanya pegawai aku.”

“Tapi aku lebih tenang. Dulu aku selalu merendahkan Rio. Aku kasar dan sering menghardiknya, sekarang dia memberi aku kehidulan layak. Aku tak sanggup menerimanya Pri.”

“Tidak, jangan bodoh. Yang harus kemu lakukan sekarang adalah menemui dia. Minta maaf, mengucapkan terima kasih, atau apa. Pokoknya terserah kamu. Dan kamu juga masih punya pekerjaan untuk mencari tahu tentang Murni.”

“Iya, tapi aku bingung.”

“Kamu harus bisa mengurai benang kusut yang membelit hati dan perasaanmu. Buat agar hidup kamu nyaman.”


Pesta itu telah usai. Bukan pesta hura-hura yang penuh sorak dan hiruk pikuk, tapi pesta yang sangat santun, penuh keikhlasan dalam membantu sesama, penuh suka cita oleh rasa syukur dan ungkapan ‘alhamdulillah’ bertalu-talu membubung ke atas langit sana.

Terimakasih Ya Allah, melalui tangan mulia pak Bramantyo dan isteri, karunia penuh berkah telah bertebaran dalam kidung-kidung sorga.
Wulan bangun kelelahan saat adzan subuh bertalu, lalu membangunkan suaminya dan berdua mengucapkan sujud syukur atas semua yang terlimpah. Bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk banyak orang yang berkesempatan menerima setitik anugerah dalam keikhlasan yang tulus.

“Selamat pagi, bidadari,” sambut Rio saat mereka selesai beribadah.

“Selamat pagi, pangeran berkuda yang tidak memiliki kuda,” sambut Wulan dengan senyuman memikat.

“Lapaar,” keluh Rio setelah duduk santai di ruang tengah sehabis mandi.

“Aku buatkan sarapan dulu ya,” kata Wulan dengan wajah penuh seri oleh bahagia yang membuncah.”

“Tentu dong,” jawab Rio sambil menarik Wulan dalam dekapannya, kemudian mencium dahinya lembut.

“Mau sarapan apa, tuan muda?” canda Wulan.

“Apa saja buatan istri aku, pasti enak,” jawab Rio mantap.

“Yang gampang saja dulu ya, bagaimana kalau nasi goreng dan ceplok telur?”

“Itu makanan kesukaan aku.”

“Baik, tuan muda.”

“Jangan lama-lama, bidadari.”

“Segera, pangeranku,” kata Wulan riang sambil melangkah ke arah dapur.

Rio menyetel televisi, dan duduk menikmati acara sambil menyandarkan tubuhnya.

Tak lama kemudian harum sedap menguar di seluruh ruangan, datangnya dari arah dapur. Tak tahan menunggu, Rio melangkah ke dapur, dan memeluk istrinya dari belakang.

“Lama banget sih, keburu lapar nih,” keluhnya sambil terus memeluk isterinya yang sedang mengaduk nasi goreng di wajan.

“Sabar dong, sebentar lagi siap.”

“Buruan, kalau masih lama juga, kamu lah yang akan aku makan,” kata Rio tanpa mau melepaskan istrinya.

“Rio, sabar dong, dan lepaskan aku, ini sudah mau mengentasnya dari wajan.”

Rio melepaskan dekapannya dan duduk di kursi dapur.

Wulan tersenyum manis, membuat Rio terpana memandanginya.

“Bidadariku memang cantik.”

Wulan mencibirkan bibirnya sambil meletakkan nasi goreng yang sudah matang di sebuah basi.”

Rio sibuk mengendus-endus aroma nasi goreng itu.

“Sebentar sayang, tinggal telur ceploknya ya,” kata Wulan yang sudah siap memasang wajan diatas kompor.

“Aku mau telurnya matang, nggak mau yang setengah matang.”

“Iya aku tahu, masa sih, seorang istri tidak tahu kesukaan suaminya.”

“Bagus,” kata Rio yang kemudian mengambil sendok dan menyendok sesendok nasi goreng yang sudah siap.

“Mau makan di dapur saja?”

“Iya, kenapa memangnya. Aku sudah tak tahan nih,” katanya sambil menyendok lagi sesendok nasi goreng. Wulan meliriknya dan tersenyum. Sambil menunggu telur mata sapi yang digoreng, dia mengambil dua buah piring lalu diletakkannya diatas meja.

“Nih, taruh di sini, kalau mau makan sekarang,” katanya sambil menyendokkan sepiring nasi goreng, lalu kembali untuk mengentas telur ceploknya yang sudah matang.

Pagi itu adalah pagi pertama, dimana keduanya bisa makan bersama di rumah sebagai suami istri.

“Ingat kalau aku harus makan di meja teras nih,” celetuk Rio tiba-tiba.

Wulan tertawa menanggapinya.

“Itu sebelum kamu dipecat dari pekerjaan kamu sebagai sopir.”

Rio tertawa keras.

“Sudah lama kamu ingin memecat aku bukan? Ingin buru-buru dilamar ya?”

Wulan mencibir, membuat Rio bertambah gemas.

Hari itu mereka berdua menghabiskan waktu di kamar. Saat makan siang dan malam-pun mereka memilih memasak berdua di rumah, diantara canda tawa sebagai ungkapan rasa bahagia.


“Bagaimana kabar bengkel kamu yang baru, Rio,” tanya Wulan ketika malam itu duduk berdua di teras depan, menikmati malam indah diantara taburan bintang yang gemerlap dan tak lelah untuk berkedip.

“Bagus, dan dikelola dengan baik. Sebenarnya Restu orang yang pintar mengendalikan sebuah usaha.”

“Dia kan dididik oleh bapak. Bahwa kemudian dia terperosok ke dalam kubangan lumpur, itu karena dia tak kuat iman, merasa bahwa semua keindahan akan kekal dinikmatinya, tak sadar aroma iblis selalu memberinya iming-iming yang menggoda.”

“Tapi akhirnya, iblis pula yang membuat dia tersaruk salam melangkah, kurus kering tak setetespun embun sudi membasah.”

“Kamu mendengar banyak dari pemilik bengkel Supri itu kan?”

“Ya, Supri itu teman SMA nya, menemukan Restu dalam keputus asaan, lalu membimbingnya untuk berjalan diatas kebenaran, membimbingnya ke arah jalan yang diridhoi Allah, dan Supri berhasil. Aku senang Restu kemudian mau bersusah payah bekerja, dan ingat akan Tuhan-nya. Dan itu pula sebabnya aku kemudian menolongnya, agar dia bisa berdiri tegak dengan penghasilan yang layak.”

“Aku bahagia memiliki suami yang penuh kasih sayang terhadap sesama.”

“Kasih hadiah dong,” rengek Rio manja.

Wulan tersenyum sambil mencium pipi suaminya. Tak hanya satu sisi, Rio menunjuk ke arah pipi lainnya yang kemudian dipenuhi oleh Wulan dengan penuh suka cita.

“Kamu ingin jalan-jalan ke mana?” tiba-tiba tanya Rio.

“Jalan-jalan? Kemana saja boleh, ke warung bakso, wedang ronde …”

“Ke luar negri, maksud aku.”

“O, tidak. Aku masih harus banyak belajar dalam membantu bapak. Kita tidak usah kemana-mana. Aku tidak ingin mengecewakan bapak,” kata Wulan mantap.

“Baiklah, aku mengerti.”

“Apa kamu akan langsung bekerja?”

“Kita libur tiga hari saja ya, penat kita karena pesta itu kan lumayan terasa.”

“Kamu lupa, dengan di rumah berlama-lama, penat kita kan bertambah?”

Kedua pengantin baru itu tertawa lirih, sedikit tersipu karena sepotong bulan diatas sana sedang meledeknya.


Pagi hari itu setelah seminggu dari pernikahan Rio dan Wulan berlalu, pak Broto sedang duduk berdua bersama istrinya di teras. Mereka sedang menunggu sarapan yang sedang disiapkan yu Sarni.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan gerbang. Pak Broto berteriak kepada Sarni, agar membuka gerbang itu.

Yu Sarn bergegas ke arah gerbang sambil membawa kunci. Tertegun ketika gerbang sudah dibuka, yu Sarni melihat sosok yang sangat dikenalnya, turun dari atas sepeda motor, langsung memeluknya erat.

Tergagap yu Sarni menerima pelukan itu


Besok Lagi yaa…

Bersambung ke Jilid 30

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *