Karya Tien Kumalasari
Restu meletakkan tubuh Murni perlahan, di kamarnya. Ada rasa haru menyengat, melihat perut membuncit dan wajah Murni yang pucat.
Mata Murni yang tadinya terpejam, tiba-tiba terbuka. Ia menatap orang-orang yang berdiri di sekelilingnya, lalu ketika matanya terpaku pada sesosok wajah, tiba-tiba ia menjerit sekuat-kuatnya.
“Pergiiiii … pergiiiiii …. Pergiiiii !!”
Rio menarik tangan Restu, diajaknya keluar dari kamar. Wulan mendekati dan menepuk-nepuk tangannya.
“Murni, tenang ya….”
“Di mana saya … di mana saya …. “ Murni histeris, meronta, sehingga Wulan terpaksa merangkul tubuh nya.
“Murni, ini kamar kamu. Kamar kamu sendiri, kamu lupa?”
“Saya pergi saja, saya tidak mau dia, jangan biarkan mendekati saya … saya mau pergi saja …”
“Murni, murni, tenang Murni, kamu aku bawa ke sini karena keadaan kamu lemah. Harus ada yang mengawasi kamu. Jadi di sini saja dulu selama beberapa hari, ya.”
“Saya tidak mau. Di sini ada dia … di sini ada diaa…. Nggak mau, aku pergi sajaa ….”
“Tidak, jangan khawatir Murni di sini hanya ada aku dan Rio.”
“Bu Wulan bohong. Ada diaaaa … ada diaaaa …”
“Tidak, tenanglah, dia sudah pergi. Tenang ya … sebentar, aku buatkan minum kamu, lalu makan ya, kamu lemas, lemah.”
“Jangan pergi Bu, nanti dia datang ….”
“Dia sudah pergi, percayalah.”
Murni masih tampak curiga, ia melihat ke sekeliling, dan membuka telinga lebar-lebar, barangkali ia bisa mendengar suara laki-laki yang dibencinya itu,
Tapi suasana sepi. Murni berusaha bangkit, tapi Wulan menahannya.
“Tiduran saja dulu, aku ambilkan teh hangat, lalu kamu harus makan, karena dokter memberi kamu obat kan?”
“Biar saja saya mengambilnya sendiri.”
“Jangan bandel. Kalau kamu sehat, kamu boleh melakukannya,” kata Wulan tandas, lalu keluar dari kamar.
Di halaman, Rio dan Restu duduk berhadapan pada bangku-bangku taman.
Rio tampak sangat terpukul. Dia bermaksud baik, tapi ternyata Murni masih membencinya. Rio yang mengetahui hal itu, kemudian menghiburnya.
“Pak Restu harus sabar, dia masih trauma.”
“Saya mengerti, tapi saya tidak mengira dia sampai histeris begitu.”
“Kejadian itu membuatnya selalu merasa ketakutan. Barangkali memerlukan waktu lama untuk menyembuhkannya dari luka itu.”
“Saya sedih melihat wajahnya, terharu melihat perutnya yang membuncit. Bukankah di dalamnya ada darah daging saya?”
“Perlahan-lahan nanti Wulan akan membujuknya.”
“Kalau begitu saya mau pulang dulu ke bengkel.”
“Baiklah, dan sekali lagi bersabarlah. Sebuah keinginan yang baik pasti akan mendapatkan sesuatu yang baik juga.”
Rio mengantarkan Restu mengambil sepeda motornya, dan melarang Restu masuk lagi ke rumah untuk berpamitan, supaya Murni tidak kembali ketakutan.
Ketika Rio memasuki rumah, ia mendengar Wulan sedang bercakap dengan Murni. Tampaknya dia sedang memaksa Murni untuk makan.
“Kamu harus makan, supaya kamu tidak lemas. Bukankah perutmu kosong sekarang?”
“Benarkah dia sudah pergi?”
“Dia sudah pergi Murni,” kata Rio yang mendengar pembicaraan itu, lalu menjenguk ke dalam kamar.
“Tuh, kan. Kamu kok tidak percaya sih sama aku?”
“Maaf Bu.”
“Sudah, sekarang makanlah.”
“Saya mau makan di dapur saja.”
“Apa-apaan sih kamu Murni?”
“Bagaimana mungkin saya membiarkan bu Wulan melayani saya?”
“Kamu itu sedang sakit, jadi menurutlah.”
Murni berusaha duduk. Memang tubuhnya terasa lemas. Ia heran, baru mendengar nama Restu di sebut saja, badannya sudah terasa panas dingin, dan ingin muntah. Kalau saja Murni tahu bahwa yang membopongnya masuk ke kamar adalah Restu, entah apa yang akan dilakukannya. Barangkali Murni akan melompat dari gendongan.
Tapi kemudian dia menurut, ketika Wulan mengambilkan makan untuknya.
“Mau disuapin?”
“Tidak Bu, biar saya makan sendiri.”
“Baiklah, segera makan, aku tungguin kamu di sini,” kata Wulan sambil duduk di kursi, menatap bagaimana Murni menyantap makanannya dengan lahap. Rupanya Murni benar-benar kelaparan.
“Setelah makan, minum obat kamu. Aku letakkan di atas nakas.”
“Iya Bu, sudahlah Bu, jangan lagi melayani saya, saya sudah merasa kuat melakukannya sendiri.”
“Baiklah, setelah minum obat kamu harus tidur,” kata Wulan sambil keluar dari kamar.
Hari itu bu Broto sibuk membantu Sarni memasak di dapur. Ia sedang menyiapkan bumbu rawon, masakan kesukaan Restu. Yu Sarni membantu mengiris daging sambil tersenyum-senyum.
“Ibu sangat bersemangat hari ini.”
“Iya Ni, ini masakan kesukaan Restu. Nanti aku sendiri yang akan mengirimkannya ke bengkel.”
“Saya jadi heran, mengapa pak Restu tidak memilih bekerja di kantor bapak saja?”
“Itu kemauannya Ni, tidak ada yang bisa mencegahnya. Bapaknya juga membiarkannya, dan itu bagus. Dia tidak harus bergantung kepada orang tuanya. Barangkali lebih enak menikmati uang hasil usaha sendiri, daripada bergantung kepada orang tua.”
“Rupanya pak Restu belajar dari pengalamannya hidup susah ya Bu.”
“Ternyata benar kata bapaknya, bahwa apa yang dilakukannya dulu itu, bisa dijadikan pembelajaran untuk dia.”
“Hasilnya juga malah bagus, membuat orang tua bangga, ya Bu.”
“Iya Ni. Itu benar.”
“Tapi saya masih penasaran sama pak Restu.”
“Memangnya kenapa?”
“Ketika datang pertama kali itu, pak Restu memeluk saya, dan minta maaf pada saya, Saya bingung, soalnya saya tidak pernah merasa pak Restu punya salah sama saya.”
Bu Broto terdiam. Hampir saja terlontar kata-kata, bahwa Restu pernah melakukan hal tidak senonoh terhadap Murni. Untunglah bu Broto segera teringat, bahwa Murni tidak ingin simboknya mengetahui kejadian itu. Padahal sebenarnya, bagaimanapun menutupi sebuah rahasia, pasti pada suatu saat akan terbuka juga. Tapi karena harus menjaga perasaan Murni, bu Broto harus ikut menutupi rahasia itu.
“Kenapa ya Bu? Punya salah apa pak Restu sama yu Sarni?”
“Restu itu kan sudah sadar, bahwa semua yang dilakukannya adalah tidak benar. Jadi ya wajar saja kalau dia tidak merasa cukup untuk meminta maaf kepada orang tuanya saja, tapi juga kepada orang-orang disekitarnya.”
“Tapi yang saya heran, pak Restu melakukannya sambil menangis, gitu.”
“Bagus lah Ni, kalau orang menyesal sampai menangis, berarti penyesalannya itu sungguh-sungguh keluar dari hati yang paling dalam.”
“Benar juga ya Bu.”
“Sudah Ni, ini bumbunya, segera diuleg, jangan sampai ke siangan. Kalau kamu mau ikut juga boleh, aku sendiri pasti tidak bisa membawanya.”
“Ibu masak banyak sekali sih?”
“Restu itu temannya banyak, ada beberapa katanya, jadi biar bisa dimakan rame-rame. Nanti kita juga akan mampir ke rumah Wulan, katanya kalau siang Wulan sama Rio juga pulang untuk makan siang di rumah.”
“O, iya Bu, pantesan ibu beli dagingnya banyak sekali. Ternyata untuk tiga keluarga.”
“Kamu tidak lupa beli telur asin bukan? Rawon itu kan cocoknya sama telur asin.”
“Sudah bu. Itu sudah Sarni siapkan di meja, nanti tinggal dibawa.”
“Nanti tidak usah bilang sama Wulan kalau kita mau mampir, biar dia terkejut ya Ni.”
“Ibu suka sekali membuat kejutan.”
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 37
[…] Bersambung ke Jilid 36 […]