SELAMAT PAGI BIDADARI (39)

Karya Tien Kumalasari

Wulan terkejut. Pasti yang dimaksud anak kecil itu adalah Murni. Ia kebingungan menjawabnya, karena ada yu Sarni di tempat itu.

“Wanita hamil siapa sih? Kamu salah memasuki rumah, barangkali?” tanya yu Sarni.

“Tidak Bu, saya datang ke rumah ini pagi-pagi, untuk mengamen. Lalu ibu yang hamil itu keluar, dan memberi saya uang. Dia juga memberi nasi untuk saya makan, dan rantang ini dia isi nasi serta lauknya, untuk saya bawa pulang, karena ibu saya sedang sakit.”

“Anak ini aneh sekali ya Bu? Siapa yang hamil di rumah ini, coba?” kata yu Sarni keheranan.

Bu Broto saling pandang dengan Wulan, sementara Rio tampak kebingungan, kemudian turun dan pura-pura menyiapkan mobil.

“Ya sudah Bu, saya hanya ingin mengembalikan rantang saja, dan isinya itu gorengan, hasil jualan saya, karena ibu itu memberi saya uang untuk modal jualan gorengan, daripada ngamen, saya juga sebenarnya nggak bisa nyanyi. Permisi …” katanya sambil membalikkan tubuhnya dan berlalu.

“Kok aneh ya ini?” celetuk yu Sarni.

Bu Broto segera menarik Sarni agar segera masuk ke dalam taksi yang menunggunya, tapi yu Sarni tampak masih memegangi rantang yang tadi dibawa Trimo, si anak tersebut.

“Ini memang rantang di sini bukan? Saya masih ingat, karena ini rantang yang pernah saya bawa dari rumah Ibu untuk mengirimi bu Wulan makanan waktu itu berarti anak itu tidak salah kalau mengembalikannya ke sini. Tapi siapa ya Bu, wanita hamil di rumah ini?” kata yu Sarni.

“Sudah Ni, berikan saja rantang itu sama Wulan, taksinya kelamaan menunggu,” kata bu Broto sambil menarik yu Sarni.

Yu Sarni segera menyerahkan rantang itu kepada Wulan, seperti perintah bu Broto, lalu mengikuti bu Broto masuk ke dalam taksi, yang kemudian perlahan keluar dari halaman.

Rio memasuki rumah, menatap Wulan yang masih memegangi rantang kembalian dari Trimo.

“Saya dengar ada gorengan, coba lihat, siapa tahu enak,” kata Rio sambil tersenyum kocak, membuat Wulan cemberut kesal.

“Ini masalah, Rio.”

“Kan aku sudah bilang, suatu hari, apa yang selama ini ditutupi pasti terbuka juga. Sekarang coba katakan, apa yang harus kita lakukan?”

“Mau tidak mau harus berterus terang pada yu Sarni.”

“Nah, akhirnya juga kan?”

“Tapi aku tidak tahu masalah rantang ini, aku harus menelpon Murni sekarang.

“Masalah rantang itu kan hanya sebuah jalan akan terbukanya rahasia itu. Mengapa dirisaukan?”

Wulan memasukkan rantang ke dalam rumah, yang kemudian Rio membukanya dan mencomot sepotong pisang goreng dari dalamnya, tanpa dosa.

Wulan mengangkat ponselnya dan menelpon Murni.

“Ya, bu Wulan,” jawab Murni dari seberang.

“Kamu pernah kedatangan seorang anak kecil, mengamen ke rumah, waktu di rumahku?”

“Oh, iya Bu, anak kecil. Kasihan Murni melihatnya, dia tampak lelah dan kelaparan. Ibunya sakit, bapaknya entah kemana, dia juga tidak tahu, lalu Murni beri dia makan, juga membawakan makanan untuk ibunya. Wadahnya rantang milik Ibu, saya lupa bilang. Maaf.”

“Rantang itu sudah kembali, diisi gorengan pisang dan entah apa lagi, katanya hasil dia jualan yang uang modalnya dari kamu.”

“Ya ampun, dia bilang begitu? Anak baik, syukurlah, anak itu namanya Trimo,” kata Murni sambil tersenyum senang.

“Tapi yang menerima rantang itu adalah yu Sarni, dan anak itu mengatakan bahwa yang memberinya adalah seorang wanita yang sedang hamil.”

Senyuman Murni hilang tiba-tiba. Kakinya gemetaran, kemudian dia duduk di kursi terdekat yang bisa dijangkaunya, karena tubuhnya limbung.

“Be … benarkah, simbok yang menerima? Dan anak itu mengatakan bahwa yang memberinya adalah seorang wanita hamil?” gemetar Murni saat berkata-kata.

“Iya, itu yang barusan dikatakannya. Sekarang anak itu sudah pergi.”

“Lal … lalu … simbok bilang apa?”

“Sampai saat ini dia mungkin masih bertanya-tanya, siapa gerangan wanita hamil yang ada di rumah aku itu, tapi barangkali juga ibu terpaksa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”

“Ada bu Broto juga?”

“Ibu sama yu Sarni datang mengirimi makanan, lalu lalu mereka terus ke rumah mas Restu. Sampai mereka berangkat, belum ada yang menjawab pertanyaan yu Sarni.”

“Ya Tuhan ….” Murni mulai terisak.

“Mengapa kamu menangis? Hal yang harus terjadi, terjadilah. Sikap kamu selama ini, melupakan hal yang pasti akan terjadi. Karena sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya.”

“Kalau sampai mendengarnya, simbok pasti sedih,” katanya diantara isak.

“Sedih dan marah. Bukan hanya sama kamu, tapi juga sama ibu, bapak, aku, dan juga Rio. Kenapa marah, karena kamu dan kamu telah menyimpan rahasia yang seharusnya dia tahu.”

“Maaf, bu Wulan, sebenarnya saya hanya menjaga, agar simbok tidak sedih memikirkan nasib saya.”

“Nasib manusia itu sudah digariskan dari Atas Sana. Berlama-lama meratapi sebuah petaka juga tidak ada benarnya. Selama ini kamu hanya menuruti kemauan kamu, karena kamu masih terguncang.”

“Maafkan saya, maafkan saya ….”

“Ya sudah, jangan menangis lagi. Kamu harus bersiap menghadapi semuanya. Berserahlah kepada Allah atas apa yang akan kamu terima.”

Murni menutup pembicaraan itu dan terguguk memelas.

Wulan merasa kesal karena Rio dengan nikmatnya mencomot gorengan di dalam rantang, dan menyantapnya dengan nikmat. Gorengan yang tadi serantang penuh, sekarang tinggal separo.

“Kamu tidak memikirkan keributan yang akan terjadi, Rio.”

“Siapa bilang aku tidak memikirkan? Tapi berpikir itu kan dengan otak, bukannya dengan perut. Perutku ini lapar, sementara kiriman dari ibu masih utuh terletak di meja makan,” jawab Rio sekenanya.

Wulan melempar suaminya dengan bantal yang terletak di sofa, membuat Rio lari terbirit-birit.


Akhirnya mereka menikmati semur ayam yang dikirimkan bu Broto di meja makan.

“Apa jawab kita kalau yu Sarni akhirnya mengetahui peristiwa ini lalu marah pada kita?”

“Kita kan hanya melakukan apa yang menjadi permintaan Murni, sejak terjadinya peristiwa naas itu, sampai kemudian Murni hamil. Jadi jawab saja apa adanya. Dan mengapa Murni melakukannya, karena dia tidak ingin ibunya sedih. Aku kira yu Sarni akan bisa mengerti.”

“Aku kira tidak semudah itu.”

“Kamu kan biasanya bisa bicara dengan bijak, dengan sabat, dan membuat orang bisa mengerti, menerima dan memahami. Jadi lakukanlah, aku percaya sama kamu.”


Disepanjang perjalanan, yu Sarni terus menerus bergumam tentang bocah cilik yang bertemu perempuan hamil di rumah Wulan. Tapi bu Broto mendiamkannya. Harus ada cara untuk membuat yu Sarni mengerti, dan itu tidak mudah.

“Mengapa Ibu diam saja?”

“Apa yang harus aku katakan?”

“Apakah bu Wulan punya pembantu wanita hamil?”

“Ya sudah, kamu diam saja dulu, nanti kalau kita sudah sampai di rumah Restu, aku akan bicara.”

“Tentang wanita hamil itu?”

Taksi yang ditumpangi bu Broto dan yu Sarni sudah sampai di depan bengkel. Kebetulan Restu ada di depan, langsung menyambut ibunya begitu mereka turun.

“Ini ada nasi dan lauk pauk, suruh karyawan kamu menikmatinya,” kata bu Broto.

“Terima kasih banyak Bu,” kata Restu yang kemudian meletakkan makanan pemberian bu Broto itu di meja.

“Bawa kami ke atas, Restu. Ibu mau bicara.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 40

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *