SELAMAT PAGI BIDADARI (43)

Karya Tien Kumalasari

Ada ucapan ibunya Trimo yang menusuk perasaannya. Dan mulai dipikirkannya. Bagaimana kalau kelak anaknya bertanya siapa ayahnya? Akankah dia mengatakan kebusukan laki-laki yang dibencinya itu kepada anak yang terlahir karena kelakuannya. Sementara Murni sama sekali tak berani menatap wajah laki-laki itu. Batinnya terasa terkoyak apabila mengingatnya, apalagi memandanginya. Mana mungkin dia akan bersedia menerimanya walau sebenarnya dia tak pantas bersanding dengannya karena dirinya hanyalah anak pembantu.

Laki-laki tak bermoral itu sudah menyadari kesalahannya, bahkan bersedia menikahinya, tapi dia tak mampu menatap wajahnya. Kengerian selalu mencengkeram jiwanya setiap kali melihatnya. Bahkan membayangkan wajahnya saja ia tak berani. Ia merasa seperti melihat serigala dengan taring-taring tajamnya, yang siap mengoyak tubuhnya hingga luluh berdarah-darah.

Murni menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berharap bayangan itu lenyap dari angan-angannya.

“Bu Murni …” sapa ibunya Trimo karena melihat bahwa Murni sedari tadi hanya diam, lalu tampak sangat gelisah.

Murni melepaskan tangannya, lalu tampaklah wajahnya memerah menahan tangis.

“Bu Murni jangan tersinggung. Saya hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, dan bahwa kelak dikemudian hari, akan ada pertanyaan semacam itu.”

“Saya selalu ketakutan.”

“Maukah bu Murni tinggal di sini untuk sementara waktu, agar bisa mengendapkan rasa gelisah dalam memikirkan kehidupan yang membuat bu Murni ketakutan?”

Wajah Murni berseri mendengar tawaran itu. Sesungguhnya dia butuh tempat bernaung untuk bisa menenangkan diri. Tapi kemudian dia ragu-ragu. Rumah itu begitu kecil, tampaknya hanya ada dua kamar, jadi bagaimana kalau dia merepotkan mereka?

“Memang sih Bu, rumah ini kecil. Tapi bu Murni bisa tidur di salah satu kamar yang ada. Saya hanya berdua dengan Trimo. Tapi yaa …. Memang beginilah keadaan rumah ini. Bu Murni yang biasanya tinggal di rumah bagus pasti keberatan untuk_”

“Tidak, bukan begitu. Saya hanya takut merepotkan saja. Soal rumah, saya juga punya rumah di kampung, yang tidak jauh bedanya dengan rumah ini. Saya ini kan hanya anak oembantu.”

“Syukurlah kalau bu Murni tidak keberatan, saya akan membersihkan dulu kamarnya, sehingga bu Murni bisa segera beristirahat.”

Bu Trisni berdiri, beranjak ke belakang, sementara Murni menyandarkan tubuhnya di kursi, ada perasaa lega karena ia mendapatkan tempat bernaung, agar bisa menenangkan diri dari kegelisahan yang selalu melandanya.

“Lhoh, mana ibu?” tiba-tiba Trimo masuk membawa bungkusan besar yang tampak berat. Murni berdiri untuk membantunya, karena Trimo masih terhitung anak kecil.

“Belanja apa Mo?” kata Murni sambil meminta bungkusan plastik yang dibawa Trimo. Tak begitu berat sebenarnya, tapi tentu berbeda dengan Trimo yang masih kanak-kanak.

“Hanya beras dua kilo, sama telur, sama kecap, biar saya saja Bu.”

“Biar aku bantu, harus diletakkan di mana ini Mo?”

“Di dapur.”

Trimo mendahului berjalan, Murni mengikutinya, kemudian meletakkan belanjaan itu di atas meja, atas permintaan Trimo.

“Sudah Bu, kembalilah duduk, ini nanti biar diurus sama ibu.”

Murni kembali duduk. Trimo menuju ke arah kamarnya, melihat ibunya mengganti sarung bantal dan guling, dan membersihkan balai-balai beralaskan tikar.

“Apa bu Murni mau tidur di sini?” tanya Trimo.

“Iya Mo, kasihan dia. Nanti kamu tidur sama ibu ya Nak?”

“Iya Bu, syukurlah bu Murni mau tidur di rumah kita.”

“Kasihan, tampaknya dia sedang bingung, tak tahu harus pergi kemana.”

“Mana Bu, Trimo bantu,” kata Trimo.

“Sudah selesai Mo, kamu temani saja bu Murni, ibu mau menanak nasi sama menggoreng telur untuk makan malam nanti, sama sayur tadi masih ada kan. Atau kamu minta saja bu Murni agar beristirahat di sini sekarang.”

Trimo beranjak kembali ke depan, duduk di depan Murni yang menyandarkan tubuhnya di kursi.

“Bu, kalau Ibu mau rebahan, kamarnya sudah siap. Tapi kami tidak punya kasur Bu, alasnya hanya tikar.”

“Tidak apa-apa Mo, aku sudah biasa tidur beralas tikar, rumahku di kampung juga nggak punya kasur.”
“Ya sudah, ibu istirahat dulu, kopernya saya bawa ke kamar ya,” kata Trimo sambil mendekati kopor yang sejak tadi masih berada di dekat pintu masuk, kemudian menariknya ke dalam kamar. Murni mengikutinya.

“Bu, saya merepotkan ya?” kata Murni sebelum masuk kedalam kamar yang ditunjukkan Trimo, lalu melihat bu Trisni sedang sibuk di ruang belakang.

“Tidak … tidak, bu Murni, saya senang bisa melakukannya. Silakan rebahan dulu, tapi maaf, alasnya hanya tikar, kami tidak punya kasur.”

“Tidak apa-apa Bu, saya biasa tidur di atas tikar. Terima kasih, saya rebahan sebentar ya Bu.”

“Silakan Bu Murni, jangan sungkan. Kalau bu Murni ingin membersihkan diri dulu, kamar mandi ada di belakang. Antarkan Mo,” katanya kemudian kepada Trimo.

“Mari Bu, kamar mandinya di sana,” kata Trimo sambil menunjukkan arah kamar mandi kepada Murni.

Terasa sedikit segar ketika ia berhasil mengguyur tubuhnya dengan air.

Trimo menutup pintunya setelah Murni kembali ke kamar.

Murni mengganti bajunya yang terasa lengket berdebu dalam perjalanan sejak siang tadi, kemudian merebahkan tubuhnya. Terdengar derit perlahan ketika tubuh lelah itu terbaring di sana.

Murni menghela napas panjang. Ia tak menyangka dirinya bisa terdampar di sebuah tempat yang sangat asing baginya. Dan beruntung bertemu dengan orang yang pernah ditolongnya.

Ia meraba kopor yang terletak di sampingnya, dan mengambil ponsel yang dimatikannya sejak dia pergi meninggalkan mes.

Ia mengaktifkannya, dan menemukan berpuluh-puluh panggilan, diantaranya dari simboknya, dari Wulan, dan dari teman-teman kerjanya. Tapi yang membuatnya sedih adalah yang dari simboknya.

“Ya Tuhan, simbok … apakah simbok marah sama aku?”

Tangan Murni gemetar, ingin kembali menelpon simboknya, tapi ragu-ragu. Lalu ia membiarkannya, sampai terlelap karena lelah.


Yu Sarni duduk di depan Restu, sama-sama diam, dan kegelisahan yang sama. Hari mulai senja, tapi tak ada tanda-tanda Murni pulang ke rumah.

“Tampaknya Murni tidak pulang kemari,” gumam yu Sarni.

“Kita tunggu saja Yu, siapa tahu nanti malam. Ini kan masih sore,” kata Restu berusaha menghibur, padahal dirinya juga merasa tidak tenang.

“Bagaimana kalau dia tidak pulang kemari?”

“Murni bukan anak kecil, ia pasti bisa menjaga diri.”

“Kalau dia tidak pulang kemari, lalu kemana, coba?”

“Barangkali dia justru takut sama yu Sarni, karena dia menutupi semuanya sejak awal.”

“Ya ampuun, lalu apa yang harus saya lakukan. Saya mau bilang bahwa tidak akan marah, tapi saya menelpon tidak diangkat, ponselnya mati, lalu bagaimana?”

“Bagaimana kalau mengirim pesan saja Yu, jadi kalaupun ponsel tidak aktif, suatu saat kalau dia membukanya, pasti dia akan membacanya.”

“Apa begitu ya, Pak Restu?”

“Sekarang yu Sarni menuliskan saja pesan, katakan bahwa yu Sarni tidak marah, dan mengharap bertemu dia. Dan jangan lupa bilang, bahwa saya juga menunggunya, siap menikahinya. Kata-katanya terserah yu Sarni, pokoknya isinya seperti itu.”

Yu Sarni mengangguk. Ia mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam kamar, lalu menuliskan pesan seperti saran Restu. Pesan yang sangat panjang, dan yu Sarni berharap akan bisa menyentuh hati anaknya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 44

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *