SELAMAT PAGI BIDADARI (50)

Karya Tien Kumalasari

Restu terkejut.

“Lisa? Mau apa kamu datang kemari?” kata Restu tak senang.

Melihat wajak tak suka itu, bukannya mundur, Lisa justru mendekat, lalu duduk di kursi di depan meja kerja Restu.

“Restu, maafkan aku ya?”

“Ya, baiklah, aku maafkan, tapi tolong pergilah, aku sedang sibuk.”

“Ya ampun Restu, aku mohon, kamu mau mendengarkan ceritaku. Tolong.”

“Untuk apa aku mendengarkan ceritamu? Urusan kamu bukan urusan aku, kita tidak punya ikatan apa-apa. Jadi lebih baik kamu pergi saja.”

Tiba-tiba Lisa menangis. Restu kebingungan. Ada anak buahnya di luar ruangannya, dan pasti melihat apa yang terjadi.

“Terlena oleh bujukan pak Thomas, sehingga aku melupakan kamu. Aku menyesal Restu. Dan mendengar kamu sudah bercerai, aku datang menemui kamu, mari kita mulai lagi semuanya dari awal.”

“Tidak, aku tidak bisa. Pergilah.”

“Restu, aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Isteri pak Thomas memecat aku,” isaknya.

“Itu bukan urusan aku Lisa, tolong pergilah.”

“Gelang pemberian kamu juga diminta oleh isteri pak Thomas, dia mengira gelang itu dari suaminya, padahal kan dari kamu Restu? Aku simpan terus karena aku menyayangi kamu.”

“Tidak, tidak. Jangan cerita apapun, aku tidak mau mendengarnya, itu bukan urusan aku.”

“Restu, aku masih sayang saya kamu.”

“Hentikan, aku sudah mau menikah.”

“Apa? Kamu mau menikah sama siapa Restu?”

“Kamu tidak perlu tahu, itu bukan urusan kamu.”

“Aku hanya ingin tahu, dan ingin mengenalnya saja.”

“Tidak perlu, dia bukan apa-apa kamu, dan tak ada untungnya berkenalan sama kamu. Tolong pergilah, aku masih banyak urusan,” katanya sambil berdiri, lalu naik ke atas, memasuki kamarnya dan menguncinya.

Lisa merasa kesal. Ia berdiri lalu keluar dari ruangan kecil itu, dimana Restu biasanya bekerja, mengontrol perusahaannya.

Sebelum keluar, Lisa menoleh ke arah karyawan-karyawan dan mengoceh.

“Majikan kamu itu sekarang sudah berubah. Dulu dia sangat menyayangi aku. Apapun yang aku minta selalu diberikan. Lalu dia menjadi miskin. Sekarang, ketika dia mulai bisa membangun usaha lagi, dia lupa sama aku. Kejam kan? Malah dia mau menikah katanya? Hm, aku ingin melihatnya, seperti apa istrinya, lebih cantikkah dari aku?”

Lalu Lisa melangkah pergi, diiringi pandangan aneh dari yang ada di situ, termasuk beberapa orang yang sedang memperbaiki mobilnya di bengkel tersebut.

“Siapa sih dia?” tanya seseorang.

Para karyawan hanya mengangkat bahu.

“Wanita tak tahu malu,” celetuk yang lainnya.

“Iya, masa mengumbar sesuatu yang seharusnya dirahasiakan, ditempat umum pula.”

“Pak bos juga nggak peduli, tadi ditinggalkannya begitu saja.”

“Pasti bener-bener perempuan gila.”

Lalu mereka tak peduli, dan melanjutkan pekerjaan mereka lagi, karena beberapa pelanggan sedang menunggu.


‘Rio … kita akan punya gawe.” Teriak Wulan dengan gembira ketika suaminya pulang.

“Tentang mas Restu?”

“Iya, Murni sudah bersedia. Bapak sama ibu senang sekali.”

“Atur semuanya, carikan gedung dan_”

“Tidak Rio, tidak usah.”

“Apa maksudmu? Bukankah mereka akan menikah?”

“Tapi Murni tidak mau ada pesta. Cukup menikah dan selesai.”

“Begitu ya? Mungkin rame-rame nya di kampung mereka.”

“Tidak juga.”

“Kok semuanya tidak sih?”

“Murni minta menikah di sini, jadi mas Restu sedang mengurusnya. Mungkin beberapa hari selesai. Lega aku jadinya.”

“Aku senang akhirnya semua menjadi baik. Sekarang Murni ada di mana? Di rumah bapak?”

“Iya, bersama yu Sarni, ada di rumah bapak.”

“Ayuk kita ke sana.”
“Mandi dulu saja, nanti setelah maghrib kita ke sana.”

“Baiklah, bidadari,” kata Rio yang langsung masuk ke kamarnya. Wulan sudah menyediakan baju ganti untuk suaminya, kemudian ke dapur untuk membuatkan kopi pahit kesukaan suaminya. Ada roti bakar yang dibuatnya untuk cemilan, lalu dihidangkannya di atas meja di ruang tengah.

Wulan menyetel televisi sambil menunggu suaminya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dari ibu,” gumamnya sambil mengangkat panggilan itu.

“Ya Ibu,” sapanya.

“Wulan, suami kamu sudah pulang?”

“Sudah Bu, sekarang baru mandi.”

“Datanglah kemari, karena bapak mau bicara bersama kalian. Nanti Restu juga akan ke rumah.”

“Rupanya ibu mau mengadakan pesta?” canda Wulan.

“Tidak Wulan, kan ibu sudah bilang, bahwa Murni hanya mau melaksanakan ijab kobul saja, tidak mau ada pesta.”

“Iya, Wulan sudah tahu kok Bu.”

“Tapi bagaimanapun kan semuanya harus dipersiapkan?”

“Iya Bu.”

“Datanglah cepat, bapak sudah menunggu.”

“Baiklah, setelah mandi, Rio akan segera Wulan ajak datang kemari.”

“Suruh Rio membawa gitarnya,” tiba-tiba terdengar suara pak Broto menyela.

“Bapak ada-ada saja sih, mau omong-omong atau mau menyanyi?” kata bu Baroto kesal.

“Masa semalaman mau ngomong terus. Kan ada waktu luang untuk bersenang-senang sebentar,” protes pak Broto. Wulan yang mendengar perdebatan itu tersenyum-senyum sendiri.

“Wulan,” kata bu Broto.

“Rio harus membawa gitarnya kan?” potong Wulan sambil tertawa.

“Iya, kamu mendengar ya. Bapakmu berteriak-teriak sih.”

“Baiklah Bu, akan saya siapkan gitarnya sekarang, supaya Rio tidak lupa membawanya.”

“Iya Wulan, segera ya, kami tunggu. Tuh, Restu sudah datang.”

“Sebentar lagi kami ke sana Bu.”


Persiapannya memang tidak terlalu heboh seperti kalau ada pengantinan di rumah. Tapi tetap saja semua harus dipersiapkan. Rio dan Wulan juga harus belanja, membeli kebaya yang bagus untuk Murni saat menikah, dan baju untuk yu Sarni, juga bu Broto dan dirinya sendiri. Rio juga membeli jas baru untuk Restu, agar walau sederhana tapi pernikahan itu bisa menjadi momen yang tak terlupakan bagi semuanya.

Murni hanya menurut saja, dan karena Wulan sudah sering membelikan baju untuk Murni, maka dia bisa memilihkan baju yang pas untuk Murni, hanya agak longgar di bagian perut, karena usia kehamilan yang sudah lima bulan pasti membuat perutnya sudah semakin membuncit.

Pernikahan itu sudah selesai, hanya dihadiri oleh keluarga, dan saudara dekat yu Sarni dari kampung yang hanya dua atau tiga orang. Tapi yu Sarni tampak bahagia, melihat anaknya bersanding dengan majikan yang ganteng dan tampak menyayangi anaknya.

“Kalian jangan tinggal di bengkel, aku lihat ruangan itu hanya bagus kamarnya, tapi tidak cukup perlengkapan untuk sebuah rumah tangga,” kata pak Broto.

“Aku akan memberi kamu hadiah sebuah rumah. Aku sudah mempersiapkannya, dan kamu boleh melihatnya, kalau sekiranya ada yang kurang, tinggal bilang saja,” lanjut pak Broto.

“Seharusnya kami bisa tinggal di rumah yang sederhana saja. Mengapa Bapak membelikannya? Awalnya Restu akan mengontrak dulu,” kata Restu.

“Tidak, ini hadiah untuk pernikahan kamu. Kamu tidak boleh menolaknya. Besok pagi kita akan melihatnya, ajak Murni juga.”

“Itu permintaan bapakmu, kamu jangan menolak,” sambung bu Broto.

Mau tak mau Restu menurut. Rumah itu dipilihkan ayahnya, tidak jauh dari bengkel tempat dia bekerja. Kecil tapi bagus, sudah lengkap dengan berabotnya.

“Bagaimana Mur? Kamu suka?” tanya Restu kepada Murni.

“Terserah pak Restu saja,” jawab Murni yang belum begitu akrab dengan suaminya.

Mereka akhirnya tinggal di rumah baru itu dengan senang hati.

Restu hanya berada di bengkel saat bengkelnya buka, dan Murni mengirim makanan untuk suaminya dan para karyawan setiap siang, hasil masakannya sendiri.

“Semakin lama Murni terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang, apalagi Restu sangat memperhatikannya. Selalu mengantarkan saat dia periksa kehamilan, dan melarangnya bekerja terlalu keras, karena Murni memang sudah terbiasa rajin sejak membantu di rumah Wulan.

Pagi itu Murni berangkat ke pasar untuk belanja, karena persediaan dapurnya sudah menipis. Saat sedang memilih sayuran, tiba-tiba seseorang menegurnya.

“O, ini yang namanya Murni, menanti pak Broto, pengusaha yang sangat terkenal itu?”

Murni terdiam karena terkejut.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 51

Tags: No tags

One Response

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *