Karya Tien Kumalasari
Murni terkejut. Dia belum pernah melihat wanita itu, yang menatapnya dengan mata penuh kebencian.
“Anda siapa?” tanyanya pelan.
“Kamu belum tahu siapa aku? Aku adalah kekasih Restu.”
Murni terbelalak.
“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,” katanya sengit, kemudian berlalu, membiarkan Murni terpaku di tempatnya berdiri.
Lalu Murni sadar, dia sedang berada di pasar. Ia mengusap setitik air matanya, menyelesaikan belanja, lalu pulang.
Murni memasak dengan perasaan gundah. Bahwa dirinya tadinya hanya pembantu, dia sudah tahu dan menyadarinya. Tapi bukan dia yang memaksa apalagi merayu Restu untuk menikahinya. Bukankah Restu yang memaksanya? Tapi lalu Murni sadar bahwa Restu memaksa menikahinya karena ada bayi di dalam kandungannya, bayi yang adalah darah dagingnya. Mungkin benar dan Murni juga yakin benar bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena adanya cinta.
Murni mengusap air matanya, lalu melanjutkan merajang sayur yang harus dimasaknya.
Ada keinginan untuk menghentikan acara memasak itu karena hatinya sakit, tapi dia sadar bahwa dia adalah seorang istri, yang apapun yang terjadi, harus melayani suaminya. Maka pada saatnya, sayur lodeh yang dimasaknya sudah matang, dia tinggal menggoreng bandeng presto dan membuat sambal terasi. Itu adalah masakan yang dipesan Restu sebelum berangkat bekerja, dan Murni tentu saja menyanggupinya.
Ia sudah menatanya di tempat biasa, dan siap dikirimkannya ke bengkel, untuk makan siang para pekerja bengkel, dan tentu saja untuk Restu.
Tapi beberapa saat lamanya dia hanya diam, menatap tumpukan rantang yang siap dibawanya. Bermacam pikiran berkecamuk dalam hatinya. Apakah dia harus berterus terang tentang kedatangan wanita cantik yang tadi menemuinya? Apakah dia harus marah karena menganggap suaminya ternyata selingkuh?
Tidak, Murni sadar sesadar-sadarnya bahwa dia hanya terpaksa dinikahi Restu, dia harus tahu diri. Biarlah ada wanita lain, Murni tak peduli. Dia hanya menjalankan kewajibannya.
Tapi kemudian Murni dikejutkan oleh kedatangan Restu yang tiba-tiba.
Restu terkejut melihat Murni duduk di kursi dan didepannya setumpuk rantang sudah tertata.
Murni berdiri menyambut.
“Kamu kenapa? Apa kamu sakit?”
“Tidak, maaf, sudah terlambat ya?”
“Tidak, aku hanya khawatir, biasanya kamu sudah mengirim sejak tadi, Ternyata sudah siap, dan kamu duduk tampak lesu.”
“Maaf.”
“Kamu tidak sakit? Tidak merasakan apa-apa?”
Murni menggeleng, Terharu melihat perhatian Restu, tapi kemudian ditepiskannya. Restu bukan memperhatikan dirinya karena sayang. Restu memperhatikan bayi yang dikandungnya.
“Aku makan di rumah saja ya? Bolehkah?”
“Boleh, tentu saja,” jawab Murni yang segera menata meja makan, lengkap dengan lauk dan nasinya. Sungkan, suaminya seperti sudah kelaparan.
“Makanan anak bengkel saya antar sekarang ya,” kata Murni yang merasa pastinya mereka juga sudah lapar.
“Jangan, biarkan saja.”
“Tapi …”
“Ayo, makan sama kamu juga,” ajak Restu ketika Murni hanya menatapnya.
Murni menurut. Ia makan sambil melayani suaminya. Sesungguhnya pada kehamilannya yang semakin tua, Murni lebih banyak makan, rasanya masih lapar kalau hanya makan sedikit. Jadi dia terpaksa makan banyak, yang disaksikan Restu sambil tersenyum.
“Nanti makanan anak-anak bengkel saya yang membawa.”
“Kasihan, pasti sudah lapar juga.”
“Tidak. Mereka akan sabar menunggu,” kata Restu sambil makan dengan nikmat.
Murni menatapnya.
“Kapan kamu akan kontrol kandungan?”
“Dua hari lagi.”
“Aku akan pulang lebih sore.”
“Tidak usah, aku ke dokter sendiri saja.”
“Jangan, aku harus mengantarkan kamu. Saat ini aku sedang menabung untuk membeli mobil yang second saja, biar agak murah,” kata Restu.
“Namanya mobil, tetap saja mahal.”
“Supaya kalau kamu periksa, tidak kehujanan. Sebentar lagi musim hujan.”
“Ada payung kan?”
“Murni, aku sudah menabung, uangku hampir cukup. Ijinkan aku meringankan beban kamu, jangan sampai kepanasan dan kehujanan. Apalagi kalau anak kita lahir.”
Murni terdiam. Lagi-lagi Murni merasa bahwa itu semua demi bayi yang dikandungnya. Dan wajah wanita cantik itu kembali terbayang.
“Kamu lihat aku baik-baik. Bagaimana penampilan aku, bagaimana wajah aku, lalu lihat dirimu sendiri. Kamu kan hanya bekas pembantu yang berhasil merayu Restu untuk bisa menikahi kamu? Tapi jangan harap bisa membuat Restu jatuh cinta sama kamu, karena dia hanya mencintai aku,”
Murni menghela napas kasar, sambil menutupkan sendok garpunya.
Restu menatapnya heran. Ada perubahan sikap Murni hari ini.
“Kamu kenapa?”
“Apa?”
“Kamu kenapa? Kok tidak seperti biasanya.”
“Aku baik-baik saja. Kalau pak Restu sudah selesai makan, segera kembalilah ke bengkel, anak-anak bengkel pasti sudah lapar,” kata Murni mengalihkan pertanyaan Restu.
“Baiklah. Aku akan pulang agak sore hari ini.”
“Ada apa?”
“Ingin bercanda dengan anakku. Kemarin sudah banyak bergerak bukan?”
Murni terpaksa tersenyum. Ia merasa geli ketika kaki mungkin di dalam perutnya menendang-nendang, apalagi kalau Restu mengelusnya. Restu mengatakan, anaknya sedang mengajaknya bercanda.
Restu berdiri, ia meraih rantang yang sudah disiapkan, kemudian berangkat kembali ke bengkel, setelah mengelus lembut perut Murni. Dan lagi-lagi bayi itu seperti menendang-nendang, membuat Murni meringis.
“Dia tahu, ayahnya mengajak dia bercanda,” kata Restu kemudian berlalu.
“Bapak tidak ke kantor hari ini?” tanya bu Broto setelah makan siang bersama suaminya.
“Tidak. Wulan sudah bisa diandalkan. Aku tidak harus setiap hari datang ke kantor.”
“Tapi kalau dilepas sendiri kan juga kasihan.”
“Tidak sendiri. Rio selalu membantunya kok.”
“Syukurlah.”
“Aku ingin membeli mobil kecil untuk Restu.”
“Bagus, Ibu juga berpikir begitu. Kasihan Restu, kalau panas kepanasan, kalau hujan kehujanan.”
“Aku akan menelponnya, apakah dia ada di bengkel. Aku akan mengajaknya melihat-lihat mobil, dan minta agar dia memilih mana yang disukainya.”
“Aku ikut ya Pak.”
“Kamu seperti anak kecil saja.”
“Iya lah Pak, sekarang yang di rumah tinggal Ibu sama Bapak. Bagusnya kalau kemana-mana harus berdua dong.”
“Baiklah, aku telpon dia dulu, takutnya dia tidak ditempat.”
“Ya Pak,” kata Restu menjawab ketika ayahnya menelpon.
“Kamu ada di bengkel?”
“Iya, baru saja kembali dari makan siang di rumah.”
“Wah, pasti menyenangkan. Istri kamu itu sama seperti simboknya, masakannya enak.”
“Iya benar Pak.”
“Bapak mau ke situ.”
“Oh ya, tumben.”
“Bapak mau mengajak kamu jalan-jalan, sama ibumu juga.”
“Tumben mau jalan-jalan. Kemana Pak?”
“Ke dealer mobil.”
“Bapak mau beli mobil?”
“Iya, Untukmu.”
Restu sangat terkejut.
“Mau beli mobil untuk Restu?”
“Iya, kamu pilih nanti, mana yang kamu suka.”
“Tidak usah Pak, Restu sudah mau membelinya sendiri, Pakai uang Restu sendiri.”
“Restu, uangmu berapa? Sudah cukupkah untuk beli mobil?”
“Hanya mobil bekas saja Pak, yang penting mesinnya masih bagus.”
“Bapak ingin membelikannya untuk kamu, simpan saja uang kamu untuk kebutuhan kamu. Apalagi kamu kan sudah mau punya anak. Kebutuhan bayi itu kan banyak.”
“Kebutuhan bayi sudah Restu siapkan. Tolong Pak, Restu tidak ingin lagi membebani Bapak. Restu sudah banyak menyusahkan Bapak.”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 52
Leave A Comment