Karya Tien Kumalasari
Restu mepet di pintu ruang operasi, serasa ingin menerobos masuk dan melihat, tangis siapa yang terdengar, karena ada dua orang ibu yang juga akan melahirkan caesar bersama Murni.
Lalu pintu itu terbuka, dan Restu terpaksa melompat menjauh, karena kalau tidak, maka jidatnya pasti akan terantuk daun pintu. Seorang dokter keluar.
“Keluarga ibu Murni ya, tanyanya ketika melihat Restu begitu bersemangat ketika menatapnya.
“Ya, saya suaminya.”
“Selamat, bayi anda selamat, seorang laki-laki yang tampan.”
“Alhamdulillah,” pekik bahagia dari semua yang ada di sekitar pintu.
“Bagaimana istri saya?”
“Istri Bapak sedang di tangani, tapi belum bisa dijenguk.”
“Apa dia sehat?”
“Sangat sehat. Bapak bisa bertemu nanti setelah dibersihkan. Hanya, bayinya harus masuk ke dalam inkubator, karena terlahir prematur.”
Restu mengangguk mengerti. Ia mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya sambil terus mengucapkan syukur. Demikian juga yu Sarni, dan semua keluarga pak Broto.
“Bapak sama Ibu dan Yu Sarni duduk dulu di sana, sambil menunggu,” kata Wulan sambil menggandeng yu Sarni, diajaknya duduk bersama mereka.
“Ni, kamu sudah menjadi nenek, selamat ya,” kata bu Broto, disusul suaminya, Wulan dan juga Rio.
“Iya … iya … terima kasih … terima kasih semuanya, saya bahagia, ya Tuhan, menjadi nenek. Terkadang saya masih kemayu,” kata yu Sarni sambil tersenyum, disambut tawa yang lainnya.
“Mulai sekarang nggak boleh genit,” tukas bu Broto sambil tertawa.
Begitu diberi tahu bahwa Murni sudah bisa dijenguk, Restu segera menghambur ke dalam. Dilihatnya Murni terbaring sambil tersenyum. Restu mencium keningnya.
“Terima kasih telah memberikan jagoan untuk aku,” bisiknya, disambut senyuman bahagia di bibir Murni.
“Mana anakku?”
Seorang perawat menunjukkan bayi mungil di dalam inkubator. Restu beranjak mendekati.
“Belum boleh digendong ya?”
“Belum Pak, menunggu kalau sudah kuat. Sebentar lagi istri Bapak akan dipindahkan ke ruang rawat,” kata salah seorang perawat.
“Pilihkan kamar terbaik untuk istriku,” pesan Restu.
“Baik Pak, tapi sebaiknya keluarga ibu Murni tidak menemui ibu Murni dulu, menunggu kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat.
“Baiklah, saya akan memberi tahu mereka,” kata Restu yang segera keluar dengan wajah berbinar.
“Bagaimana keadaannya?” tanya yu Sarni.
“Baik. Sehat, tapi belum boleh masuk dulu, menunggu kalau sudah ada di ruang rawat.”
“Apa dia sudah bisa bicara?” tanya yu Sarni.
“Ya sudah Yu, kenapa tidak bisa?”
“Kalau dioperasi itu kan dibius, jadi tidak bisa segera sadar? Kok begitu ceoat?”
“Yu, kalau operasi caesar itu, tidak dibius total, hanya di bagian perut ke bawah, jadi dia sadar dan bisa bicara,” terang Wulan.
“O, begitu yah? Berarti nanti langsung bisa cerita dong.”
“Bisa Yu.”
“Kapan kita bisa ketemu Bu?” yu Sarni tampak begitu bernafsu, maklum baru sekali punya cucu.
“Nanti kalau sudah dipindahkan ke ruang rawat, biasanya menunggu sampai dua jam.”
“Waduh, lama sekali.”
“Sabar Yu,” kata Restu sambil tertawa.”
Keluarga Broto sangat bahagia dengan kelahiran bayi Murni. Kelahiran yang tak terduga karena belum waktunya, tapi membuat mereka bahagia karena bayi dan ibunya selamat dan sehat.
“Dari mana kamu? Sejak pagi pamit belanja tapi sampai siang begini baru pulang?” tegur pak Thomas ketika istrinya masuk ke dalam rumah. Sejak peristiwa Lisa dilabrak bu Thomas, pak Thomas dilarang datang ke butik tanpa dirinya.
“Aku menolong seseorang. Seorang wanita yang kecelakaan karena ditabrak seorang pengendara motor.”
“Menolong bagaimana?”
“Mengantarkannya ke rumah sakit. Mas tahu tidak, wanita sedang hamil, dan terpaksa dilahirkan paksa karena kecelakaan itu.”
“Penabraknya sudah ditangkap?”
“Tadinya melarikan diri, tapi kan aku tahu rumahnya. Aku laporkan ke polisi, dan sudah ditangkap.”
“Syukurin. Tidak bertanggung jawab,” omel pak Thomas.
“Dia memang sengaja menabraknya, biar korban itu celaka.”
“Memangnya kenapa? Biar dia dihukum seberat-beratnya. Tapi bagaimana kamu tahu di mana rumahnya?”
“Soalnya aku tahu siapa dia. Dia itu bukan saja pelakor, tapi juga penjahat.”
Pak Thomas berdebar. Istrinya selalu bilamg pelakor setiap kali menyebut nama Lisa. Apakah pelaku penabrakan itu Lisa? Kenapa?”
“Siapa?” pak Thomas berusaha bertanya karena tidak begitu yakin.
“Selingkuhan Mas itu. Lisa, siapa lagi.”
“Lisa? Mengapa dia menabrak dengan sengaja?”
“Mana aku tahu? Tampaknya dia benci wanita hamil itu.dia juga ganti mau mengganggu suaminya. Padahal suaminya juga tidak begitu kaya.”
“Dari mana kamu tahu kalau dia tidak begitu kaya?”
“Kalaua dia kaya ya pastilah punya mobil. Kendaraannya cuma motor dan itupun bukan keluaran terbaru. Cuma dia ganteng. Mungkin itu yang menarik bagi pelakor itu. Tapi ketika aku menyebut nama Lisa kok dia biasa saja ya, tidak terkejut, dan tidak tampak heran.”
“Kamu bicara sama suami si korban?”
“Iya lah, aku kan mengantarkan istrinya sampai di rumah sakit.”
“Siapa namanya?”
“Namanya Murni, itu diketahui setelah dia sadar.”
“Suaminya.”
“Kalau tidak salah … Restu, nggak tahu siapa nama lengkapnya.”
Pak Thomas tentu saja tahu, siapa Restu, karena Lisa seringkali menyebut namanya sehingga membuatnya cemburu. Tapi ia hanya diam, tak ingin mengungkap apa yang diketahuinya tentang Restu dan Lisa. Dan dia berpikir, mungkin setelah dia tidak lagi berhubungan dengannya, kemudian berharap bisa kembali bersama Restu, tapi rupanya Restu sudah punya istri dan sudah hamil pula.
“Mengapa diam? Sedih ya, tahu Lisa dipenjara? Orang jahat memang di sana tempatnya. Memang enak, morotin harta orang dengan modal seksi, cantik, menarik dan memuaskannya di tempat tidur?” kata bu Thomas mengungkit kembali soal perselingkuhan suaminya.
“Apa sih kamu itu, ngomongin masalah itu lagi. Kan semuanya sudah selesai, dan aku tidak pernah lagi ke mana-mana?”
“Iya lah, karena aku terus mengawasi Mas. Coba saja aku lepaskan, nggak mungkin nggak melakukannya lagi. Apalagi kalau perempuannya nyosor seperti dia itu.”
Pak Thomas diam. Isterinya memang suka bicara. Kalau sudah mengatakan sesuatu, dan ditanggapi, maka akan menjadi panjang seperti ular, itu sebabnya maka lebih baik dia mendiamkannya. Tapi ketika diam, bu Thomas juga masih mengomel lagi.
“Kok diam? Sedih ya?”
Dan kalau sudah begitu, pak Thomas memilih pergi menjauh.
Hari itu mereka berdua hanya tinggal di rumah. Tidak ke butik, dan tidak ke mana-mana. Tapi diam-diam ada yang dipikirkan pak Thomas. Berita tentang ditangkapnya Lisa membuatnya gelisah. Bagaimanapun dia masih menyayangi Lisa. Karena Lisa memang pintar memuaskan lelaki yang diporotinya. Seperti juga dulu, Restu juga susah melupakan dia, demikian juga pak Thomas.
Ia sedang santai di ruang tengah, tampak memikirkan sesuatu, tentang apa yang akan dikerjakannya. Ketika istrinya beranjak, dia segera meraba ponselnya.
“Mau kemana?”
“Mandi dong Mas, gerah. Lagi pula sudah sore.”
“Ya sudah, kamu mandi saja dulu, habis itu baru aku.”
Bu Thomas masuk ke kamar, dan pak Thomas menunggu beberapa saat. Ia harus meyakinkan bahwa istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Ia masuk ke kamar dan mendekati pintu kamar mandi. Ia merasa lega ketika mendengar gemercik air dari shower yang memancar.
Ia berjingkat keluar kamar, lalu mengambil ponselnya, dan menghubungi seseorang.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 58
Leave A Comment