Karya Tien Kumalasari
Munah terkejut, kemudian pengendara mobil itu berhenti.
“Dari mana kamu Munah?” yang menyapa adalah seorang wanita, yang duduk di samping kemudi. Dia bu Thomas, sedangkan pengemudinya adalah pak Thomas. Munah menatap mereka, tapi ia melihat pak Thomas mengedipkan sebelah matanya. Munah mengerti, bahwa dia harus berbohong.
“Munah. Ditanya kok diam saja?” tanya bu Thomas sedikit keras.
“Ini Bu, aduh … saya hanya kaget, saya kira ada mobil mau menabrak saya,” jawab Munah yang memang benar-benar kaget.
“Aku tuh bertanya, kamu kok berada di sini itu dari mana?”
“Dari … situ Bu, mencari makanan buat simbok saya,” jawab Munah sekenanya.
“Kok cari makanan sampai di sini, bukankah dekat rumah kamu juga ada pasar?”
“Sudahlah Bu, kamu kenapa juga, nanyanya begitu amat. Namanya orang kan ya pasti butuh ini … itu … Kamu nanyanya seperti maksa begitu,” kata pak Thomas yang mulai kesal. Lagi pula lama-lama dia tahut, kalau Munah sampai keceplosan. Kemudian dia menjalankan mobilnya lagi, karena memang dari tadi dia tidak mematikan mesinnya.
“Bagaimana sih Mas ini? Orang lagi ngomong kok mobilnya dijalankan,” omel bu Thomas.
“Habis kamu ngomongnya yang enggak-enggak. Kenapa juga, melihat Munah langsung minta berhenti. Kirain ada yang perlu, ternyata hanya nanya hal yang nggak jelas,” omel pak Thomas sambil terus menjalankan mobilnya.
“Mas tampak aneh. Seperti nggak suka aku bertanya sama Munah. Apa ada sesuatu?”
“Makin lama kamu tuh makin menjengkelkan ya Bu, masa aku ada sesuatu sama Munah? Cantik enggak, muda juga enggak.”
“Bukan sama Munah nya, tapi sama yang lainnya.”
“Yang lain apa lagi sih?”
“Pokoknya aku curiga saja sama Mas, tampaknya ada sesuatu yang disembunyikan. Ada rahasia antara Mas sama Munah.”
“Memangnya seleraku serendah itu?” marah pak Thomas.
“Aku kan sudah bilang, bukan sama Munah. Entah sama siapa ya …” kata bu Thomas dengan nada mengejek.
Pak Thomas merasa, istrinya mencurigai sesuatu. Dari mana dia tahu dia dan Munah menyimpan suatu rahasia? Jangan-jangan istrinya juga tahu bahwa Munah mempunyai tugas untuk menemui Lisa setiap hari, pikir Thomas. Tapi dia diam saja, sementara bu Thomas senyum-senyum kesal.
Mereka menuju butik, tapi entah mengapa, bu Thomas minta agar pak Thomas melalui jalan itu, jalan yang melewati kantor polisi, dimana Lisa ditahan. Pak Thomas mulai menduga-duga, bahwa istrinya mengetahui sesuatu. Antara Munah dan dirinya, menyimpan rahasia. Dari mana istrinya tahu?
“Percayalah, aku akan segera tahu sesuatu yang tersembunyi, atau yang memang kamu sembunyikan,” celotehnya lagi, tanpa di jawab oleh suaminya.
“Lama-lama aku bosan menjalani hidup bersama dia, cerewetnya itu, dan perlakuannya terhadapku, setelah mengetahui hubungan aku sama Lisa. Aku dianggapnya pembantu, yang harus menuruti semua kemauannya,” omelnya dalam hati.
Baru saja polisi menemui Murni, untuk mendapat keterangan tentang kecelakaan yang dialaminya kemarin.
Murni tidak sempat melihat orangnya, karena tiba-tiba dia ditabrak, dan penabrak itu langsung kabur, kemudian dia pingsan.
Banyak yang ditanyakan, tapi Murni sebenarnya kesal. Dia merasa tak memiliki musuh. Kalau orang lain memusuhi dia, mana dia tahu?
Restu menghibur Murni agar tidak terlalu memikirkan masalah itu. Ia merasa kasihan karena Murni tampak masih lelah setelah operasi kemarin.
Bayi laki-laki itu diberinya nama Gilang Restu Putra. Cakep seperti wajahnya yang sangat mirip dengan ayahnya. Restu setiap hari datang dan tahan berlama-lama memandangi wajahnya yang mulus dan cemerlang bagai bintang. Demikian juga pak Broto dan Bu Broto, apalagi Yu Sarnai, yang sangat bahagia mendapatkan cucu pertamanya. Laki-laki pula.
Di hari ke lima, Murni sudah boleh pulang, tapi Gilang masih harus di rawat di dalam inkubator. Ia boleh datang setiap hari untuk memberikan ASI, dan menyimpannya di dalam wadah-wadah yang disediakan, untuk diminumkan kepada sang bayi, karena lebih baik diberikan ASI dari pada susu formula.
Kebetulan Murni juga sangat sehat, sehingga Gilang tak pernah kekurangan stok ASI dari ibunya.
Wulan sedang bersantai bersama suaminya, saat sore menlelang malam. Mereka pulang dari kantor agak siang karena tak banyak yang harus mereka selesaikan. Mereka berbincang tentang anaknya Murni yang tampak semakin sehat dan menggemaskan.
“Kalau dirasa-rasakan, sebenarnya aku ini sedikit merasa kecewa lho,” kata Wulan tanpa memandang ke arah suaminya. Temaram senja menampakkan langit kemerahan yang semburat bagai lukisan yang tak tertandingi oleh pelukis manapun. Begitu hidup dan menawan, lalu angin menghembuskan mega putih yang menari-nari diantara langit yang kemudian semakin meredup.
“Kenapa bidadariku kecewa? Aku salah apa?” tanya Rio sambil mengelus pundak istrinya.
“Bukan karena salah kamu Rio. Kamu ingat? Dulu Murni begitu membenci bayi yang dikandungnya, lalu aku berjanji akan mengambilnya sebagai anakku kalau dia lahir nanti.”
“Oh, iya … aku ingat. Kamu kecewa karena itu?”
“Kamu melihat bayi itu kan? Begitu montok dan ganteng.”
“Ya, benar. Wajahnya persis mas Restu.”
“Sekarang Murni dan mas Restu begitu bahagia setelah kelahiran Gilang. Tak mungkin bayi itu diberikan padaku.”
Rio tertawa keras.
“Wulan adalah bidadari tercantik di duniaku, jadi aku tidak percaya kalau dia punya perasaan kecewa yang kemudian sampai menyakiti hatinya.”
“Ya tidak Rio. Tentu saja aku tidak akan sakit hati. Aku tadi kan bilang, sedikit kecewa. Hanya sedikit, dan itu tidak berpengaruh apa-apa terhadap rasa sayang aku sama Murni.”
“Baguslah. Dan kamu harus percaya, bahwa Rio mu ini akan sanggup mencetak bayi-bayi lain yang ganteng dan cantik.”
“Tepi belum kan?”
“Kamu harus bersabar dong Wulan. Allah memberi sesuatu pada saatnya. Jangan berhenti memohon, dan tentu saja berusaha,” kata Rio sambil tersenyum nakal pada istrinya.
Wulan tersipu., kemudian berdiri sambil menggamit lengan suaminya.
“Sudah adzan tuh.”
“Iya, aku tahu, Jangan lupa memohon,” kata Rio sambil berdiri.
“Dan setelah itu berusaha,” lanjutnya sambil merangkul pinggang istrinya.
“Masih sore.”
“Memang ada aturannya?”
“Hei, mau berwudhu, jangan membayangkan hal-hal mesum,” kata Wulan sambil berjalan mendahului. Rio mengejarnya.
Hari itu Restu tidak pergi ke bengkel, karena Murni baru saja diantarkan pulang dari rumah sakit. Restu sudah memiliki mobil baru. Baru dipakai, tapi bekas orang, kata Rio bercanda kepada istrinya.
“Mengapa bapak terburu-buru membeli mobil? Bukankah mobil itu mahal?”
“Aku sudah lama menabung, dan kebetulan sekali, menyambut kelahiran anak aku ini uangnya tiba-tiba cukup, karena rejeki lebih deras mengalir.”
“Alhamdulillah.”
“Ini untuk kamu dan Gilang, supaya kalau kamu bolak balik ke rumah sakit tidak kepanasan.”
“Terima kasih Bapak memperhatikan saya.”
“Tentu saja, karena kamu adalah istriku. Nanti kalau kamu sudah sehat benar, aku ajarin kamu menyetir mobil, supaya kalau kamu kemana-mana bisa tanpa aku.”
“Nggak usah ah. Saya tidak suka menyetir mobil sendiri.”
“Kok tidak suka sih?”
“Tidak biasa, wanita kampung menyetir mobil sendiri.”
“Ya ampun Murni, memang apa salahnya orang kampung menyetir mobil? Kalau kamu bisa, kamu bisa jalan-jalan sama Gilang, mengajak yu Sarni.”
“Kan ada Bapak. Ya sama Bapak saja dong.”
“Kalau aku sibuk?”
“Kalau Bapak sibuk, tidak usah jalan kemana-mana.”
Restu tersenyum. Murni memang wanita sederhana. Bukan karena dia gadis kampung yang lugu, tapi memang dia punya pembawaan yang lugu dan sederhana. Padahal dia sudah punya segalanya. Walaupun tidak kaya raya, tapi hidup berkecukupan, itu sangat disyukurinya. Apa lagi suaminya sangat menyayanginya. Dan itu cukup baginya.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dari depan rumah.
“Assalamu’alaikum.”
“Suara wanita,” kata Restu yang kemudian bergegas ke aeah depan, sambil membalas salamnya.
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 60
Leave A Comment