SELAMAT PAGI BIDADARI (61)

Karya Tien Kumalasari

“Oh, ada bu Thomas, rupanya?” sapa Murni ramah.

Bu Thomas menurunkan tangannya, ketika melihat Murni, apa lagi ada wanita lain bersamanya.

“Pak Restu, saya sama Trimo mau pamit dulu.”

“Apa mau menunggu sebentar, nanti saya antarkan, Bu.”

“Tidak usah Pak, saya mau mampir belanja sekalian. Trimo, ayo pamit dulu sama pak Restu,” teriak bu Trisni kemudian kepada Trimo, yang masih asyik berdiri di depan jendela.

Trimo setengah berlari mendekati ibunya.

“Kita pulang dulu, lain kali kemari lagi. Semoga saat kita kemari, adik Gilang sudah ada di rumah,” kata bu Trisni lagi.

Trimo mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya kepada Restu dan Murni, tak lupa menciumnya, kemudian mereka berlalu.

Murni masih berdiri diantara bu Thomas dan suaminya.

“Tampaknya sedang membicarakan sesuatu? Bagaimana kalau duduk di sana, supaya enak kalau bicara. Saya tidak akan mengganggu, karena akan memberikan ASI untuk Gilang,” kata Murni yang kemudian membalikkan tubuhnya, tapi kemudian Restu memegang lengannya.

“Kamu di sini saja, supaya tahu apa yang akan bu Thomas katakan. Tak akan ada yang akan aku sembunyikan dari kamu,” kata Restu sambil menarik Murni agar duduk bersama mereka.

Murni tak bisa menolak, ketika melihat bu Thomas mengangguk kepadanya.

“Barangkali ada sebuah masa lalu dari pak Restu yang bu Murni harus tahu. Tapi sebelumnya bu Murni harus maklum, karena yang namanya masa lalu itu, memang seharusnya sudah berlalu, dan tidak usah dipikirkan lagi. Yang penting menjalani hidup yang dimulai dari sebuah niat baik.”

Murni mengangguk, dan Restu harus berterima kasih kepada bu Thomas karena telah mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Ia hanya berharap, agar Murni bisa mengerti, karena Restu sudah tahu, ketika bu Thomas mengatakan tentang ‘sebuah gelang’, maka bu Thomas pasti sudah tahu tentang asal usul gelang itu.

”Apakah bu Murni bisa mengerti apa yang saya katakan?”

“Saya akan mencoba untuk mengerti,” jawabnya bersungguh-sungguh.

“Sepertinya saya pernah menceritakan sekilas tentang kelakuan suami saya, yang mengadakan hubungan dengan seorang pelakor yang mata duitan. Tentulah, kebanyakan dari mereka itu kan mengganggu rumah tangga orang, karena menginginkan hartanya, itu yang nomor satu, ya kan?”

“Wanita itu adalah yang menabrak bu Murni sehingga bu Murni harus melahirkan paksa.”

Murni mengangguk mengerti.

“Apa yang bu Murni pikirkan sehingga wanita itu ingin mencelakai bu Murni?”

Murni menggelengkan kepalanya, karena memang dia tidak tahu.

“Apakah pak Restu ingin melengkapi cerita saya? Saya takut salah.”

“Murni, mungkin sedikit banyak kamu sudah tahu, betapa buruknya kelakuan aku beberapa waktu lalu, ketika aku masih berstatus suami.”

Lalu dengan gamblang Restu menceritakan semua kelakuannya dan hubungannya dengan Lisa, yang barangkali Murni sedikit banyak sudah mengetahuinya.

“Tapi kan semuanya sudah berakhir, dengan diusirnya aku dari rumah, lalu aku mencoba hidup mandiri, dan pak Rio membantu aku sehingga aku bisa mengayuh hidup bersih, dan berusaha menebus semua kesalahan aku. Pada suatu hari Lisa datang ke bengkel, ingin menjalin kembali hubungan dengan aku, tapi aku menolaknya. Barangkali karena itulah dia berusaha mencelakai kamu.”

Lalu Murni teringat pada wanita yang selalu mengganggunya, yang pastilah itu adalah Lisa.

“Kamu bisa mengerti kan Murni? Sekarang aku bukan lagi Restu yang dulu. Sekarang aku adalah suami kamu, yang akan dengaan setia mendampingi kamu, bersama-sama merawat dan mencintai anak kita Gilang, sampai ajal menjemput aku.”

Murni terharu mendengar penuturan Restu. Rasa cemburu yang pernah mengganggunya sekarang tak ada lagi, bersamaan dengan lahirnya Gilang, ketulusan hati Restu, ditambah ucapannya di siang hari itu.

“Sekarang aku sudah tahu, bagaimana sebenarnya masa lalu pak Restu. Dan karena Bu Murni bisa mengerti, maka saya akan mengatakan sesuatu, tentang gelang ini.”

Restu pun belum tahu apa yang akan dikatakan bu Thomas. Apa dia tahu bahwa dirinyalah yang telah memberikan gelang itu?

“Ketika saya mengetahui perselingkuhan suami saya, saya melabraknya dan meminta semua perhiasan yang dipakainya. Dia mengatakan bahwa gelang ini milik dia sendiri. Tapi mana aku percaya? Gelang ini mahal harganya, dan dia hanya bisa memiliki ketika seseorang memberinya, dan seseorang itu pastilah suami saya. Tapi kemarin dia mengatakan bahwa gelang itu pemberian pak Restu. Sekarang, mohon maaf bu Murni, saya hanya ingin membuktikan kata-katanya, apa itu benar?”

Murni menatap Restu.

“Sebetulnya itu hanyalah sebuah bukti kejahatan saya waktu itu. Saya mencuri gelang istri saya, dan saya berikan pada dia,” kata Restu sendu.

“Oh, kalau begitu saya akan mengembalikannya pada pak Restu,” kata bu Thomas sambil memberikan gelangnya kepada Restu.

Restu menerimanya, tapi kemudian memberikannya kepada Murni.

“Apa ini? Aku tidak mau barang curian,” kata Murni sambil mengulurkan kembali gelangnya.

“Bukan untuk kamu, aku minta tolong kepada kamu, agar kamu mau mengembalikannya pada Wulan.”

“Siapa Wulan?”

“Bekas istri saya. Kami menikah tanpa dasar cinta, karena waktu itu saya tergila-gila sama Lisa. Tapi saya sudah melupakan semuanya.”

“Oh, ya ampun, rumit sekali kisah ini. Semula Lisa memintanya, tapi aku tidak mau memberikannya, karena aku tidak percaya. Dan memang seharusnya gelang itu kembali kepada yang berhak. Sekali lagi saya moho maaf, terutama kepada bu Murni.”

“Tidak apa-apa, saya tahu bahwa bu Thomas adalah orang yang dikhianati. Semoga suami bu Thomas segera sadar akan kesalahannya.”

“Tampaknya akan sulit. Suami saya masih berusaha terus menghubunginya. Saya kira lebih baik kami akan bercerai,” kata bu Thomas dengan wajah sedih.

“Apa tidak bisa semuanya diperbaiki?”

“Suami saya sangat tergila-gila pada pelakor itu. Dia menyuruh orang untuk memberi dia makanan enak setiap hari, selama dia ada di dalam tahanan. Itu menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar bertobat. Jadi saya pikir lebih baik kami bercerai.”


“Ini gelang aku?” Wulan terbelalak ketika melihat gelangnya kembali, ketika dia dan suaminya sedang berada di rumah Restu, setelah Gilang sudah boleh pulang ke rumah.

“Hanya karena kebesaran Allah, gelang bu Wulan bisa kembali. Perempuan itu memang tak berhak memilikinya,” kata Murni.

“Terima kasih Murni, aku akan mengembalikannya pada ibu, karena ibu lah yang telah memberikan gelang ini ketika kami baru menikah dulu.”

“Bukankah sudah diberikannya gelang itu pada Bu Wulan? Mengapa harus dikembalikan?”

“Itu ketika aku baru saja menikah dengan mas Restu. Pernikahan yang tanpa dasar saling cinta dan sangat menyiksa. Tapi kan sekarang aku sudah punya suami yang lain. Ibu berhak menerimanya kembali.”

“Belum tentu bu Broto mau menerimanya kembali.”

“Entahlah, apa kata ibu nanti, yang penting aku akan mengembalikannya dulu pada ibu.”

“Ya sudah, terserah bu Wulan saja.”

“Sekarang aku ingin melihat anakku dulu.”

Terlihat rona muka terkejut di wajah Murni, ketika mendengar Wulan memanggil Gilang dengan sebutan ‘anakku’.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 62

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *