SELAMAT PAGI BIDADARI (65)

Karya Tien Kumalasari

“Bu, tolonglah saya. Saya datang jauh-jauh dari kampung, kerana kehidupan saya yang serba kekurangan. Saya ingin mencari nafkah bu, sebagai pembantu rumah tangga juga tidak apa-apa.”

Murni menatap wanita di depannya, ada luka di wajahnya, sehingga menutupi kecantikannya. Seandainya cacat itu tidak ada, dia adalah wanita yang cukup cantik. Walau dia bilang serba kekurangan, tapi baju yang dipakainya, bersih dan rapi.

“Baju ini, dikasih dari tetangga, dimana saya menjadi tukang cuci bajunya,” kata wanita itu, yang merasa bahwa Murni tampak mencurigai bajunya yang bersih, sementara dia bilang hidup kekurangan.”

“Kasihanilah saya, Bu,” katanya meng iba,

“Begini mbak, sebenarnya kalau pekerjaan rumah tangga, saya masih bisa mengatasinya. Cuma saja saya butuh pengasuk untuk anak saya.”

“Mengasuh anak ganteng ini? Saya biasa momong anak tetangga, saya pasti bisa, Bu.”

“Benarkah?”

Tapi Gilang yang menatap wajah wanita itu, seperti ketakutan. Barangkali bekas luka itu tampak menakutkan.

“Bu, bolehkah seandainya saya diterima, saya selalu memakai cadar setiap hari? Saya merasa, putra ibu ketakutan melihat saya. Lagi pula saya juga kurang percaya diri kalau bekerja tanpa menutup wajah saya. Di kampung saya juga selalu bekerja sambil memakai cadar.”

“Baiklah. Tapi saya akan mencoba mbak selama sebulan dulu. Saya juga belum bilang suami saya kalau mau menerima pembantu sih. Nanti kalau saya cocok, dan mbak juga cocok, pastinya, maka boleh diteruskan. Kami bukan orang kaya yang bisa menggaji mbak dengan pantas, barangkali Mbak akan kecewa.”

“Tidak Bu, gaji bukan masalah, yang penting saya mendapat tempat tinggal, dan sekedar mendapatkan sesuap nasi.”

“Nama Mbak siapa?”

“Saya Marsih Bu.”

“Baiklah, Mbak Marsih, di sini keluarga pak Restu, saya istrinya, dan ini Gilang, anak saya.”

Murni memperkenalkan keluarganya. Gilang masih ragu-ragu ketika Marsih ingin menggendongnya. Lalu Marsih segera mengambil cadar dari dalam tasnya, lalu dipakainya.

“Biarkan seterusnya saya memakai ini, ya Bu.”

“Baiklah, terserah Mbak Marsih saja.”

Murni yang kemudian menelpon Restu, dengan tanpa berpikir panjang, langsung menyetujuinya, karena Restu memang ingin agar istrinya mencari pembantu, untuk meringankan bebannya.

Ia juga tak peduli, ketika melihat pembantu barunya adalah seorang wanita cacat. Restu cukup senang, karena Gilang mulai terbiasa dengan Marsih, dan tidak rewel saat bersamanya.

Restu juga tak henti-hentinya menggoda Murni, bahwa karena sudah ada pembantu, maka mereka siap mencetak adik baru bagi Gilang.


Murni sedang bersantai di ruang tengah, sedangkan Gilang asyik bermain mobil-mobilan bersama Marsih.

“Mbak Marsih, sebenarnya luka di wajah Mbak itu karena apa? Sampai parah begitu?” tanya Murni.

“Saya jatuh Bu.”

“Jatuh di mana?”

“Waktu sedang naik sepeda, lalu tidak melihat ada batu besar. Sepeda saya terguling, saya terluka karena wajah saya terkena batu runcing sehingga luka parah.”

“Waduh, pasti sakit sekali itu.”

“Iya Bu, berbulan-bulan lukanya baru sembuh, setelah sembuh saya jadi cacat begini.”

“Padahal sebenarnya Mbak itu cantik lhoh.”

Marsih tersenyum, tapi tentu saja Murni tidak melihat senyum itu karena wajahnya yang selalu tertutup cadar.

“Dulu saya memang cantik. Banyak laki-laki tergila-gila sama saya. Tapi setelah saya cacat, tidak ada yang mau mendekati saya.”

“Kasihan sekali Mbak.”

“Nggak apa-apa Bu, memang sudah menjadi nasib saya seperti ini. Sekarang saya bahagia, karena menemukan keluarga baik seperti bu Murni.”

“Semoga Mbak kerasan terus dengan gaji yang tidak begitu besar ini, ya.”

“Tentu saja saya kerasan, Bu. Apalagi Gilang sangat lucu dan menggemaskan. Dia bisa menjadi penghibur bagi saya.”

“Syukurlah. Saya juga senang, dengan adanya Mbak Marsih, saya punya teman berbincang saat suami saya tidak ada di rumah.”

“Suami bu Murni tampak sangat menyayangi keluarganya.”

“Tentu saja Mbak. Itulah yang membuat hidup kami terasa lengkap. Saling mengasihi, dan sudah mendapat karunia seorang anak laki-laki ganteng ini,” kata Murni sambil tersenyum cerah.

Marsih tampak mengangguk. Tak kelihatan apakah dia tersenyum, ataukah tidak. Karena kecuali dia sedang menunduk, wajahnya juga hampir seluruhnya tertutup cadar.

“Saat ini kami sedang berharap, agar Gilang segera punya adik. Mas Restu sangat mengharapkan itu,” lanjut Murni dengan tersenyum malu-malu.

Marsih terdiam, ia terus mengajak Gilang bermain, seperti tak mendengar apa yang dikatakan majikannya.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari arah kamar Marsih.

“Bu, saya menerima telpon dulu di kamar.”

“Baiklah,” kata Murni.

Marsih bergegas ke kamar, lalu menguncinya dari dalam. Wajahnya muram ketika melihat siapa yang menelpon.

“Hallo, ada apa? Aku kan sudah bilang, jangan menelpon lagi, jangan menghubungi aku lagi. Kenapa nekat?”

“Mengapa kamu pergi, padahal aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk meringankan hukuman kamu?”

“Aku tidak mau lagi sama kamu. Ternyata kamu tidak lagi punya harta yang bisa membuat kita bersenang-senang.”

“Tapi aku mencintai kamu. Sungguh.”

“Makan tuh cinta. Aku tidak peduli.”

“Bagaimana dengan bayi yang kamu kandung? Menurut perhitungan, kamu pasti sudah melahirkan.”

“Bayi apa? Aku bohong tentang kehamilan itu.”

“Apa? Bohong bagaimana?”

“Siapa yang hamil? Kamu kira aku perempuan bodoh yang mau menanggung beban kehamilan sehingga menghambat keinginan aku untuk bersenang-senang?”

“Ternyata kamu perempuan murahan. Menyesal aku tergila-gila sama kamu, sehingga mengesampingkan istriku yang baik dan kaya raya.”

“Salah kamu sendiri,” jawab Marsih lalu tertawa mengejek.

“Kamu di mana?”

“Tak akan aku katakan, dan sekali lagi, jangan menghubungi aku lagi.”

Marsih menutup ponselnya, sekaligus mematikannya. Ia membetulkan cadarnya, kemudian beranjak keluar.

“Dari keluarga kamu ya Mbak?”

“Iya. Butuh uang. Tapi kan saya belum mendapat gaji?”

“Butuhnya berapa? Nanti aku beri saja dulu, nggak apa-apa Mbak, kan sudah ada setengah bulan Mbak Marsih bekerja di sini.”

“Tidak usah Bu, nanti saja gampang,” kata Marsih yang kemudian bermain-main lagi bersama Gilang.


Hari itu Marsih sedang bersih-bersi rumah. Murni ada di rumah keluarga Broto, karena mereka, dan tentu saja yu Sarni sudah sangat kangen sama Gilang.

Tiba-tiba terdengar mobil Restu memasuki halaman.

Marsih bergegas ke belakang untuk membuat minuman, seperti yang selalu diajarkan Murni setiap hari.

Ia meletakkan secangkir kopi di meja di ruang tengah.

Restu agak heran, karena Marsih mengenakan baju berkerah rendah, sehingga saat menyajikan kopi itu, ia seperti memamerkan sesuatu yang seharusnya tak terlihat. Restu adalah seorang lelaki. Lepas dari wajah Marsih yang kata Murni sangat menakutkan, tapi pemandangan itu tak luput dari perhatiannya.

Seperti mendapat angin, Marsih berlama-lama membungkukkan badannya. Tiba-tiba Restu sadar bahwa Marsih melakukan hal yang tidak semestinya.

“Sudah, tinggalkan saja cangkirnya, dan pergilah,” katanya sedikit kasar, karena kesal. Kesal kepada pembantu tak tahu malu itu, dan juga kesal pada dirinya yang hampir saja tergoda. Entah bagaimana, Restu tiba-tiba teringat Lisa. Begitulah dulu cara Lisa menggodanya.

“Setan alas. Mengapa Murni menerima pembantu seperti itu? Setelah sebulan, aku akan minta agar dia memecatnya,” geramnya dalam hati. Dan karena itu pula dia enggan menyentuh kopi di depannya. Ia memilih keluar untuk menjemput istrinya.


Besok lagi ya…

Bersambung ke Jilid 66

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *