Karya Tien Kumalasari
Marsih memasuki kamarnya dengan perasaan kecewa. Laki-laki majikannya, sangat digilainya. Dia akan berusaha mendapatkannya, apapun caranya.
Bukan menjadi pembantu tujuannya datang ke rumah itu. Dia adalah Lisa. Dulu menjadi kekasih Restu dan membuat Restu kehilangan segalanya. Keluarga, orang tua, istri yang baik, kedudukan, bahkan harta.
Restu sadar ketika Lisa ternyata menjauhinya saat dia tak memiliki apa-apa. Lelaki yang lebih kaya selalu menarik baginya. Thomas, lelaki itu, ternyata juga tak memiliki apa-apa setelah istrinya menceraikannya. Lisa pun kabur dari Thomas, dan kembali mengejar Restu. Kali ini bukan karena kekayaannya, tapi karena dia memang tergila-gila pada ketampanan Restu.
Begitu keluar dari penjara setelah menabrak Murni dengan sengaja, ia segea mencari akal agar bisa masuk ke dalam rumah tangga Restu.
Ia mengira Restu masih menggilainya, dan dia akan mulai lagi menggodanya.
Tapi dia kesal ketika tadi Restu mengusirnya agar menjauh, saat dia mulai melancarkan aksinya. Oh ya, Lisa alias Marsih baru sadar, bahwa dia sedang menyamar dengan menambal wajahnya seperti memiliki bekas luka yang tentu saja tidak menarik.
“Aku bodoh benar. Wajahku kan sama sekali tidak menarik. Walau tanpa busana sekalipun, dia tetap saja akan jijik melihatku,” gumamnya sambil tersenyum aneh.
Marsih melepaskan penyamaran wajahnya, lalu berdiri di depan kaca, berputar=putar sambil mengurai senyuman manis.
“Aku masih menawan. Tak mungkin Restu menolak aku,” gumamnya.
Setelah puas memandangi wajahnya, dikenakannya lagi topeng menyamarannya. Ia takut kalau tiba-tiba Murni datang bersama suaminya, dan dia lupa mengenakan topengnya.
Lalu ia membaringkan tubuhnya di ranjang, membayangkan Restu ada disampingnya.
Ketika itu keluarga pak Broto sedang bercanda dengan Gilang. Anak kecil berumur 9 bulanan itu memang sedang lucu-lucunya. Apalagi yu Sarni dan bu Broto yang bergantian menggendongnya.
“Kamu sebaiknya menginap di sini dulu Mur, lihat, ke dua nenek itu seakan tak mau lepas dengan cucunya,” kata pak Broto sambil tersenyum.
“Tapi saya tidak bilang sama ms Restu kalau mau menginap, Pak.”
“Kan bisa telpon. Dia tak akan marah kalau kamu ada di sini.”
“Biar aku saja yang menelpon Restu, awas saja kalau dia tidak mengijinkan,” kata bu Broto sambil mengangkat ponselnya untuk menghubungi Restu.
“ Ya bu,” jawab Restu dari seberang.
“Hari ini, kamu tidak usah menjemput istri dan anakmu.”
“Lhoh, memangnya kenapa Bu?”
“Kami ingin, agar Gilang dan ibunya menginap di rumah. Sehari atau dua hari, begitu.”
“Tapi ini saya sedang dalam perjalanan menjemput tuh Bu.”
“Kamu sudah pulang dari bengkel?”
“Sudah. Saya pikir Murni dan Gilang sudah pulang, ternyata belum. Jadi begitu sampai, Restu segera berangkat menjemput.”
“Tidak bisa Restu, kami semua sedang seneng-senengnya bercanda sama Gilang. Jadi kamu tidak boleh menjemputnya,” kata bu Broto tandas.
“Waduh, kalau begitu biar saya sampai ke situ dulu Bu, masa sih tawar menawar di jalan,” kata Restu sambil tertawa.
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Bagaimana?” tanya pak Broto setelah sang istri meletakkan ponselnya.
“Restu sudah dalam perjalanan kemari.”
“Maksudnya mau menjemput?”
“Iya, tapi ibu sudah bilang bahwa Gilang akan menginap di sini, tidak bisa tidak,” kata bu Broto sambil kembali mengambil Gilang dari pangkuan yu Sarni.
Pak Broto hanya tertawa.
“Kalau dia mau menjemput, biar Murni saja yang dijemput, Gilang tidak usah,” sambung bu Broto sambil menciumi Gilang.
Semuanya tertawa mendengar perkataan bu Broto.
“Masa sih, Gilang ada di sini, sementara ibunya pulang? Kamu yang mau memberi dia ASI?” kata pak Broto meledek istrinya.
“Iya juga ya, berarti ibu dan anak harus menginap di sini. Aku kan hanya minta sehari saja, ya kan Mur?”
Murni tertawa.
“Iya Bu, tidak apa-apa saya dan Gilang menginap di sini,” katanya.
“Lhah aku sama siapa?” tiba-tiba Restu sudah muncul dan berdiri di tengah pintu depan.
“Tuh, yang punya sudah datang,” kata pak Broto sambil tertawa.
“Mas, kami akan menginap di sini malam ini,” kata Murni kepada suaminya.
“Tidak bisa,” kata Restu sambil menggelendot ke bahu istrinya.
“Kok gitu sih Mas, nenek-neneknya pada kangen tuh.”
“Kalau kalian mau menginap di sini, aku juga mau menginap dong,” kata Restu sambil tertawa.
“Nah, itu solusi terbaik. Nanti Gilang tidur sama aku.”
“Ibu gimana sih, nanti kalau malam-malam bangun minta ASI bagaimana?” tegur suaminya.
Bu Broto tertawa.
“Iya, nggak apa-apa tidur sama ibunya. Tapi besok pulangnya sore ya, nggak boleh pagi-pagi. Biar ibumu masak enak untuk kalian,” kata bu Broto mengalah.
“Nah, gitu dong.”
Restu dan anak istrinya tidur di rumah keluarga Broto. Marsih menunggu dengan kecewa. Sampai larut malam dia masih terjaga, dan sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa merayu Restu.
“Kenapa mereka tidak pulang sih? Katanya Murni dijemput sore tadi, sekarang sudah tengah malam, belum pada pulang juga. Apa sebaiknya aku menelpon ya? Siapa tahu mereka akan pulang malam. Aku sudah tak tahan lagi nih,” gumam Marsih sambil meraih ponselnya.
Ia menghubungi Murni.
“Ya Mbak Marsih, ada apa?”
“Ibu tidak pulang?”
“Oh iya, maaf Mbak, aku lupa memberi tahu, kami malam ini menginap di rumah ibu, jadi Mbak Marsih nggak usah menunggu.”
“Waduh.”
“Kenapa waduh?”
“Itu Bu, tahu begitu, dari tadi saya sudah mengunci pintunya.”
“Iya Mbak, maaf ya. Kunci saja sekarang. Kami baru akan pulang besok sore, setelah mas Restu pulang dari bekerja.”
Marsih menutup ponselnya tanpa permisi. Ia benar-benar kecewa berat. Keinginan untuk bisa merayu Restu sudah memenuhi dadanya. Ia yakin Restu masih akan menyukainya.
“Tidak apa-apa kalau hanya untuk bersenang-senang saja. Sekarang keinginanku hanya bisa selalu bersamanya. Biarlah ada istrinya, biarlah aku tidak diguyur harta, yang penting aku cinta,” gumamnya sambil mengunci semua pintu.
“Sudah lama aku tidak tidur di kamar ini,” gumam Restu sebelum tidur.
“Oh ya? Jadi ini dulu kamar mas Restu?”
“Kamar aku.”
“Bersama bu Wulan?”
“Tidak. Kami tidak pernah tidur sekamar. Ini kamar aku sendiri.”
“Jahat ya, suami istri tidak mau tidur se kamar.”
“Sudah, itu kan masa lalu. Kamu harus tahu, dulu kami menikah tidak didasari saling cinta.”
“Kasihan bu Wulan.”
“Sekarang Wulan sudah bersama kekasih hatinya. Bahkan sudah hampir punya anak juga, ya kan? Jadi lupakanlah masa lalu. Sekarang, milikku hanya kamu, dan juga Gilang.”
Murni tersenyum. Ada kehangatan meresap dalam hatinya, ketika melewati malam-malam indah berdua. Bukankah Gilang tidur di ranjang kecil dan tidak menjadi satu dengan ranjangnya? Restu menyukainya, karena dia sudah menginginkan agar Gilang memiliki seorang adik. Toh tidak berbeda, bersenang-senang di sini, ataupun di rumah mereka sendiri.7
Hari itu Marsih bekerja sangat rajin. Rumah bersih, dan siap melayani majikan mereka kalau pulang nanti. Dia tidak perlu memasak, karena setiap hari Murni sendiri yang melakukannya. Pekerjaannya hanya mengasuh Gilang. Kalau Gilang tidur, dia juga ikutan tidur. Itu sebabnya hari itu dia sangat puas tidur. Lagi pula nanti malam akan ada rencana indah, yang akan dihabiskannya sepanjang malam, seperti dulu mereka sering melakukannya.
Mereka pulang membawa makanan dari rumah keluarga Broto. Mereka makan malam berdua, dan Marsih menidurkan Gilang.
Hanya sebentar mereka bersantai setelah makan, kemudian segera masuk ke kamar tidur. Marsih juga langsung menuju kamarnya. Biasanya lewat tengah malam, Restu terbangun untuk sekedar mengambil air minum. Hal itu sudah selalu dilakukannya, dan Marsih sudah sangat hapal dengan kebiasaan itu.
Malam itu Marsih membuka pintu setengahnya. Tempelan topeng menjijikkan sudah dilepas. Dia berdandan secantik mungkin, dan mengenakan pakaian yang sangat seronok.
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Terdengar langkah dari arah kamar Restu, menuju ruang makan, dan itu sangat dekat dengan kamarnya.
Restu membuka kulkas dan meneguk segelas air dingin. Tapi sebelum dia kembali ke kamar, terdengarlah sebuah jeritan kecil dari arah kamar Marsih. Karena khawatir, Restu bergegas menuju ke arah kamar itu, dan betapa terkejutnya, melihat Lisa berdiri disamping ranjang sambil memegang perutnya yang sedikit terbuka.
“Lisa?”
Besok lagi ya…
Bersambung ke Jilid 67
Leave A Comment