SELAMAT PAGI BIDADARI (71)

Karya Tien Kumalasari

Hari itu Murni pulang dengan membawa susu untuk Gilang, dan cemilan untuk keluarga bu Trisni. Setiap seminggu sekali dia belanja, terutama untuk keperluan anaknya. Ia juga membantu keluarga Trisni dengan membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya.

Bu Trisni sudah menegurnya, tapi Murni tetap melakukannya.

“Bu, mengapa Ibu selalu belanja untuk saya juga? Bukankah Ibu itu bekerja, demi memenuhi kebutuhan Gilang? Jadi menurut saya, Ibu beli saja untuk keperluan Gilang. Misalnya susu, bubur, dan lain-lain. Saya sudah merasa cukup. Nggak enak justru membebani bu Murni,” kata bu Trisni.

“Tidak, siapa yang membebani? Saya punya rejeki cukup kok, jadi tidak apa-apa, sedikit berbagi.”

“Tapi yang utama adalah keperluan Gilang.”

“Iya Bu, saya tahu. Ini kan tidak seberapa. Pak Warso sangat baik, selalu memberi tip untuk saya. Katanya karena pekerjaan saya baik.”

“Benarkah?”

“Pak Warso sangat baik kepada semua karyawannya. Tentu saja termasuk saya. Teman-teman saya juga bilang begitu.”

“Tapi bu Murni harus hati-hati lho.”

“Memangnya kenapa Bu?”

“Pak Warso itu seorang duda.”

Murni tertawa mendengar perkataan bu Trisni.

“Bu Trisni ada-ada saja. Memangnya kenapa kalau dia seorang duda? Dia baik bukan hanya kepada saya kok. Kepada karyawan lain juga begitu.”

“Ee, saya tuh kan hanya mengingatkan. Karyawan lain kan kebanyakan laki-laki, yang perempuan hanya orang desa seperti saya. Sedangkan bu Murni ini masih muda dan cantik lho.”

Murni kembali tertawa.

“Bu Trisni, saya itu juga orang desa lho. Saya di kota kan kebetulan saja, karena simbok saya bekerja di kota.”

Tiba-tiba tanpa sengaja menyebut simboknya, Murni jadi sedih. Ia terpaksa meninggalkan orang-orang yang mengasihinya, seperti simboknya sendiri, keluarga Broto, dan keluarga Rio.

“Lho, bu Murni kok tiba-tiba jadi muram?”

“Saya teringat simbok. Hampir sebulan saya meninggalkannya.”

“Ya sudah, jangan diingat-ingat lagi. Pada suatu hari nanti pasti ada kesempatan bagi Bu Murni untuk bertemu.”

“Iya. Sedang saya pikirkan bagaimana caranya.”

Tiba-tiba Trimo datang dari luar rumah, sambil menggendong Gilang.

“Trimo, kamu ajak ke mana adik kamu?” tanya Murni.

“Di luar, melihat sapi lewat,” kata Trimo riang.

“Kamu kalau mengajak Gilang harus hati-hati. Jangan dibawa ke tempat yang panas, nanti kulitnya yang bersih jadi hitam seperti kulit kamu,” seloroh bu Trini.

“Enggak kok Bu, hanya duduk di bawah pohon jambu itu. Lalu ada sapi lewat, Gilang berteriak-teriak senang.”

“Ya sudah, berikan sama bu Murni, saatnya minum Asi kan. Kamu mandi sana, ini sudah sore,” kata ibunya.

Murni menerima Gilang yang masih tertawa-tawa, lalu dibawanya ke kamar untuk diberinya ASI.


Tapi sebenarnya perlakuan pak Warso terhadap Murni memang berbeda. Benar, pak Warso baik kepada semua karyawan, sering memberi tip bagi mereka yang bekerja dengan baik, tapi kepada Murni tetap tidak sama. Murni selalu mendapat lebih. Itu sebabnya Murni selalu bisa belanja untuk keperluan keluarga bu Trisni juga.

Hari itu Murni sedang mencatat semua barang yang sudah menipis, agar pak Warso bisa belanja untuk mencukupi kebutuhan toko.

Tiba-tiba pak Warso mendekat dan melihat-lihat pekerjaannya.

“Sudah selesai Mur?”

“Belum Pak, kurang sedikit.”

“Nanti aku belanja nya sama kamu ya Mur?”

“Kok sama saya, Pardi kemana?” tanya Murni. Pardi adalah karyawan di bagian gudang.

“Dia tidak masuk hari ini. Lagipula supaya kamu tahu tempatnya belanja murah, sehingga kalau aku tidak bisa berangkat, kamu bisa melakukannya.”

“Oh, begitu ya? Tapi ini barangnya berat-berat semua. Beras, minyak .. sabun ….”

“Bukan kamu yang harus mengangkut Mur, kamu hanya membaca kebutuhan kita saja. Mereka yang akan memasukkannya ke dalam mobil.

“Baiklah kalau begitu, saya selesaikan dulu catatannya ya Pak.”

“Ya, bagus. Selesaikan saja. Jangan sampai ada yang terlewat, soalnya tempatnya belanja tuh jauh.”

“Di kota ya Pak?”

“Iya, kalau tidak ke sana, kita tidak bisa menjual murah.”

“Iya Pak, saya mengerti.”

“Ya sudah, selesaikan saja dulu, aku mau mengambil uang yang akan dibawa.”

“Baik Pak.”

Murni melanjutkan pekerjaannya, tapi dalam hati dia berpikir, lama kah belanja ke kota? Bagaimana kalau Gilang menangis karena biasanya di jam istirahat dia pulang untuk memberikan ASI.

Ketika ia selesai dan pak Warso mendekati, hal itu terpaksa diutarakannya, karena dia bekerja itu yang utama adalah untuk anaknya.

“Pak, apakah nanti kita akan lama?”

“Memangnya kenapa Mur?”

“Mm … maaf, kan saya setiap jam istirahat harus pulang untuk memberikan ASI anak saya.”

“Oh begitu ya? Sebenarnya hal itu kan bisa diatasi. Kamu bisa menyimpan stok ASI kamu, sehingga kalau dia rewel bisa langsung bisa diberikan tanpa menunggu kamu pulang.”

“Tapi stok ASI kan harus di simpan di dalam kulkas Pak? Mana saya punya? Lagian saya cuma menumpang di rumah sahabat saya.”

“Mur, di rumahku ada kulkas dobel, nanti yang satu bisa kamu bawa pulang. Biar besok kalau Pardi masuk mengantarkannya.”

“Tidak Pak. Mana mungkin? Kulkas kan harus makan listrik? Saya bisa memberatkan yang punya rumah Pak. Tidak usah saja.”

“Nanti aku bantu bayar listriknya.”

“Aduh, jangan Pak, saya orang baru di sini, bagaimana mungkin bisa menerima kebaikan Bapak yang sedemikian besar?”

“Kamu bekerja kan untuk anak kamu. Kalau anak kamu terbengkalai, misalnya karena di sini baru banyak pekerjaan, atau kamu harus lembur, kan kasihan?”

“Tapi ….”

“Tidak usah tapi-tapi, besok biar Pardi mngirimkannya ke rumah teman kamu itu, listriknya aku yang bayar.

Murni diam membisu. Ini luar biasa, dia ingin menolaknya, tapi pak Warso memaksanya.

“Ini nanti kamu pulang saja dulu, aku antar, kamu berikan ASI anak kamu, lalu kita berangkat sekalian,” kata pak Warso lagi.

“Tidak Pak, kalau boleh pulang dulu, saya pulang dulu saja, masa Bapak harus menunggui saya,” sergah Murni.

“Tidak apa-apa, untuk menyingkat waktu, daripada nanti kamu kepikiran.”

Tak ada yang bisa dilakukan Murni, kecuali menurut apa kata pak Warso.


Hari itu belanjaan memang sangat banyak. Tapi Murni hanya memberikan catatannya saja, sekaligus menambahkan barangkali ada barang yang kosong atau kurang. Pak Warso sangat senang Murni begitu cepat menguasai pekerjaannya. Semakin mantap hatinya, untuk mengambil istri Murni. Dia cantik, pintar, kurang apalagi? Kalaupun dia punya anak bayi, apa salahnya? Tidak apa-apa ikut mencukupi kebutuhan Murni. Tapi hal itu belum ingin dikatakannya sekarang. Harus ada pendekatan, dan harus ada perlakuannya yang akan dinilai baik oleh Murni, sehingga dia tidak keberatan untuk menerima seorang duda seperti dirinya. Biar duda kan aku keren, begitu pikir pak Warso.

Mereka pulang saat hari menjelang sore, karena pak Warso juga mengajaknya mampir untuk makan siang di sebuah restoran. Ada persaan tak enak ketika makan berdua, sementara dia hanya karyawan sedangkan pak Warso adalah majikan. Tapi pak Warso tampak sangat menikmati makan siangnya bersama wanita yang sangat menarik hatinya ini.

Ketika dalam perjalanan pulang itu, sepasang mata dari dalam mobil menatap mereka. Mobil pak Warso adalah pick up terbuka, dimana kaca depan mobil tidak ditutup, sehingga jelas siapa yang duduk di dalamnya.

“Apakah itu Murni?” desisnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 72

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *