Karya Tien Kumalasari
“Kok Murni bersama seorang laki-laki asing? Apa mataku salah? Sepertinya nggak mungkin ah. Tapi masa sih mataku salah? Biar aku ikuti saja mobil itu. Hm, mobil box, yang sepertinya membawa banyak barang. Benarkah Murni? Tapi aku kok penasaran, pengin ngikutin.”
Pengendara mobil itu Rio. Yang sedang dalam perjalanan kembali ke kantornya. Tapi karena penasaran, dia mengikuti mobil pak Warso yang sedang bersama Murni.
“Pengendara pick up itu sudah tidak muda lagi, tapi mengendarai mobilnya kenceng banget sih. Semakin penasaran aku,” gumam Rio yang terus mengejarnya.
Pak Warso memang melajukan kendaraannya, karena Murni mengatakan bahwa dia harus segera pulang karena anaknya pasti menunggu minum ASI di saat menjelang sore seperti itu.
Jalanan menjelang sore itu sangat ramai, Rio tidak bisa mendekati mobil pak Warso, tapi ia terus mengawasinya. Di sebuah perempatan, tiba-tiba lampu merah menyala. Rio memukul kemudi mobilnya dengan kesal, karena mobil pak Warso sudah melaju.
“Waduh. Bagaimana ini? Lalu lintas sedang ramai sih. Tapi dia belok ke kiri, semoga setelah lampu hijau aku masih bisa melihatnya,” gumam Rio sambil terus memukul-mukul kemudinya.
Begitu lampu hijau menyala, Rio ingin menginjak gas sekuat tenaga, tapi dia tidak bisa melakukannya, karena mobilnya tidak berhenti di baris paling depan. Harus menunggu dua tiga mobil di depannya, baru;lah Rio membelokkan mobilnya ke arah kiri.
Rio melongok ke arah depan, tapi sia-sia. Pick up yang dikejarnya tak lagi tampak. Rio tetap memacu mobilnya, tapi ada beberapa belokan yang membuatnya bingung. Dengan putus asa akhirnya Rio kembali, menuju kantor, dengan perasaan kecewa.
Murni heran, ketika sejak tadi pak Warso selalu mengawasi spion sambil melongok, seperti ada yang dilihatnya.
“Ada apa Pak?”
“Seperti ada yang mengikuti kita, tadi.”
“Mengikuti kita? Siapa?”
“Nggak tahu aku, mobilnya bagus.”
Murni terkejut. Jangan-jangan ada yang mengenalinya.
“Apa sekarang masih mengikuti ?”
“Sepertinya tidak. Tadi terpisah di lampu merah, lalu kita terus melaju. Sekarang sudah tidak kelihatan lagi.”
“Oh …”
Murni bernapas lega. Tapi hal itu membuat hatinya was-was. Jangan-jangan ada yang mengetahui dirinya bersama pak Warso, lalu mengikutinya.
“Kamu kelihatan khawatir sih?”
“Ah, tidak Pak. Khawatir kalau yang mengikuti itu orang jahat,” jawab Murni sekenanya.
Pak Warso tertawa.
“Tidak usah khawatir. Hari masih siang, penjahar mana berani mati mengikuti kita? Didaerah kita selalu aman.”
“Tapi kan itu tadi di kota?”
“Nyatanya tidak mengikuti lagi kok. Mungkin hanya kebetulan saja tujuannya searah dengan kita. Jadi kamu tidak usah khawatir.”
Murni diam. Walau begitu timbul pikiran yang macam-macam, mengingat dirinya kan memang sedang lari dan menghindari rumah.
“Jangan-jangan mas Restu. Tapi pak Warso tadi bilang kalau mobilnya bagus. Mobil mas Restu kan hanya mobil lama yang dibelinya di counter mobil bekas,” kata batin Murni.
“Kita hampir sampai Mur. Aku antarkan kamu langsung ke rumah saja, kan kamu ditunggu anak kamu, jadi kamu tidak usah kembali lagi ke toko.”
“Baiklah Pak, terima kasih banyak.”
“Besok masuk agak pagi, karena kamu harus menyetok barang-barang yang baru datang. Sore ini biar yang lain mencicilnya.”
“Baik Pak.”
Murni turun dari mobil, di sambut Gilang yang sedang digendong bu Trisni.
“Mengapa anak ibu minta gendong?” tanya Murni sambil membuka kedua tangannya, berusaha menggendong Gilang, tapi bu Trisni mencegahnya.
“Sebaiknya bu Murni cuci kaki tangan dulu, lalu berganti pakaian, sebelum menggendong Gilang.”
“Oh iya, maaf. Biasanya juga begitu, kok ini lupa. Habis sudah kangen berat sama Giang, katanya langsung berlalu.”
Ketika kemudian duduk sambil memberikan ASI anaknya, ia melihat ada kulkas di ruang depan.
“Ini kulkas yang baru siang tadi dikirim dari toko,” kata bu Trisni ketika melihat Murni menatap kulkas itu.
“Oh, jadi pak Warso benar-benar memberikan kulkas ini,” gumam Murni.
“Ini tidak baru, tapi masih sangat bagus,” kata bu Trisni.
“Iya Bu, memang bekas, tapi karena tidak dipakai, lalu diberikan sama Murni.”
“Diberikan? Saya kira bu Murni beli,” kata bu Trisni heran.
“Mana saya punya uang cukup untuk membeli kulkas bu, itu karena pak Warso meminta, katanya supaya saya tidak kepikiran Galang, saya bisa menyimpan ASI di freezer, jadi kalau sewaktu-waktu Gilang butuh, tinggal dihangatkan.”
“O, begitu ya?”
“Soalnya di toko saya punya pekerjaan banyak, kadang tidak bisa pulang tepat waktu, jadi mulai sekarang saya akan menyetok ASI untuk Gilang. Kalau bu Trisni mau menyimpan buah atau sayur, juga bisa kan?”
“Iya BU, enak sekali kalau ada kulkas. Saya tidak pernah bermimpi akan bisa memiliki kulkas seperti ini. Semua karena bu Murni.”
“Tadinya saya menolak, tapi pak Warso memaksa. Mungkin pak Warso tak ingin pekerjaan saya terganggu karena masih harus memikirkan Gilang.”
“Mungkin juga begitu Bu, syukurlah.”
“Soal tagihan listrik, nanti pak Warso yang akan membayarnya.”
“Hm, alangkah baik hati pak Warso itu ya Bu, tapi sebagai sahabat, saya perlu mengingatkan ibu, bahwa bu Murni harus berhati-hati.”
“Maksudnya apa ya Bu?”
“Kalau kebaikan itu tulus, baiklah. Tapi kalau kebaikan itu mengharapkan pamrih, kita akan susah menolaknya.”
Murni diam. Kalau pak Warso punya pamrih, pamrih apa? Dia tak punya apa-apa. Hanya wanita miskin yang mengais rejeki atas kebaikan pak Warso.
“Bu Murni belum paham maksud saya? Bu Murni harus ingat, pak Warso itu seorang duda. Masih gagah, dan tentulah masih punya keinginan untuk menikah lagi. Lebih-lebih dia kan kaya. Hartanya berlimpah. Dan bu Murni itu masih muda, dan cantik manis. Siapa tahu …”
Murni terkejut. Hal itu tak pernah dipikirkannya. Sejauh ini, sikap pak Warso biasa saja. Tak ada pandangan yang aneh, atau sikap yang menunjukkan bahwa dia tertarik pada dirinya. Kebaikan yang diterimanya, dianggapnya hanya sebagai kebaikan, titik. Tak ada kelanjutannya, dan Murni berharap untuk itu.
“Tapi saya sama sekali tidak menuduh lho Bu, saya hanya minta agar bu Murni berhati-hati.”
Murni mengangguk.
“Baiklah Bu, saya mengerti, dan saya akan berhati-hati. Bagaimanapun status saya kan masih seorang istri.”
“Bagus kalau bu Murni mengerti. Saya hanya berharap, semua baik-baik saja.”
“Terima kasih atas perhatiannya ya Bu.”
Sore itu Rio mampir ke bengkel, langsung naik ke lantai atas, dimana biasanya Restu menghabiskan waktunya di sana, setelah istrinya pergi dari rumah.
Ketika dia memasuki kamar, dilihatnya Restu sedang melamun. Rio merasa trenyuh melihat keadaan Restu. Ia tampak kurus, kumal tak terawat, atau memang enggan merawat dirinya semenjak istrinya tak ada.
Restu terkejut, ketika Rio tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Mas Rio?”
“Mas Restu lagi ngapain?”
“Nggak ngapa-ngapain. Nggak tahu harus berbuat apa. Hidup saya ini juga untuk siapa. Saya bingung.”
“Mas Restu, perkataan seperti itu menunjukkan bahwa mas Restu putus asa.”
“Saya tak punya gairah hidup lagi. Apapun yang saya lakukan, salah. Tak ada benarnya.”
“Tidak, mengapa begitu? Murni pergi karena salah paham, mas Restu harus memahaminya.”
“Tapi kalau saya tidak bisa menemukan Murni? Bagaimana caranya mengatakan semua kebenaran?”
“Saya siang tadi melihat Murni.”
Restu terbelalak. Menatap Rio dengan mata berbinar.”
“Di mana dia?”
“Kita harus mencarinya.”
“Mas Rio bilang melihatnya, gimana sih,” kata Restu kecewa.
“Saya melihatnya, dia sedang bersama seorang laki-laki setengah tua, mengendarai mobil pick up.”
“Di mana?”
“Ayo kita mencarinya.”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 73
Leave A Comment