Karya Tien Kumalasari
“Mas Rio gimana sih, hanya mengikuti sampai di sini, bagaimana bisa tahu ke mana arah tujuan Murni?”
“Menurut aku, mereka ke luar kota.”
“Luar kota yang mana? Ke kiri bisa, lanjut terus juga bisa.”
“Nah, mari kita cari dia. Tadi aku sendirian, tidak berani memutuskan sendiri. Itu sebabnya aku mengajak mas Restu.”
“Kalau terus, berarti tujuannya ke rumah Trimo.”
“Trimo? Anak kecil yang dulu pernah mengamen, lalu ketika Murni lari saat belum menikah juga ke rumahnya?”
“Ya. Dia. Aku pernah mencari sampai ke kampungnya Trimo, malah ketemu Trimo di jalan, tapi Trimo bilang bahwa Murni tidak ada di rumah dia.”
“Dan mas Restu percaya?”
“Masa sih, dia berbohong?”
“Murni lari dari rumah, enggan kembali. Kalau dia berada di suatu tempat, kemungkinan besar dia meminta semua penghuni rumah untuk menutupi keberadaannya. Ya kan?”
“Maksudnya, waktu itu Trimo berbohong?”
“Mungkin tidak, tapi kemungkinan besar … ya.”
“Kalau begitu kita ke rumah Trimo saja. Langsng ke rumahnya.”
“Mas Restu sudah tahu rumahnya?”
“Ketemu Restu di dekat pasar, pasti rumahnya ada di sekitar sana. Orang kampung pasti bisa menjawab kalau kita bertanya tentang rumah orang sekampungnya.”
“Bagus kalau begitu. Kita lanjut ke kampung Trimo.”
“Semoga kita berhasil.”
“Aamiin.”
Restu membawa mobil Rio, karena dia lah yang tahu di mana letak kampung Trimo. Informasi yang diterima dari Rio, sangat membesarkan hatinya.
“Nanti kalau ketemu, saya mohon mas Restu lah yang mengatakan kejadian sebenarnya di malam itu. Kalau aku yang bicara, dia tak akan percaya.”
“Iya, siap. Yang penting ketemu dulu, ya kan?”
Pak Warso menyerahkan catatan barang-barang kepada bagian gudang, lalu duduk santai di toko bagian depan. Ia sedang berpikir, kapan akan melamar Murni. Kelihatannya Murni tidak menolak setiap kali dia menyuruh apapun. Tapi hal itu dibantah sendiri oleh pak Warso.
“Iya lah, tidak menolak di suruh apapun, dia kan karyawan aku, mana berani dia membantah? Berarti itu bukan ukuran bahwa dia juga suka sama aku. Susah ya, seorang wanita muda, jatuh cinta kepada laki-laki setengah tua seperti aku? Tapi aku kan masih gagah, dan kuat. Lagi pula aku juga tampan. Ketika aku masih muda, banyak gadis tergila-gila sama aku. Benar kan? Jadi walau aku sudah setengah tua, pasti sisa-sisa ketampanan itu masih ada. Masa sih, Murni akan menolaknya? Lagi pula kalau dia mau sama aku, hidupnya akan berkecukupan. Hanya saja aku belum pernah bertanya, kapan dia menjadi janda, apakah saat ini sudah siap menikah lagi? Kemana suaminya, bercerai atau meninggal? Wah, ternyata informasi tentang Murni kurang lengkap aku terima. Aku hanya menerima karena dia cantik dan tampak pintar. Dia mengatakan hanya sebagai seorang janda dengan satu anak. Titik, aku belum pernah bertanya lebih lanjut. Besok aku akan menanyakannya,” kata pak Warso dalam hati, sambil melihat karyawannya melayani para pembeli.
Toko pak Warso memang tak pernah sepi pembeli, tapi ia menutup tokonya sebelum maghrib. Tidak ada sift karyawan, semua bekerja dari pagi sampai tutup, dengan mendapatkan makan sehari dua kali. Saat istirahat, dan saat sebelum pulang.
Tiba-tiba pak Warso melihat sebuah mobil yang dikenalinya siang tadi. Mobil bagus yang semula dkira mengikutinya.
“Kok ternyata dia sampai kemari? Apa dia yang mengikuti aku tadi? Tapi namanya mobil kan bukan cuma milik seseorang. Banyak mobil sama, baik merk maupun warnanya.” Gumam pak Warso pelan.
Pengemudi mobil itu turun, dan ternyata hanya membeli sekotak air minum. Tapi tidak, bukan hanya membeli, dia seperti menanyakan sesuatu. Pak Warso berdiri mendekat, menguping apa yang ditanyakannya.
“Trimo? Dia pedagang di pasar?” tanya salah seorang karyawannya. Rupanya laki-laki tampan itu bertanya rumah seseorang bernama Trimo.
“Bukan. Trimo itu masih anak-anak.”
“Oh, masih anak-anak ya? Aduh, saya minta maaf. Kalau anak kecil saya tidak tahu. Siapa nama orang tuanya?” tanya karyawannya lagi.
“Wah, siapa ya nama orang tuanya? Anaknya masih berumur enam atau tujuh tahunan begitu sih,” laki-laki itu kembali ke mobil.
“Mas Rio tahu nama orang tua Trimo?”
“Waduh, nggak tahu aku.”
Laki-laki yang adalah Restu itu kembali ke toko dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu nama orang tuanya.
“Wah, kalau begitu saya tidak tahu Pak. Mohon maaf.”
“Ya sudah, baiklah, terima kasih ya Mbak,” jawab Restu sambil membawa kotak minuman yang tadi dibelinya, ke arah mobil.
Mobil itu berlalu.
“Menanyakan alamat anak kecil, mana aku tahu?” karyawan itu bergumam.
Tapi rupanya pak Warso sebenarnya tahu siapa yang dimaksud. Murni sering beli makanan untuk buah tangan orang di rumah, antara lain yang namanya Trimo. Bukan sekali dua kali Murni beli sesuatu untuk Trimo.
“Siapa sebenarnya laki-laki itu? Suaminya? Bekas suaminya? Saudaranya? Aku ingat, yang memasang iklan kehilangan di koran itu keluarga Subroto namanya. Dia mengaku orang tuanya. Lalu siapa laki-laki tadi? Kalau begitu barangkali benar, yang mengikuti aku siang tadi adalah memang keluarganya Murni, nyatanya sekarang sampai di sini. Rupanya mereka memang mencari keberadaan Murni. Mudah-mudahan tidak ketemu,” gumam pak Warso dalam hati.
Gilang sudah mandi, dan bermain bersama Trimo di depan rumah. Murni sedang berbincang dengan bu Trisni dengan santai, karena hari itu Murni boleh pulang lebih awal setelah ikut belanja pak Warso ke kota.
Murni sudah mulai menyetok ASI dalam botol-botol yang sudah dibelinya bersama pak Warso saat mereka belanja. Memang benar, dengan demikian Murni bisa bekerja lebih tenang, karena Gilang tidak akan kekurangan ASI.
“Mulai besok, saya mungkin hanya akan pulang siang saat istirahat, lalu baru bisa pulang sebelum maghrib.”
“Oh ya? Tidak apa-apa Bu, saya kan banyak nganggurnya. Setelah mengirim dagangan, tinggal bermain sama Gilang.”
“Sebenarnya saya sungkan, selalu merepotkan bu Trisni.”
“Tidak apa-apa Bu, jangan dipikirkan. Anggap saja kita adalah keluarga, jadi jangan ada rasa sungkan itu lagi di hati bu Murni. Suka dan duka akan kita pikul bersama.”
“Saya harus berterima kasih karena bertemu dengan orang sebaik bu Trisni dan Trimo.”
“Bukankah saya yang harus berterima kasih Bu? Karena Bu Murni saya bisa punya penghasilan cukup, dan Trimo bisa sekolah sesuai keinginannya.”
“Hanya karena saya ada sedikit sisa Bu.”
“Kalau begitu jangan pernah sungkan. Saya akan dengan senang hati melakukan apapun untuk bu Murni. Trimo juga sangat senang mendapat adik yang gendut dan lucu.”
Murni tersenyum.
“Kok bau masakan ya Bu, ibu masak ya?”
“Iya, aduh, hampir lupa, saya masak sup ayam, karena Gilang suka, sebentar saya matikan kompornya,” kata bu Trisni Sambil beranjak ke dapur.
Tiba-tiba Murni merasa aneh. Mencium bau masakan yang gurih dan lezat, membuat perutnya tiba-tiba mual.
“Aduh, kenapa aku ini ya?”
Rasa mual itu semakin menjadi, membuat Murni kemudian lari ke belakang rumah.
Bu Trisni yang ada di dapur terkejut melihat Murni berlari-lari, lalu tak lama kemudian ia mendengar suara Murni muntah-muntah.
“Aduh, itu bu Murni kenapa? Pasti kecapekan setelah ikut pak Warso pergi ke kota,” katanya sambil mengikuti ke arah kamar mandi. Diliatnya Murni keluar dari sana dengan wajah pucat dan napas terengah-engah.
“Kenapa Bu? Masuk angin ya? Sebentar saya ambilkan minyak kayu putih.”
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 74
Leave A Comment