Karya Tien Kumalasari
Lisa terkejut, tapi dia masih tampak tersenyum.
“Sayang, kamu menyusul aku kemari? Baru semalam kita bersama, sudah kangen lagi?” kata Lisa tak kenal malu.
Mata Restu menyala, bagai memancarkan api. Ia mendekati Lisa sambil mengayunkan tangannya. Tapi Lisa berhasil menepisnya.
“Sayang, ada bekas istri kamu, nggak malu main peluk saja?”
“Wanita murahan!! Pergi kamu dari sini,” hardiknya.
“Baiklah, enakny aku menunggu di hotel saja, sayang?”
Restu melayangkan tangannya ke wajah Lisa, kali ini kena. Warna merah menjalar di bekas tamparan dan seluruh wajah Lisa. Tapi Lisa tetap tersenyum.
“Ya ampun, kamu kelainan ya? Harus menyakiti dulu sebelum melakukan? Tapi ini kan di rumah sakit?” kata Lisa sambil menyiratkan senyuman genit, kemudian keluar dari ruangan.
Restu sangat geram.
“Kok ada perempuan tak tahu malu seperti dia?” gumamnya sambil mendekati Murni. Tapi murni memejamkan matanya sambil memalingkan muka.
“Murni …” katanya lembut.
Murni benar-benar merasa muak. Belum hilang rasa terkejutnya ketika mengetahui bahwa Marsih adalah Lisa, kemudian Restu datang dan Lisa mengumbar kata-kata tak tahu malu di hadapannya. Bisa-bisanya ketemuan dengan Lisa di rumah sakit, dimana dirinya terbaring dan merasa badan tidak enak.
“Murni, jangan pedulikan apa yang dikatakannya. Dia itu wanita yang ingin merusak hubungan kita. Dia menjijikkan. Aku harap kamu bisa mengerti.”
Murni tak menjawab. Ia masih memalingkan wajahnya. Tak begitu mudah mempercayai yang punya perangai buruk di masa lalunya. Kemudian dia menyesal telah kembali mengandung anak Restu.
“Murni, aku sudah bertemu Gilang, dan_”
“Jangan sentuh dia,” sentak Murni yang kali ini mau tak mau bereaksi ketika Restu sudah bertemu Gilang. Pasti dia sudah menggendongnya, dan jangan-jangan Restu sudah membawanya pergi.
“Murni, dia anakku ….”
“Apa kamu membawanya pergi? Mana dia?” kata Murni dengan cemas.
“Tidak, aku tidak akan membawanya tanpa kamu. Kamu sakit apa? Ayo pulang saja, ada rumah sakit lebih baik di kota kita.”
Murni tak sedikitpun menatap Restu.
“Murni, aku bawakan baju-pengganti untuk kamu,” tiba-tiba pak Warso muncul dengan membawa bungkusan pakaian.
Murni menoleh.
“Oh ada tamu?” kata pak Warso setelah melihat Restu duduk di tepi pembaringan Murni.
“Saya Restu, baru datang. Saya adalah ….”
“Dia adalah calon suami aku,” kata Murni tiba-tiba.
Bukan hanya Restu yang terkejut, tapi pak Warso demikian pula.
“Apa? Kamu bilang, dia calon suami kamu? Bukankah kamu masih istriku??” Kata Restu keras, menahan kemarahan di hatinya.
“Terima kasih telah membawakan baju ganti untuk saya,” kata Murni sambil tersenyum kepada pak Warso. Yang diberi senyuman malah menjadi gugup dan gelagapan.
“Dia ini masih istriku. Bagaimana anda bisa menjadi calon suaminya?” kata Restu masih dengan nada tinggi.
“Kamu bakal bekas suami aku,” kata Murni tanpa belas.
“Murni !! Mengapa kamu melakukan ini?”
“Tanya kepada diri kamu sendiri, apa yang telah kamu lakukan.”
“Murni, kamu tidak mendengar apa yang aku katakan? Kamu tetap istri aku, aku tak akan menceraikan kamu atas sesuatu yang tidak jelas ini.”
“Terserah apa kata kamu,” kata Murni lagi.
Pak Warso diam dalam kebingungannya. Tak tahu harus berhata apa.
“Murni, aku datang untuk menjemput kamu.”
“Jangan mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Pulanglah, tapi jangan sekali-sekali menyentuh Gilang, apalagi membawanya pergi.”
Restu tak tahan lagi. Dia keluar dari ruangan dengan wajah merah menahan marah. Ia tak mengira Murni begitu cepat mendapatkan calon suami.
“Pak Waro, saya minta maaf,” kata Murni setelah Restu pergi.
Pak Warso diam, masih bingung memikirkannya, tapi juga berdebar mendengar Murni mengaku menjadi calon suaminya. Apakah itu benar?
“Saya telah lancang mengaku menjadi calon suami Bapak, saya hanya ingin memanasi hati dia saja.”
“Aku tidak mengerti. Jadi itu tadi suami kamu?”
“Saya akan segera menggugat cerai.”
“Tapi kamu sedang mengandung anaknya, bukan?”
“Saya tidak tahan lagi. Dia berselingkuh. Kelakuannya sangat menyakitkan saya, jadi lebih baik saya minta cerai.”
“Kamu sedang mengandung. Mana bisa minta cerai?”
“Akan ada waktu untuk menunggu sampai bayi ini lahir.”
“Baiklah, sekarang kamu istirahat saja dulu, jangan memikirkan yang berat-berat.”
“Saya mau pulang saja.”
“Murni, kamu masih diinfus, supaya kamu lebih kuat.”
“Saya harus segera pulang, saya khawatir dia membawa anak saya.”
“Tunggu aku menemui dokternya ya, kamu harus pulang dalam keadaan baik dan cukup kuat.”
Ketika pak Warso keluar dan mencari dokter yang menangani Murni, tiba-tiba Lisa menghadangnya tiba-tiba.
“Pak tua yang masih ganteng … “ sapanya sambil mengumbar senyuman paling manis yang dimilikinya. Ia merasa mendapatkan laki-laki yang akan dijadikan mangsanya.
“Bagaimana Anda bisa ada di sini?”
“Saya memang tinggal di kota ini. Kemarin ketika mau periksa ke dokter langganan, saya melihat Bapak dan juga Murni.”
“Anda mengenalnya?”
“Dia itu wanita yang telah merebut kekasih saya. Restu itu kekasih saya. Kami hampir menikah ketika Murni kemudian merebutnya dari saya.”
“Apa? Apa yang Anda katakan itu benar?”
“Masa saya bohong sih Pak, saya ini wanita yang teraniaya. Saya sudah menyerahkan semuanya kepada Restu, siap menjadi istrinya. Tapi Murni merusaknya. Apa benar dia menjadi istri Bapak?”
“Belum,” jawab pak Warso yang masih bingung.
“Oh, jadi masih calon? Jangan Pak, jangan lakukan sebelum terlambat. Dia itu tidak begitu cantik sih, tapi dia pintar membuat pria menjadi terpikat. Dengan pura-pura baik, pura-pura santun, lalu tiba-tiba dia bisa menerkam Bapak.”
Tiba-tiba pak Warso merasa tidak senang mendengar Lisa menjelek-jelekkan Murni. Cara dia mengumbar kejelekan orang lain kepada orang yang baru dikenalnya, menunjukkan bahwa dia bukan wanita baik-baik.
“Pak, oh ya, nama saya Lisa. Bapak pak Warso kan? Saya sudah tahu ketika periksa ke dokter tadi.”
“Bapak ditunggu dokter di ruangnya,” tiba-tiba seorang perawat mendekati dan memintanya mengikutinya.
Pak Warso membalikkan tubuhnya, tanpa melihat ke arah Lisa lagi, membuat Lisa merasa kesal. Tadi dia ingin mencegat Restu, tapi enggan melakukannya. Tadi dia sudah kena caci maki dan tamparannya. Dengan langkah gontai dia pergi, dan berjanji dalam hati, akan menemui pak Warso lagi.
Pak Warso sudah menemui dokternya, dan setelah memeriksa keadaan Murni, kemudian Murni diijinkannya pulang.
Murni tak sempat mengganti baju yang tadi dibawakan pak Warso, jadi dia membawanya kembali.
“Apa benar, kamu sudah merasa baik?” tanya pak Warso dalam perjalanan ke arah mobilnya.
“Saya merasa sangat baik. Saya harus segera pulang.”
“Tapi wajah kamu masih pucat.”
“Saya bisa beristirahat di rumah. Bukankah saya sudah mendapatkan obatnya?”
“Benar, tapi kamu harus istirahat dulu, tidak usah buru-buru bekerja, kalau kamu belum merasa kuat.”
“Iya Pak, terima kasih banyak. Saya sudah sangat merepotkan Bapak.”
“Tidak repot, kamu kan karyawan aku. Jadi aku harus menjaga kamu,” katanya sambil membukakan mobil untuk Murni.
Begitu sampai di rumah bu Trisni, Murni bergegas mencari keberadaan Gilang. Ia bertemu bu Trisni yang sedang berjalan ke arah depan, ketika mendengar mobil berhenti di depan rumah.
“Mana Gilang Bu, apa dia masih tidur?”
“Bu Murni, tadi pak Restu datang kemari.”
“Iya, saya sudah tahu, dia juga menemui saya di rumah sakit.”
“Tapi dia datang kembali, lalu Gilang dibawanya.”
Murni merasa lemas, dia jatuh terduduk di lantai.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 78
Leave A Comment