Karya Tien Kumalasari
Pak Warso masih menyendok makanannya. Ia meminta Trimo agar melanjutkannya, jangan terganggu dengan perkataan sang karyawan toko.
“Makan saja terus, habiskan dan kalau perlu nambah,” katanya kepada Trimo.
“Eh ya, siapa dia?” tanya pak Warso kepada karyawannya.
“Saya tidak menanyakannya, sepertinya pernah datang kemari.”
“Masih muda?”
“Tidak begitu tua,” jawab sang karyawan.
“Saya masih makan, kalau mau suruh dia menunggu. Kalau tidak mau, durung datang lain kali saja,” lanjut pak Warso yang sudah bisa mengira-ira siapa tamunya.
“Baik, akan saya sampaikan,” kata karyawannya sambil berlalu.
Pak Warso melanjutkan makan yang tinggal beberapa suap.
“Mau tambah Mo, jangan malu-malu. Makanan sebanyak ini hanya untuk aku, dan aku hanya sendirian. Nanti aku suruh bungkus sisanya, biar kamu bawa pulang.”
“Sudah Pak, ini sudah cukup.”
“Itu kan kamu. Bagaimana dengan ibumu?”
“Ibu juga pasti sudah masak.”
“Ibumu capek, bangun menjelang pagi, menggoreng dagangan. Pasti letih. Sekali-sekali biar dia tidak usah masak, jadi bawakan semua sisa lauk ini nanti ke rumah.”
“Ibu pasti marah.”
“Lhoh, dikasih rejeki kok marah?”
“Marah sama saya Pak, dikira saya merepotkan.”
Pak Warso tertawa.
“Nanti kalau ibu kamu marah, kamu bilang saja, suruh marah sama pak Warso, begitu. Jadi biar dia datang kemari dan marah-marah sama aku.”
Trimo tersenyum. Ia merasa, banyak orang baik yang dikenalnya. Bu Murni, pak Warso. Orang-orang yang belum lama dikenalnya, tapi melakukan hal baik terhadap keluarganya.
“Sudah, selesaikan makannya. Kalau mau nambah, nambah saja.”
“Sudah kenyang Pak.”
“Bener, sudah kenyang?”
“Sungguh pak.”
“Yuuu, kemari kamu,” pak Warso memanggil pembantunya.
“Ya Pak.”
“Aku sudah selesai, bungkus semua makanan ini, lalu bawa ke depan, aku menunggu di depan,” perintahnya.
“Baiklah.”
Pak Warso mengajak Trimo ke depan. Ia melihat seorang wanita duduk di depan toko. Ia mengenal dia sebagai Lisa, yang begitu nekat ingin mendekatinya. Mau apa lagi dia?
Walau begitu pak Warso keluar.
“Ada apa ya?”
“Tolonglah saya.”
“Tolong apa?”
“Beri saya pekerjaan di sini.”
“Oh, maaf ya, karyawan saya sudah banyak, jadi tidak butuh pegawai lagi.”
“Toko ini begitu ramai, apa tidak butuh tambahan karyawan?”
“Mengapa kamu ikut mengatur usaha saya? Mohon maaf, pergilah dan jangan mengganggu lagi.”
“Ini … bukankah wanita jahat itu?” tiba-tiba Trimo mendekat karena merasa pernah mengenalnya.
“Hei, anak kecil, jangan ikut campur.” Hardik Lisa.
“Kamu kenal dia Mo?”
“Ini wanita jahat yang pernah hampir menghajar bu Murni.”
“Di mana?”
“Ketika bu Murni ke pasar, kata bu Murni setiap hari dia menemui dan memaki-maki tanpa sebab. Yang terakhir, ketika bu Murni berani sama dia, dia akan menghajarnya, tapi saya kebetulan melihatnya.”
“Kamu tidak tahu apa-apa. Perempuan bernama Murni itu merebut kekasih aku.”
“Sudah, jangan didengarkan, ayo masuk ke dalam,” kata pak Warso yang sangat tidak suka pada Lisa.
“Bagaimana mas?” teriak Lisa yang kemudian memanggilnya ‘mas’.
“Tidak, pergilah dan jangan datang kemari lagi.”
Pak Warso segera tahu, bahwa Lisa memang wanita jahat yang beaksud merusak rumah tangga Murni, karena Trimo juga pernah menyaksikan aksi jahatnya.
Lamunan dan angan-angan tentang Murni perlahan sirna, mengingat tak ada gunanya lagi dia berharap.
Sekarang dia punya karyawan kecil yang menarik hatinya, karena dia pintar dan berbicara layaknya orang dewasa.
“Apa ini?” teriak bu Trisni ketika melihat Trimo membawa banyak makanan.
“Pak Warso yang memberi nih Bu.”
“Kenapa kamu mau? Nggak sungkan, dibawain makanan segini banyak?”
“Trimo sudah menolak, tapi pak Warso memaksa, katanya, kalau ibu marah, suruh marah sama pak Warso, gitu.”
“Ya ampuun, ini makanan enak-enak semua, ada daging, ada ayam, sayurnya juga enak. Ibu bisa tidak masak selama tiga hari atau lebih.”
“Ini rejeki kan Bu?”
“Benar, tapi bagaimana asal mulanya kamu tiba-tiba dibawain makanan begini banyak?”
“Ketika Trimo datang, langsung dipanggil oleh pak Warso. Katanya dia sedang lapar, maka Trimo diajaknya makan. Sungkan banget Bu, mejanya bagus, kursinya bagus, piringnya bagus, makanannya enak-enak.”
“Kamu kok ya mau saja. Pasti kamu lapar karena pulang sekolah langsung ke sana, jadi lupa rasa malu, ya kan?” ledek ibunya.
“Ya enggak Bu, Trimo sudah menolak, tapi Trimo ditarik sama pak Warso, langsung disuruh duduk, terus diambilkan nasinya, lauknya. Gimana cara menolak? Trimo sungguh sungkan. Sudah begitu, pembantunya disuruh membungkus semua lauk, diberikannya sama Trimo.”
“Ini banyak sekali. Nanti disimpan di kulkas dulu, karena ibu sudah terlanjur memasak. Untunglah pak Warso juga memberikan kulkas itu untuk kita.”
“Iya Bu, pak Warso orang baik. Apa benar, tadinya mau jadi suami bu Murni?”
“Maunya begitu, dikira pak Warso bu Murni itu janda. Kan bu Murni sudah punya suami?”
“Kasihan bu Murni itu ya Bu, disiksa sama suaminya.”
“Hush! Siapa bilang bu Murni disiksa sama suaminya? Bu Murni itu pergi dari rumah karena sedang marahan saja. Biasa, kadang-kadang selisih paham itu ada. Tapi sekarang sudah dijemput keluarganya, dan mereka akan baik-baik saja,” kata bu Trisni yang tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya, mengingat Trimo masih anak-anak yang pastinya tidak akan bisa mengerti.
“Berarti bu Murni sekarang sudah bersama keluarganya dan tidak marahan lagi ya?”
“Ya tidak. Semoga dalam perjalanan, bu Murni tidak mual atau muntah-muntah lagi.”
“Aamiin. Kapan-kapan Trimo mau main ke sana lagi.”
“Iya, itu gampang. Sekarang ceritakan, tadi kamu dipanggil pak Warso mau disuruh ngapain?”
“Kalau pulang sekolah, setelah mengambil uang di warung-warung, Trimo disuruh ngebantuin di tokonya pak Warso.”
“Kamu bersedia?”
“Cuma ngebantu bungkus-bungkus gula, beras, menakar minyak, gitu saja kok. Memang sih, Trimo belum pernah, tapi Trimo harus belajar, dan harus bisa.”
“Baiklah kalau kamu sanggup, asalkan jangan mengganggu sekolah kamu.”
“Nggak Bu, Trimo tidak akan melupakan sekolah Trimo.”
“Bagus Nak, ya sudah, sekarang kamu cuci kaki tangan dulu dan ganti pakaian kamu, biar ibu cuci sekalian.”
Trimo berlari ke belakang, tanpa disuruh dua kali.
Murni masih lemas. Perutnya mual, dan di sepanjang perjalanan harus berhenti dua kali karena muntah-muntah. Itu sebabnya, bu Broto meminta agar Murni tinggal dulu di rumah keluarga Broto, supaya Gilang ada yang membantu mengurusnya.
“Kalau begitu Restu harus tinggal di sini dong, masa masih harus berpisah pula sama anak istri?” protes Restu.
Bu Broto tertawa.
“Iya, ibu mengerti, tapi jangan mengganggu istri kamu dulu, dia sedang ngidam dan bawaannya mual muntah.”
“Nanti akan Restu bawa ke dokter saja Bu.”
“Tapi tadi Sarni bilang, dia sudah membawa obat-obat dari sana.”
“Nanti akan saya tanyakan sama Murni, apa obatnya cocok.”
“Biasanya, orang ngidam itu tidak bisa disembuhkan dengan hanya minum obat-obatan. Nanti setelah tiga atau empat bulan, tanpa obatpun rasa mual atau muntahnya akan hilang dengan sendirinya.”
“Benarkah?”
“Ya benar, yang ngomong sudah pernah mengalami kok.”
Restu tersenyum, kemudian menuju ke kamar, dimana Murni masih berbaring lemas.
“Murni, mau muntah?”
“Tidak lagi. Tapi jangan dekat-dekat Murni.”
“Kenapa? Aku kan suami kamu?”
“Aku ingin muntah lagi kalau kamu mendekat, jadi menjauhlah.”
Restu cemberut seketika. Ia merasa sang istri belum mau memaafkannya.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 82
Leave A Comment