SELAMAT PAGI BIDADARI (82)

Karya Tien Kumalasari

Restu langsung membalikkan tubuhnya, keluar dari kamar Murni. Ada rasa sakit mendengar apa yang dikatakan Murni. Kemudian dia duduk di sofa di ruang tengah, dan termenung. Walau kembali ternyata Murni belum bisa memaafkan sepenuhnya.

“Restu, katanya mau menemui istri kamu?”

“Dia belum bisa menerima Restu Bu, Restu diusirnya,” gerutunya dengan wajah muram.

Bu Broto kemudian beranjak memasuki kamar Murni. Dilihatnya Murni masih terbaring pucat.

“Murni, mengapa kamu mengusir suami kamu? Bukankah kamu sudah memaafkannya dan menganggap masalah itu tak pernah ada?”

“Saya juga heran, begitu mas Restu mendekat, perut saya mual dan mau muntah lagi.”

“O, jadi bukan karena kamu masih marah sama dia?”

“Tidak Bu, setelah semuanya jelas, Murni tidak akan marah lagi. Hanya saja, entah kenapa, begitu mas Restu mendekat, saya merasa mual lagi.”

“Berarti itu karena kamu ngidam Mur. Ya sudah, tuh, suami kamu sakit hati karena kamu mengusirnya. Dikiranya kamu masih marah sama dia.”

“Tidak Bu, tolong bilang bahwa saya sama sekali tidak marah lagi. Saya justru harus minta maaf karena saya salah paham, sampai meninggalkannya.”

“Baiklah, akan aku sampaikan,” kata bu Broto sambil keluar dari kamar.

Bu Broto mendekati Restu yang masih termenung di ruang tengah.

“Restu, Murni bukannya marah sama kamu.”

“Lalu ….”

“Bawaan orang ngidam memang macam-macam. Dia mual begitu kamu mendekatinya, bahkan mau muntah.”

“Padahal Restu sudah bau wangi.”

“Justru aroma wangi, aroma gurih makanan, itu yang membuat mual.”

“Benarkah? Kalau begitu Restu akan mencoba mendekat dengan baju yang tidak terkena parfum.”

“Coba saja, tapi pelan-pelan. Orang ngidam terkadang aneh.”


Dan beberapa hari berikutnya, Murni sudah bisa menerima suaminya. Mungkin karena obat baru yang didapat dari dokter setelah Restu membawanya ke dokter kandungan, yang dulu menangani kelahiran Gilang. Tapi benar kata orang tua, bahwa wanita yang sedang ngidam tidak begitu terpengaruh oleh obat yang diminumnya. Rasa mual, muntah, mungkin berkurang, tapi tetap saja rasa itu ada.

Restu yang mulai mengerti, menanganinya dengan sabar. Barangkali ngidam yang dirasakan Murni saat mengandung Gilang, berbeda dengan yang dirasakannya sekarang. Ibunya juga berkata bahwa setiap mengandung, wanita hamil memiliki bawaan yang berbeda.


Tiga bulan sudah berlalu, Murni sudah tidak merasa mual, apalagi muntah. Ia merasa tidak enak karena merepotkan di rumah mertuanya, karenanya dia minta ijin agar boleh pulang ke rumahnya sendiri.

“Mengapa begitu Mur, di sini ada yang membantu mengasuh Gilang, sedangkan di rumah, kamu tidak punya pembantu,” kata bu Broto.

“Tapi saya merasa nyaman tinggal di rumah sendiri Bu, sekarang kan sudah tidak mual lagi, bisa melakukan apa saja.

“Baiklah, tapi ada baiknya kamu mencari pembantu atau perawat untuk Gilang, supaya ada yang membantu kamu. Kamu kan sedang hamil muda.”

“Baiklah, nanti saya bicarakan dengan mas Restu.”

“Asal jangan keliru memilih pembantu, nanti terjadi lagi peristiwa yang membuat kacau semuanya.”

“Iya Bu, pengalaman adalah guru yang terbaik.”


Sore hari itu Restu membawa anak dan istrinya pulang, walau dilepas oleh keluarga Broto, termasuk yu Sarni, dengan berat hati.

Ditengah jalan, mereka berhenti untuk membeli keperluan Gilang, termasuk susu, pampers dan sebagainya.

Keduanya turun memasuki sebuah toko, membeli semua keperluan. Ketika sedang memesan barang-barang kebutuhan, keduanya tak sadar Gilang tertatih berjalan ke sana-kemari.

Lalu keduanya sadar ketika sudah selesai mendapatkan barang-barangnya.

Murni berteriak panik, lari ke arah depan toko, mengikuti Restu yang sudah melompat ke depan terlebih dulu, sambil berteriak memanggil.

“Gilang … Gilaaang …”

Mereka sudah diluar toko, menoleh kesana-kemari, lalu terkejut melihat Gilang dalam gendongan seorang wanita cantik yang tampak lusuh. Gilang tertawa-tawa sambil membawa sebuah balon berwarna merah.

“Lisa?” Restu berteriak dan berlari mendekat.

“Itu anakku!” hardiknya sambil menatap penuh ancaman.

“Ya Tuhan, perempuan itu lagi?” pekik Murni khawatir.

“Gilang, sini!” kata Restu sambil mengacungkan kedua tangannya. Gilang tertawa-tawa, dan Lisa dengan tersenyum menyerahkan Gilang.

“Aku tidak akan mengambil anakmu. Dia jalan-jalan keluar, dan mendekati balon dagangan aku,” kata Lisa.

Murni menatap sebuah pikulan, dimana bermacam-macam balon tertata di sana. Seakan tak percaya ketika Lisa mengatakan bahwa balon itu dagangannya.

“Kamu jualan balon?”

“Aku meraih sesuatu yang tak pernah tergenggam oleh tanganku. Aku gagal mencapai langit. Terlalu tinggi barangkali. Lalu aku pasrah. Tak inginkan apapun, kecuali sedikit penghasilan untuk menyambung hidupku,” katanya pilu.

Restu menatap Lisa dengan pandangan datar. Tapi Murni menatapnya iba.

“Mengapa jualan balon?”

“Murni, aku minta maaf telah membuat rumah tangga kamu nyaris berantakan. Nyatanya kamu menemukan kebahagiaan kamu kembali. Kalian orang baik. Aku sedang menghajar diriku sendiri, untuk merasakan hidup penuh perjuangan. Semoga semuanya akan berakhir baik.”

“Bukankah kamu bisa kembali bekerja di toko, misalnya?” tanya Restu yang juga merasa kasihan mendengarnya.

“Tidak, biarlah begini. Aku tak ingin yang muluk-muluk lagi. Dan ini sebenarnya bukan dagangan aku, tapi dagangan suamiku.”

“Kamu sudah bersuami?”

“Aku kacau dalam kegagalan meraih keinginanku. Ditengah jalan aku nyaris pingsan karena kelaparan, karena memang aku berniat untuk bunuh diri.”

Murni membelalakkan matanya.

“Bunuh diri?”

“Lalu seorang penjual balon menolong aku, membawanya ke rumahnya yang sederhana, lalu mengambilku sebagai istri. Sekarang aku sedang mengandung anaknya.”

Murni menatap ke arah perut Lisa yang membuncit, tampaknya sepantaran dengan kandungannya sendiri.

“Berapa bulan?” tanya Murni.

“Baru menginjak tiga bulan.”

Murni dan Restu menarik napas lega. Apa yang dialami dan dilakoni Lisa adalah sebuah bentuk penyesalan, yang mirip dengan hidup Restu sendiri.

“Dimana suami kamu?”

“Suami aku sedang sakit, itu sebabnya aku menggantikannya berjualan. Tidak apa-apa. Sekali lagi maafkanlah aku,” kata Lisa sambil mengambilkan lagi sebuah balon untuk Gilang, yang menerimanya dengan melonjak-lonjak gembira.

Murni mengambil dua lembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada Lisa.

“Ini apa, aku memberi untuk bekas momongan aku, tidak menjual,” sergah Lisa sambil mengulurkan uangnya lagi, tapi Murni menghindarinya.

“Terima saja, bukan karena balon itu, tapi hanya ingin membantu,” kata Murni sambil menjauh, mendekati mobil suaminya.

Lisa menatapnya dengan linangan air mata. Sebuah penyesalan melintas, tapi Lisa menyadari bahwa dia sudah capek mengejar impiannya. Akhirnya dia mengerti, bahwa kebahagiaan itu akan terasa ketika seseorang bisa menerima apa adanya. Nyatanya disamping Pardi, suaminya, Lisa merasa bahagia. Apalagi ketika di rahimnya tumbuh janin, buah cinta mereka.

“Semoga anak kamu lahir dengan lancar, selamat tak kurang suatu apa,” kata Restu yang kemudian menyusul langkah istrinya.

Lisa mengelus perutnya yang membuncit. Ia bersyukur diberi kekuatan untuk membantu suaminya bekerja.

“Anakku luar biasa. Tidak rewel dan membuat aku kuat,” bisik Lisa.

Ketika deru mobil Restu menjauh, Lisa menatapnya sendu. Sungguh dia menyesali semua yang pernah dilakukannya. Tapi sesal itu kemudian membuatnya hidup lebih tenang, walau hidup sangat sederhana.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 83

Tags: No tags

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *