SELAMAT PAGI BIDADARI (10)

Karya Tien Kumalasari

“Apa ada masalah di kantor? Maksudku, tentang keuangan?” tanya bu Broto.

“Aku belum tahu Bu, kan baru mau diperiksa. Agak merasa aneh sih, kok pengeluaran selama enam bulan ini sepertinya membengkak.”

“Bagian keuangan kan orang-orang yang bisa dipercaya sih Pak?”

“Benar, itu sebabnya aku mau mencari, salahnya di mana.”

“Semoga baik-baik saja. Dan ibu minta, Bapak juga jangan sampai kecapekan. Akhir-akhir ini terlalu banyak yang Bapak urusi.”

“Benar, itu karena ada kerjasama dengan pihak lain, yang Restu belum bisa menanganinya.”

“Suruh Restu belajar, kan memang dia ditugaskan untuk mengurus semuanya?”

“Benar, Restu memang harus belajar. Nanti aku ngomong lagi sama dia, bahwa dia harus ikut di setiap meeting dengan klient.”

“Wulan, kok diam saja,” tegur bu Broto.

Wulan tersenyum.

“Wulan kan tidak paham dengan semua yang dibicarakan,” jawab Wulan sambil memasukkan suapan terakhirnya.

“Lain kali kamu juga harus belajar, supaya kalau bapak benar-benar pensiun, kamu bisa mendampingi suami kamu mengurus perusahaan,” kata pak Broto.

“Benar apa yang dikatakan bapakmu itu Wulan, ada baiknya kamu belajar. Sesekali ikutlah suami kamu ke kantor, supaya tahu bagaimana usaha mertua kamu ini,” sambung bu Broto.

Wulan lagi-lagi hanya tersenyum, sambil meletakkan sendok garpunya di piring.

“Wulan mana bisa Bu?”

“Kalau kamu belajar sudah pasti bisa. Kamu kan lulusan perguruan tinggi, pasti punya keahlian dalam mengelola sebuah usaha. Hanya karena belum berpengalaman, jadi merasa tidak bisa.”

“Eh, itu kan Murni?” seru Wulan ketika melihat Murni sudah ada di dapur.

“Nanti bicaralah sama Murni, dia yang akan menemani dan membantu kamu di rumah baru,” kata bu Broto.

“Iya Bu,” kata Wulan dengan wajah berseri. Dia agak merasa terhibur dan tidak sendirian nantinya.

“Bapak kok makannya sudah?”

“Sudah kenyang Bu, ini tadi sudah nambah dua kali, nanti perut bapak bisa meletus kalau harus nambah lagi,” canda pak Broto.

“Meletus? Balon … ‘kali.”

Wulan segera berdiri, menumpuk piring-piring bekas, sementara pak Broto berdiri meninggalkan ruang makan, diikuti istrinya.

“Murni, apa kabar?” sapa Wulan sambil menepuk bahu Murni.

Murni anak yu Sarni, adalah gadis yang sudah remaja. Dia baru saja lulus sekolah SMA. Gadis itu manis, dan pintar. Dia sudah sering membantu ibunya di rumah itu setiap liburan.

“Kabar baik, bu Wulan.”

“Senang rasanya, bakal ditemani kamu nantinya.”

“Iya, saya juga senang.”

“Kamu tidak akan aku anggap sebagai pembantu. Kamu keluarga aku juga,” kata Wulan sambil duduk di kursi dapur, sementara yu Sarni membersihkan meja makan.

“Terima kasih, bu Wulan. Saya senang, soalnya daripada bengong di rumah setelah lulus.”

“Nanti kamu tidak akan bengong, karena menemani aku ngobrol,” kata Wulan sambil tersenyum.

Murni menatap calon majikannya, yang kalau tersenyum tampak sangat menawan. Dia juga baik, dan ramah kepada siapapun. Belum dijalani, dia sudah merasa kerasan akan berada di rumah Wulan.

“Nanti kalau sudah tidak capek, bantu aku bebenah barang-barang ya, mungkin minggu depan kami akan pindah ke rumah baru.

“Baik, bu Wulan. Saya tidak capek kok. Kalau di suruh sekarang, saya siap.”

“Jangan Murni, Kamu kan baru datang. Nanti atau besok juga nggak apa-apa.”

“Benar Wulan, besok saja bebenah sama Murni, aku akan belanja sama Sarni,” kata bu Broto yang tiba-tiba masuk ke dapur.

“Oh iya, Ibu kan mau belanja. Tidak apa-apa kalau Wulan harus menemani dulu.”

“Tidak, aku sama Sarni saja. Selesaikan kamu mengurus barang-barang. Kan tidak usah bawa almari, karena di sana semuanya sudah siap.”

“Baiklah kalau begitu Bu, jawab Wulan, yang kemudian berdiri dan beranjak ke depan.

Dilihatnya ayah mertuanya sedang berbincang dengan Rio di teras.

“Aku senang kalau kamu kerasan bekerja di sini,” terdengar suara ayah mertuanya.

“Tentu saja Pak, karena Bapak sangat baik kepada saya,” kata Rio.

Lalu terdengar ayah mertuanya tertawa.

Wulan duduk di ruang tamu, pura-pura membaca koran yang terletak di meja, tapi telinganya menguping pembicaraan Rio dan ayah mertuanya.

“Rio, maukah kamu besok membawa gitar kamu?”

“Gitar, Pak? Untuk apa?”

“Aku mau mendengar kamu menyanyi lagi.”

Rio tertawa. Wulan tersenyum mendengarnya.

“Syukurin, salah sendiri pakai pura-pura jadi pengamen segala,” kata batin Wulan.

“Suara saya jelek, pak,” kata Rio masih sambil tertawa.

“Siapa bilang? Suara kamu bagus, aku terkesan sama kamu, karena mendengar suara kamu, dan lagu-lagu yang kamu nyanyikan. Itu semua mengingatkan aku saat muda dulu, saat mengejar cinta ibunya Restu,” kata pak Broto tanpa malu-malu.

“Bapak suka menyanyi?”

“Dulu saya suka menyanyi. Tapi sekarang suka mendengarkan saja, karena suaraku sudah buruk, sember, seperti panci ditabuh.”

Lalu keduanya terbahak. Wulan yang ada di dalam ikut tersenyum mendengarnya.

“Ada apa Wulan, kok senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba ibu mertuanya datang dan duduk di depannya.

“Itu Bu, mendengar pembicaraan bapak sama Rio.”

“Bicara apa mereka?”

“Bapak ingin agar Rio besok membawa gitar.”

“Oh ya? Kangen suara Rio barangkali.”

“Kata bapak, dulu sering menyanyi buat ibu, saat mengejar cinta Ibu,” goda Wulan.

Bu Broto terkekeh.

“Bapakmu itu tidak tahu malu. Masa sih, seperti itu diceritakan sama Rio.”

“Ya tidak apa-apa dong Bu, mengenang masa-masa manis dulu.”

“Hiiih, memalukan,” kata bu Suryo tersipu.

Wulan tersenyum, senang membayangkan betapa mesra dulu ayah dan ibu mertuanya saat masih pacaran. Tapi tiba-tiba hatinya merasa miris sendiri. Mengapa kebahagiaan itu tidak bisa menyentuhnya dan tidak membiarkan dia bersama laki-laki yang dicintainya?

Di teras sana, pak Broto dan Rio terus terkekeh, karena pak Broto menceritakan kisah cintanya dulu dengan bu Broto.

Karena kesal, bu Broto kemudian keluar, menghentikan celoteh suaminya tentang masa lalunya.

“Bapak iih, mengapa cerita-cerita seperti itu. Nggak malu sama Rio, apa?”

Pak Broto menoleh kepada isterinya yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

“Sini, duduk sini Bu,” pak Broto malah menyuruh istrinya duduk.

“Nggak mau. Bapak aneh. Jangan dengarkan Rio, bapak itu suka ngarang.”

“Eeh, siapa ngarang? Itu benar Rio. Dulu ibunya Restu itu menolak aku, tapi malu-malu mau pada akhirnya.”
Bu Broto mencubit lengan suaminya.

“Bapak nggak lucu deh. Oh ya Rio, besok antarkan aku belanja ya?” kata bu Broto mengalihkan pembicaraan.

“Baik Bu.”

“Aku sama yu Sarni, soalnya Wulan mau bebenah barang-barang yang mau dibawanya ke rumah baru.”

“Baik.”

“Tapi kalau kamu sudah di sana, sesekali harus datang kemari. Gitarmu harus selalu dibawa, karena kalau sewaktu-waktu aku ingin kamu menyanyi, kamu harus siap,” kata pak Broto.

“Baik Pak, besok akan saya bawa.”

“Bagus Rio, sekarang beristirahatlah. Di dekat garasi ada kamar korong, itu memang untuk sopir. Biasanya sopir kantor kalau aku membutuhkannya, sebelum aku siap aku suruh dia istirahat dulu di kamar itu.”

“Baik Pak, saya istirahat di mobil saja.”

“Terserah kamu saja Rio, aku juga mau istirahat dulu,” kata pak Broto sambil masuk ke dalam rumah, diikuti istrinya.

Rio memilih istirahat di dalam mobil, karena dia punya pekerjaan lain. Dia harus memantau usahanya walau tidak selalu berada di kantor. Ada laptop yang diletakkan di dalam bagasi, yang sewaktu-waktu dipergunakannya.


Pagi itu seperti biasa Restu makan dengan tergesa-gesa. Ia hanya mengambil sedikit nasi, supaya bisa segera pergi.

“Restu kenapa sih, tidak pernah sarapan dengan benar, selalu seperti tergesa-gesa,” tegur ibunya.

“Iya Bu, soalnya Restu selalu bangun kesiangan, jadi takut terlambat. Restu kan harus memberi contoh yang baik untuk karyawan, jadi Restu harus datang sebelum mereka datang, untuk mendisiplinkan mereka supaya bisa datang lebih pagi, agar tidak kedahuluan pimpinannya,” kata Restu sambil meletakkan sendoknya.

Pak Broto melirik sekilas, dan mengangguk senang.

“Hei, mengapa tidak pamit sama istri kamu?” teriak pak Broto jarena Restu langsung keluar dengan tergesa, hanya mencium tangan ayah dan ibunya sekilas.

“Aku berangkat Wulan,” teriaknya dari arah yang agak jauh, karena dia tidak mau berhenti.

Bu Broto menghela napas kesal. Ia maklum kalau Wulan juga tidak mau berdiri untuk mengantarkan suaminya, soalnya sikap Restu juga seenaknya.

Restu langsung menghampiri mobilnya, lalu dia berteriak kesal karena ketika dia mau keluar, tiba-tiba sebuah motor yang dikendarai Rio memasuki halaman.

Restu membuka kaca mobilnya dan menatapnya marah.

“Bodoh!” hardiknya sambil berlalu.

Rip menoleh dan bergumam pelan:

”Dia memaki aku? Bilang! Supaya aku bisa menghajarnya,” ujarnya geram sambil menghentikan motor bututnya, lalu memasukkannya ke garasi. Ia sengaja membawa motor butut yang dipinjam dari salah seorang karyawannya, yang kemudian menukarnya dengan motor baru.

Pak Broto yang baru keluar dari rumah, tersenyum melihat Rio datang sambil membawa gitar yang digantungkan di pundaknya.

“Bagus Rio, ayo menyanyi dulu, sini,” sambut pak Broto dengan gembira.

“Rio menghampiri pak Broto, lalu duduk di tangga teras.

“Eeh, sini Rio, kamu benar-benar mau mengamen apa? Ayo duduk di kursi, aku ingin mendengar suara kamu lagi,” suara cerah pak Broto.

Rio berdiri, kemudian duduk di kursi pendek, di hadapan pak Broto.

“Mau lagu apa Pak?” tanya Rio.

“Terserah kamu saja. Aku yakin pasti kamu akan menyanyikan lagu yang bagus untuk aku. Oh iya, itu saja, I can’t stop loving you, aku suka lagu itu.”

Rio tersenyum, lalu mengalunlah suara merdunya dengan diiringi oleh gitarnya sendiri.

“I can’t stop loving you, I’ve made up of my mind, to live in memories, of the lonesome times,

I can’t stop wanting you, it’s usseles to say, So I’ll just live my life, of dream of yesterday,

Those happy hours, that we once knews, ….

Dan Rio menyanyikannya dengan penuh perasaan, membuat pak Broto hanyut dalam alunan lagu itu, bahkan pada syair yang diingatnya, dia ikut menyanyi bersama Rio.

Pagi itu terdengar semarak.

“Ya ampuuun, Bapak,” pekik bu Broto dari arah pintu.

Pak Broto memberi isyarat dengan jarinya, agar bu Broto tak mengganggu Rio yang sedang menyanyi.

Bu Broto tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya, kembali masuk.

“Kita ke pasar sekarang, Rio?” kata bu Broto sebelum masuk.

Rio tersenyum, tapi pak Broto memintanya agar Rio menyelesaikan dulu lagunya.

Pak Broto berteouk tangan ketika Rio sudah selesai menyanyikannya, lalu ia merogoh sakunya, dan mengulurkan uang duaratus ribu ke arah Rio.

“Bapak, ini … apa?”

“Ini untuk kamu.” Katanya sambil memasukkan uangnya ke dalam saku baju Rio.

“Bapak gimana, saya kan tidak sedang mengamen.”

“Itu sebagai rasa senang saya pagi ini, karena kamu telah menyanyikan lagunya dengan apik.”

“Terima kasih, Pak,” kata Rio sambil berdiri.

“Taruh saja gitarmu disini, jangan kamu bawa pulang,” perintah pak Broto. Rio menurut, lalu meletakkan gitarnya di sudut teras.

“Ya sudah, siapkan mobilnya, ibu mau belanja tuh.”

“Baiklah, Pak.”


Ternyata Restu tidak langsung ke kantor. Setelah menjemput Lisa, Lisa mengeluh perutnya lapar. Dan karena itu Restu mengajaknya dulu makan pagi di sebuah restoran.

“Kapan kamu pindah rumah Mas?”

“Minggu depan. Rumah itu sudah siap.”

“Apakah ada kamar khusus seandainya aku menginap di sana?” tanya Lisa tak tahu malu.

“Tentu saja ada. Kamu tidak usah khawatir. Kita bisa bersenang-senang sesuka hati kita,” kata Restu yang sudah lupa daratan karena rayuan Lisa yang selalu membuatnya tergoda.

“Asyiik, tapi hari ini aku ingin belanja, sayang.”

“Apa uangmu habis?”

“Iya,” katanya sambil menggelendot manja.

“Baiklah, nanti aku transfer ke rekening kamu, lalu kamu bisa belanja sepuasnya.”

“Terima kasih, sayang. Nanti aku hanya akan absen di kantor, lalu minta ijin untuk keluar. Aku harus belanja semua kebutuhan aku.”

“Baiklah, sesuka kamu saja. Jadi nanti aku tidak nyamperin kamu untuk makan siang?”

“Telpon dulu saja Yang, kalau aku sudah kembali ke kantor, kamu boleh nyamperin aku.”

“Baiklah, segera selesaikan sarapan kamu, nanti kamu terlambat. Kalau aku sih tidak apa-apa, siapa sih yang berani memarahi aku?” kata Restu dengan sombongnya.

Lisa tertawa sambil menyandarkan kepalanya dibahu kekasihnya. Tapi kemudian mereka segera menyelesaikan sarapan mereka karena ini sudah lewat saatnya masuk kerja.


Restu melenggang dengan riang saat masuk ke ruang kerjanya, tapi betapa terkejutnya ketika melihat ayahnya sedang duduk di belakang meja kerjanya.

“Bapak? Kok ada disini?”

“Kamu tadi bilang harus datang lebih pagi untuk memberi contoh baik kepada karyawan kamu. Mengapa sekarang baru datang?” kata pak Broto dengan nada tinggi.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 11

SELAMAT PAGI BIDADARI (09)

Karya Tien Kumalasari

Wulan terbelalak menatap Rio, yang mengucapkannya dengan bersungguh-sungguh.

“Aku serius,” katanya tandas.

“Jangan begitu Rio.”

“Apa yang jangan begitu?” tanya Rio sambil menatapnya tajam.

“Ini jalanku, suka atau tidak, harus aku jalani.”

“Wulan, aku mencintai kamu. Tanpa memiliki kamu, aku rela, dengan satu catatan, kamu harus bahagia. Kalau tidak, aku sungguh-sungguh akan merebutmu.”

Wulan merasa miris, tatapan yang terpancar dari matanya adalah tatapan membunuh. Dia tidak main-main dengan ucapannya.

Air mata Wulan menitik.

“Setitik air matamu harus dibayarnya mahal,” tandasnya.

“Aku … “

“Jangan bilang kamu bahagia Wulan. Aku sudah tahu kelakuan suami kamu. Baik di dalam rumah, ataupun di luaran. Aku bukan memanas-manasi kamu agar kamu kemudian memilih aku, tidak. Aku melihat dengan kepalaku sendiri bagaimana dia bersikap kepada seorang perempuan di jalanan, dan aku sakit Wulan. Sakit karena dia menyakiti kamu.”

“Rio … “ Wulan mengusap air matanya.

“Nanti kamu akan tinggal disini, dan entah siapa yang mengaturnya, aku harus menjadi sopir pribadi kamu. Disitu aku akan terus menjaga kamu dari dekat.”

“Bukankah kamu pimpinan sebuah perusahaan? Bagaimana kamu bisa melakukan ini semua Rio?”

“Demi kamu, aku bisa melakukannya.”

“Rio …”

“Jangan menangis lagi Wulan, ada aku di dekat kamu.”

“Sampai kapan kamu akan melakukannya?”

“Sampai aku yakin bahwa kamu benar-benar menemukan kebahagiaan.”

Wulan masih saja terisak. Ditatapnya hamparan rumput di kiri kanan halaman rumah baru itu, dengan pohon-pohon bunga diantaranya. Rupanya ayah mertuanya tahu bahwa Wulan menyukai bunga.

“Ya Tuhan, justru ayah mertua aku yang memperhatikan aku, sedangkan suamiku tidak sama sekali,” kata bisik batin Wulan.

“Apa kamu mencintainya?” tiba-tiba tanya Rio.

“Apa maksudmu? Kami dipertemukan karena kehendak orang tua, yang kami sebelumnya belum pernah saling kenal, lalu dari awal pernikahan sampai sekarang dia selalu menghina dan merendahkan aku. Bagaimana sebuah cinta bisa tumbuh di padang gersang?”

“Kalau begitu tinggalkan dia.”

Wulan menatap Rio lekat-lekat. Mana mungkin dia bisa melakukannya? Kedua mertuanya sangat menyayangi dia. Hanya karena mereka Wulan bisa bertahan.

“Aku tidak bisa Rio.”

“Mengapa? Bukankah kamu tidak mencintainya?”

“Kedua mertuaku sangat menyayangi aku. Mereka seperti menjadi pengganti kedua orang tuaku yang telah tiada,” jawab Wulan sendu.

Tiba-tiba ponsel Wulan berdering.

“Dari ibu mertuaku,” bisik Wulan. Ia mengusap air matanya, lalu menata napasnya agar lebih teratur sebelum menjawabnya. Ia tak ingin mertuanya tahu bahwa dia menangis.

“Hallo, Ibu,” sapa Wulan setelah mengendapkan perasaannya.

“Wulan, kamu masih di rumah baru kamu?”

“Iya Ibu.”

“Bagaimana, kamu suka?”

“Iya Ibu.”

“Bapak bilang, kalau ada yang kurang, kamu segera bilang, agar bisa segera dilengkapi, supaya kamu kerasan tinggal di rumah baru kamu.”

“Tidak ada yang kurang, Ibu.”

“Baiklah. Apa kamu masih lama pulangnya?”

“Saya … ingin mampir belanja,” kata Wulan yang sebenarnya mencari waktu lebih lama untuk menghilangkan bekas tangisnya, agar mertuanya tidak curiga.

“Oh, baiklah kalau begitu.”

“Apa Ibu mau nitip sesuatu ?”

“Tidak Nak, mungkin besok saja sekalian mencatat kebutuhan Sarni. Oh ya, aku mau bilang, sampai lupa.”

“Apa itu Bu?”

“Murni sudah datang, baru saja. Dia senang ketika mendengar bahwa dia akan menemani kamu di rumah baru.”

“Oh, iya Bu, Wulan juga senang mendengarnya.”

“Ya sudah Wulan, hati-hati di jalan. Ini bapak juga sedang pergi ke kantor, ada yang harus diurusnya.”

“Baiklah, Ibu.”

Wulan menutup ponselnya dan menghela napas.

“Perhatian kedua mertuaku sangat membuatku tenang. Itu sebabnya aku masih bertahan.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Aku berharap kamu segera menemukan kebahagiaan. Hanya itu keinginanku.”

“Terima kasih Rio, kamu selalu baik untuk aku.”

“Bukankah aku sangat mencintai kamu?” kata Rio sambil menatap Wulan dalam-dalam.

“Iya, aku tahu,” dan selalu saja air matanya berlinang setiap kali Rio mengatakannya.

“Baiklah, sekarang kita mau kemana?”

“Belanja sebentar ya? Supaya bekas tangisku ini tidak lagi tampak. Aku tak mau mertuaku melihatnya.”

“Baiklah. Mau makan siang?”

“Mampir minum-minum saja. Kita makan di rumah, karena aku sudah memasak. Nanti mereka kecewa kalau aku tidak makan.”

“Baiklah, tuan puteri, bidadari cantikku,” kata Rio yang kemudian turun dan membukakan pintu mobil untuk Wulan, sebelum dia sendiri duduk di belakang kemudi.

Wulan tersenyum lebar. Dia sangat menyukai ucapan itu, sejak awal mereka saling jatuh cinta. Dan Rio tak pernah melupakannya.


Wulan hanya belanja beberapa sayur yang ingin dimasak keesokan harinya, dan tidak tersedia di kulkas penyimpanan, kemudian mereka minum es krim kesukaan mereka.

Keduanya lebih banyak diam, hanya saling tatap dengan perasaan tak menentu, sambil menyesali dalam hati, ketika nasib memisahkan mereka.

Tak bisa dipungkiri, masih ada cinta yang tersisa di hati Wulan, setelah hari-hari yang dilaluinya diurai perlahan. Tapi Wulan adalah wanita santun yang memegang teguh norma susila. Ia harus menjaga pernikahannya dengan perilaku yang bersih dan suci dari noda, apalagi noda perselingkuhan. Betapapun besar rasa cintanya, seperti juga Rio, mereka tetap saling menjaga dan menghormati.

“Kita pulang?”

“Baiklah, saatnya makan di rumah, nanti ibu mertuaku menunggu.”

“Senang menikmati masakan kamu lagi, walau kita tidak bisa makan bersama-sama.”

Wulan tersenyum, lalu bangkit berdiri, dan keluar dari rumah makan dimana mereka hanya menikmati semangkuk es krim.

Wulan dan Rio sudah ada di dalam mobil, ketika tiba-tiba mata mereka terpaku kepada sebuah mobil lain yang mereka kenali. Mobil Restu. Rio sengaja belum menstarter mobilnya, mengamati mobil Restu yang berhenti di seberang jalan, agak jauh di depan mereka. Dilihatnya Restu turun, kemudian membuka pintu samping, lalu seorang perempuan dengan pakaian yang sangat minim kain, keluar dari sana, kemudian bergayut mesra di lengan Restu.

Rio menatapnya muak. Ia melirik sekilas ke arah Wulan, tapi Wulan bergeming. Tak ada ekspresi marah atau terluka melihat pemandangan itu. Ia tetap tampak tenang di tempat duduknya.

“Ayo Rio, kenapa diam?”

“Melihat itu,” kata Rio sambil menunjuk ke arah Restu dan perempuan itu, sampai memasuki sebuah rumah makan di dekatnya.

“Biarkan saja, mengapa kamu peduli?”
“Tidak. Hanya muak, itu perempuan yang kemarin,” katanya sambil menstarter mobilnya.


Pak Broto sedang berada di kantornya. Ia memeriksa berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Hari sudah siang, ia ingin pulang dan makan di rumah, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia memencet tombol interkom di ruangan Restu. Tapi yang mengangkat sekretarisnya.

“Pak Restu mana?”

“Pak Restu keluar makan siang, belum kembali, Bapak,” jawab sang sekretaris.

“Jam berapa ini, mengapa belum kembali?”

“Biasanya setelah jam satu baru kembali Bapak.”

“Ini kan sudah setengah dua? Baiklah, begitu dia datang suruh ke ruanganku,” kata pak Broto kesal.

“Baik, Bapak.”

Pak Broto menghela napas berat. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran. Usianya yang beranjak senja, membuatnya sangat gampang lelah. Ia ingin segera pulang, tapi ia harus bertemu dengan Restu. Ada yang ingin ditanyakannya, dan kemarin ketika di rumah dia lupa.

Pak Broto berpindah duduk di sofa, supaya bisa bersandar lebih nyaman.

Kira-kita seperempat jam kemudian, Restu muncul dihadapannya.

“Bapak memanggil saya?” tanyanya begitu masuk.

Pak Broto menegakkan tubuhnya.

“Duduk,” titahnya.

Restu duduk di hadapan ayahnya. Ia agak heran karena akhir-akhir ini ayahnya sering datang ke kantor. Sebenarnya bisa dimaklumi, karena ada beberapa kerja sama yang harus ditanganinya sendiri. Tapi Restu merasa ada yang berbeda atas sikap ayahnya.

“Bapak kemarin melihat kamu keluar dari sebuah rumah makan. Aduh, lupa nama rumah makannya, yang di dekat gedung bioskop itu.”

Restu tercekat. Kalau ayahnya tahu saat dia keluar, pasti ayahnya juga tahu ketika dia menggandeng Lisa dengan mesra. Itukah yang ingin ditanyakan ayahnya?

“Ya Pak. Bapak mau makan juga, waktu itu?” Restu pura-pura tidak tahu arah pertanyaan ayahnya.

“Tidak. Kamu kan tahu bahwa bapak lebih suka makan masakan isteri kamu di rumah?”

“Oh, iya Pak.”

“Bapak ingin bertanya, siapa perempuan yang kamu gandeng saat keluar dari rumah makan itu?”

Tuh kan? Restu tetap terkejut, meskipun sudah menduganya.

“Perempuan?” Restu pura-pura linglung.

“Perempuan, pakaiannya sangat tidak pantas, bapak muak melihatnya.”

“Dia_”

“Dia bergayut di lengan kamu,” kesal pak Broto.

“Oh, itu Pak … ya ampun … Restu tidak mengingatnya, soalnya ketemu hanya sekilas. Ya saat makan itu.”

“Apa maksudmu ?”

“Dia kan .. itu pak, bekas teman kuliah dulu … kebetulan ketemu.”

“Hm, teman kuliah? Kamu kok tidak risih dia bergayut di lengan kamu dengan cara seperti itu?”

“Ya, namanya lama tidak ketemu.”

“Kamu harus hati-hati dalam bergaul. Ingat, kamu sudah punya istri.”

“Iya Bapak, Restu ingat.”

“Satu lagi, rumah baru kamu sudah siap. Tadi Wulan bapak suruh melihatnya, dan mengatakan barangkali ada yang kurang. Minggu depan kalian boleh pindah.”

“Baiklah Pak,” jawab Restu dengan wajah berseri, membayangkan dirinya akan lebih bebas terlepas seperti burung lolos dari sangkarnya.

Pak Broto berdiri, setelah memanggil sopirnya dan menyuruhnya menyiapkan mobil.

“Bapak belum selesai, besok masih ada yang ingin bapak periksa.”

Restu ikut berdiri, mengikuti ayahnya keluar dari ruangan. Kemudian masuk ke ruangannya sendiri.

“Celaka. Hampir saja. Syukurlah aku segera bisa menemukan jawaban yang tepat. Mulai besok aku akan mengajak Lisa makan di tempat lain, yang tidak berada di tengah kota,” gumamnya perlahan sambil duduk di depan meja kerjanya.


Bu Broto sudah duduk di ruang makan, ditemani Wulan. Mereka tampak menunggu, karena pak Broto baru saja mengabari kalau sudah di jalan dan ingin makan di rumah.

“Wulan, bapak tidak pernah melewatkan makan siang di rumah, karena apa, karena bapak sangat menyukai masakan kamu,” kata bu Broto sambil tersenyum.

Wulan tertunduk, tersipu. Bukan hanya sekali kedua mertuanya memuji masakannya.

“Saya belajar dari yu Sarni Bu.”

Tiba-tiba Wulan teringat, kata ibu mertuanya, tadi Murni sudah datang.

“Mana Murni? Katanya sudah di sini?”

“Baru keluar sebentar, Sarni menyuruhnya beli apa tadi. O iya, sabun cuci piring habis, tadi ibu lupa bilang sama kamu.”

“Oh, iya Bu, yu Sarni sudah bilang sebenarnya, tapi Wulan lupa.”

“Nggak apa-apa, besok sekalian belanja semua barang yang habis. Ibu sudah menyuruh Sarni mencatatnya.

Sementara itu Rio sudah duduk di teras, menghadapi makan yang sudah disediakan Sarni untuknya. Ia makan dengan lahap, dan selalu merasakan, memang benar masakan Wulan sungguh nikmat.

“Sayang dia bukan isteriku,” gumamnya pilu.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di halaman. Rupanya pak Broto sudah pulang. Laki-laki setengah tua yang sangat baik hati itu melangkah, dan berhenti di teras, ketika melihat Rio sedang makan.

“Rio, bagaimana makannya? Enak?” sapa pak Broto.

“Sangat enak Pak.”

“Kamu tahu? Itu masakan menantuku,” kata pak Broto dengan bangga.

“Iya Pak.”

“Habiskan, kalau kurang, bilang sama Sarni, biar diambilkan lagi.”

“Sudah cukup Pak, ini juga yu Dsarni mengambilkannya sangat banyak.”

“Ya sudah, selesaikan makannya, aku juga sudah lapar,” kata pak Broto sambil melangkah ke dalam rumah.

Bu Broto tersenyum sumringah melihat suaminya sudah pulang.

“Sudah ditunggu nih Pak,” sambut bu Broto.

“Oh ya Wulan, kamu sudah melihat rumahnya?” tanya pak Broto kepada Wulan.

“Sudah Pak.”

“Bagaimana? Ada yang kurang?”

“Tidak ada Pak, semuanya sudah lebih dari cukup,” jawab Wulan.

“Bagus, bapak berharap kamu akan kerasan di rumah baru kamu,” kata pak Broto sambil duduk.

“Bapak kok sudah pulang, katanya akan selesai sampai sore?”

“Tidak, aku lapar dan ingin segera makan di rumah. Besok aku ke kantor lagi, untuk memeriksa keuangan. Aku kok merasa ada yang janggal.”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 10

SELAMAT PAGI BIDADARI (08)

Karya Tien Kumalasari

“Rio memperlambat laju mobilnya.

“Haruskah saya berhenti?” tanyanya.

“Tidak, terus saja jalan. Nanti akan saya urus dia, siapa perempuan yang bersamanya,” jawab pak Broto dengan wajah kesal.

“Teman se kantornya, barangkali,” sahut Rio sekenanya.

“Tidak, aku tidak pernah melihat perempuan itu. Aku kurang suka penampilannya. Sepertinya dia bukan perempuan baik-baik.”

Rio diam saja. Ia merasa diantara mereka ada hubungan yang erat. Mungkin persahabatan, atau mungkin juga lebih dari itu. Tapi ia tak berhak mengomentarinya.

“Kamu tahu, dari mana aku tahu bahwa dia perempuan yang tidak baik?” tanya pak Broto lagi.

Rio tak menjawab. Ia tak ingin berpendapat apapun, apalagi kan dia anaknya pak Broto. Bagaimana kalau dia tersinggung?

“Kamu melihat cara dia berpakaian? Hanya sekilas saja aku tahu, itu pakaian yang tak pantas. Sebagian bahunya kelihatan, belahan dada juga terlihat, rok bawahnya jauh di atas lutut. Aduh, bagaimana Restu bisa bergaul dengan perempuan seperti itu,” kesal pak Broto.

“Mungkin hanya kenalan, atau kebetulan bertemu di tempat makan,” kata Rio, hanya sekedar meredakan kekesalan pak Broto.

“Aku tidak yakin. Tapi semoga dugaanku salah.”

“Kita langsung pulang Pak?” tanya Rio mengalihkan pembicaraan.

“Ya, kita langsung pulang, dan makan di rumah saja. Kamu tahu, menantuku pintar sekali memasak. Masakannya enak sekali. Itu yang membuatku jarang makan di luar.”

Rio tersenyum. Itu kan gadis yang dia cintai.

“Tapi aku heran pada Restu. Dia tak pernah makan siang di rumah. Memilih makan di restoran mahal. Huh, menghamburkan uang saja,” pak Broto masih menggerutu tentang anaknya.

“Rio, benarkah kamu belum punya pacar?” tanya pak Broto.

Rio terkejut. Bukankah kemarin sudah ditanyakannya?

“Aku tidak percaya kalau kamu belum punya pacar. Kamu kan ganteng, baik.”

Rio tertawa lirih.

“Memang belum ada yang mau Pak.”

“Perempuan bodoh mana yang tidak mau menjadi isteri laki-laki ganteng seperti kamu?”

“Bukankah perempuan selalu suka laki-laki berduit?”

“Oh, benarkah? Tapi menantuku tidak tuh. Dia wanita sederhana, yang aku ambil dari keluarga sederhana. Ayah dia itu sahabatku saat aku sekolah. Begitu melihat gadis itu, aku langsung suka. Dia lembut, baik, santun, pintar. Benar-benar tak ada duanya,” pak Broto terus memuji-muji menantunya.

Rio tak tahu harus berkomentar apa.

“Aku berharap Restu bisa merubah kelakuannya. Dia suka sekali menghambur-hamburkan uang. Entah untuk apa.”

Pak Broto diam sejenak.

“Ah ya, aku lupa belum sempat memeriksa keuangan, karena disibukkan dengan mengurus rekan-rekan kerja yang mau bergabung. Aku kan butuh kerja sama, untuk memperbesar usahaku. Pastinya ya kerja sama yang menguntungkan. Dan untuk urusan ini, harus aku sendiri yang menanganinya. Restu belum menguasai betul hal seperti ini. Harus banyak belajar.”

Rio mendengarkan semuanya dengan tanpa menyahut sepatahpun. Ia masih terbayang saat Restu menggandeng lengan gadis berpakaian seronok tadi. Ia ingin marah. Kelakuan itu tak pantas dilakukan oleh lelaki yang sudah beristri. Apa Wulan tahu kelakuan suaminya di luaran? Apakah itu satu-satunya teman Restu yang dekat dengannya, atau ada perempuan lain? Kata yu Sarni, Restu selalu kasar di rumah, demikian juga kepada istrinya. Ia sudah geram mendengar itu, apalagi melihat kelakuannya tadi.

“Rio, tadi semua pesanan sudah kita suruh mengirim ke alamat rumah baru itu kan?”

“Ya Pak, sepertinya sudah.”

“Nanti kalau kamu pulang, bawalah mobil Wulan. Besok sebelum ke rumah, kamu cek rumah itu, apa barang-barangnya sudah masuk dan ditata. Aku sudah minta tolong penunggu rumah itu untuk mengatur sesuai perintahku.”

“Baik Pak.”

“Nanti kalau semuanya sudah oke, kamu antar Wulan untuk melihat rumahnya. Biar dia yang menilai, apakah ada yang kurang, atau tidak.”

“Baik.


Wulan sedang menata meja bersama yu Sarni ketika pak Broto datang bersama Rio. Bu Broto yang menyambutnya segera mengatakan bahwa makan siang akan segera siap.

“Kita makan sekarang, Pak?”

“Ya, ajak Rio sekalian makan bersama kita,” kata pak Broto yang baru turun dari mobil.

“Tidak Pak, saya makan di luar saja.”

“Mengapa? Kamu jangan sungkan,” kata pak Broto setengah memaksa.

“Ya sudah, dia kan masih baru Pak, mungkin dia masih sungkan. Biar Sarni mengatur makannya di teras seperti biasanya saja.”

“Ya sudah. Aku ganti baju dulu dan cuci kaki tangan. Masak apa Wulan hari ini?” katanya sambil beranjak ke kamar.

“Bapak lihat saja sendiri, pasti Bapak suka,” kata bu Broto sambil mengikuti suaminya ke dalam kamar.

“Sudah siap Yu, aku mau bilang ibu dulu, dan sepertinya bapak juga sudah pulang.”

Tapi Wulan berhenti melangkah ketika ibu mertuanya masuk ke ruang makan diiringi suaminya.

“Sarni, siapkan makan dan minum untuk Rio ya,” titah bu Broto kepada Sarni.

“Baik Bu, sudah saya siapkan, tinggal membawa ke depan saja,” jawab Sarni sambil beranjak ke dapur, mengambilkan makan dan minum untuk Rio.

Pak Broto dan bu Broto sudah duduk di kursi mereka masing-masing, disusul Wulan yang kemudian melayani mereka.

“Wulan, rumah kamu sudah hampir siap. Tadi aku sudah menyuruh mengirimkan perabot yang diperlukan,” kata pak Broto.

Wulan hanya tersenyum tipis.

“Besok, kamu akan diantar Rio untuk melihat rumah kamu itu. Bilang saja kalau kamu nggak cocok, atau barangkali ada yang kurang.”

Wulan hanya mengangguk. Baguslah, besok bisa berduaan sama Rio. Dia harus bertanya, apa maksudnya melakukan semua itu.

“Kamu sepertinya berat ya meninggalkan rumah ini?” tanya bu Broto ketika melihat wajah Wulan yang tidak cerah mendengar penuturan ayah mertuanya.

“Iya, berat sekali Bu.”

“Kamu tidak usah khawatir. Setiap saat ibu dan bapak akan datang ke rumah kamu. Dan, oh ya, Sarni … “ tiba-tiba bu Broto teringat sesuatu. Sarni mendekat.

“Ya Bu.”

“Kamu sudah mengabari Murni? Mau kan dia diajak kemari?”

“Sudah Bu, dia mau. Kelihatannya senang.”

“Syukurlah. Besok suruh Rio menjemputnya. Pastinya sama kamu.” Kata bu Broto lagi.

“Tidak besok Bu, besok Rio aku suruh mengantarkan Wulan untuk melihat rumah itu dulu,” sela pak Broto.

“Oh, ya sudah, besoknya lagi, kalau begitu.”

“Baik Bu,” kata Sarni yang kemudian beranjak lagi ke dapur.

“Nah, kamu harus sudah mulai membenahi barang-barang kamu, Wulan, nanti biar Rio yang mengantarnya ke sana. Kalau Murni sudah datang kan bisa membantu mengaturnya.”

“Ya.”

“Kalau perabot, sudah lengkap. Tapi kamu lihat saja sendiri besok. Dan besok Rio akan datang agak siang, karena aku suruh melihat ke rumah baru itu, apa barang pesanan aku sudah dikirim semuanya.”


Hari itu Wulan sedah bersama Rio. Dia sudah memasak dan siap melihat rumah barunya. Tapi bukan rumah baru itu yang membuatnya bersemangat. Ia harus bicara dengan Rio. Dia seorang pengusaha muda, rela mengamen, rela menjadi sopir, apa maunya sih?
“Kok diam, bidadari cantik?” kata Rio sambil menoleh ke arah kiri, dimana Wulan masih duduk mematung.

“Rio …”

“Siap, tuan puteri,” jawabnya bercanda sambil terus mengulas senyum riangnya.

“Katakan Rio, apa maksud semua ini? Aku bingung Rio.”

“Oh .. ahaaa … bidadari cantik sedang bingung ya?”

“Jangan bercanda,” tegur Wulan kesal.

“Bukankah kamu tahu, bahwa aku senang berdekatan dengan kamu?”

“Aku sudah punya suami, kamu kan tahu itu?”

“Aku tahu.”

“Lalu …?”

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku dulu itu.”

“Pertanyaan apa?”

“Apa kamu berbahagia?”

“Itu … untuk apa menanyakannya? Bahagia atau tidak, aku sudah menjalaninya.”

“Tidak bisa begitu Wulan, aku senang kalau kamu bahagia, Aku rela melepas kamu, asalkan kamu bahagia. Tapi aku sakit kalau kamu disakiti.”

“Siapa bilang aku disakiti?”

“Jadi kamu bahagia?” tandas kata Rio.

Wulan tak menjawab.

“Aku sudah tahu jawabannya.”

“Rio …”

“Aku sudah tahu seperti apa suami kamu.”

“Apa maksudmu?”

“Bagaimana seorang lelaki kasar bisa membuat bahagia suaminya? Bersenang senang dengan perempuan lain diluaran.”

“Apa?”

“Aku melihat dia bersama perempuan di sebuah rumah makan. Maaf kalau aku berterus terang mengatakannya. Maaf kalau kamu sakit karenanya, tapi aku tak tahan untuk tidak mengatakannya,” kata Rio dengan wajah berubah serius.

Wulan terdiam. Sesungguhnya dia tidak peduli Restu melakukan apa.

“Maaf membuat kamu marah dan cemburu, pastinya.”

“Aku tidak marah, apalagi cemburu,” katanya tandas, dan itu membuat Rio menoleh ke arahnya.

“Bagaimana mungkin mendengar kelakuan buruk suaminya dan kamu tidak marah dan cemburu?”

Wulan tak bisa menjawabnya, dan itu cukup buat Rio. Ia yakin pernikahan itu tidak wajar. Tak ada cinta, tak ada perhatian.

“Itu sebabnya aku ingin selalu dekat sama kamu, menjagamu.”

“Dan melakukan hal konyol seperti itu? Menjadi pengamen, menjadi sopir …”

“Apapun akan aku lakukan.”

“Rio, kamu berlebihan.”

“Tidak. Aku melakukannya dengan seluruh kesadaran yang ada padaku, hanya untuk menjagamu, dan tidak akan merusak apapun. Aku juga tidak akan menyentuhmu, karena itu haram untuk aku melakukannya. Jadi kamu jangan menghawatirkan apapun.”

“Bagaimana dengan pekerjaan kamu?”

“Aku bukan pekerja biasa. Aku bisa mengendalikannya dimanapun,” katanya sambil melirik kearah laptop yang diletakkannya di dekat jok kemudi.

Wulan menatap Rio, yang berbicara dengan sungguh-sungguh. Ia tahu, Rio seorang yang keras dalam bersikap, tapi lembut dalam bertutur. Rio yang manis dan tampan, Rio yang pernah dicintainya dengan segenap jiwanya.

“Tapi semuanya telah berlalu,” bisiknya pelan.

“Aku tak ingin kamu disakiti. Sekali saja aku melihat dia menyakiti kamu, dia harus menjaga nyawanya baik-baik setiap bertemu aku,” katanya tandas, membuat Wulan miris.

“Rio …”

“Aku serius.”


Rio memarkir mobilnya dihalaman rumah mungil itu. Seorang penjaga membukakan pintu.

“Ayo kita lihat rumah kamu,” kata Rio sambil mendahului masuk.

Wulan melangkah dengan enggan. Ketika memasuki rumah itu, ia merasa takjub. Mertuanya sangat bersemangat menciptakan hunian baru bagi anak dan menantunya. Rumah itu sudah penuh dengan perabot. Teras, ruang tamu, ruang santai, ruang makan, dapur dan tiga buah kamar di sebelah depan, satu lagi di dekat dapur. Kamar itu sudah tertata rapi. Satu diantaranya lebih besar.

“Ini kamar kamu dan suamimu,” kata Rio.

Wulan merinding mendengarnya. Tak mungkin ia akan sekamar dengan suaminya, dan itu disyukurinya. Yang dia tidak suka adalah setiap kata yang meluncur dari mulutnya, yang selalu terdengar merendahkan dan menghinanya. Bagaimana menghindarinya? Ia seperti terkurung dalam kasih sayang kedua mertuanya yang tak mengetahui betapa menderitanya dirinya.

“Kamar yang nyaman,” gumam Rio sambil melangkah keluar, tanpa sadar Wulan mengusap air matanya.

“Aku akan menjadi sopir pribadimu. Hal yang sangat melegakan buat aku,” katanya sambil menoleh ke arah Wulan. Tapi kemudian ia terkejut melihat Wulan berlinang air mata.

“Wulan?”

Wulan mengusapnya, lalu duduk di teras, menatap sekeiiling halaman yang penuh ditumbuhi bunga-bunga cantik.

“Rumah yang apik, dengan halaman penuh bunga cantik, kamu tidak suka? Mengapa kamu menangis? Mertua kamu sangat menyayangi kamu.”

Wulan menghela napas panjang, lalu air mata itu benar-benar terurai. Ia benar-benar bisa menumpahkan semua kesedihannya tanpa adanya kedua mertuanya di dekatnya.

“Kamu marah sama aku?” tanya Rio yang kemudian duduk di depannya.

Wulan menggeleng.

“Kalau begitu biarkan aku menjagamu dengan caraku. Kalau kamu masih saja disakiti, maka aku akan merebutmu dari tangannya,” kata Rio tandas.

Wulan menatapnya dengan mata yang membulat. Ia tahu, Rio selalu serius dalam berkata-kata.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 09

SELAMAT PAGI BIDADARI (07)

Karya Tien Kumalasari

Melihat Wulan tampak terkejut, pak Broto tertawa.

“Wulan, kamu heran ada orang di depan?”

“Iyy … iyya .. Pak,” katanya gugup.

“Itu sopir untuk kita. Kita pernah bertemu ketika makan malam bersama itu, lalu dia mengamen, kamu ingat kan? Namanya Rio. Rio siapa kepanjangannya, aku lupa. Panggil saja Rio.”

“Iy … iya … Pak.”

“Ya sudah, sudah siap makan siang untuk kita?”

“Ssud … sudah Pak, sila … silakan ….”

“Ayo kita makan. Sarni juga sudah aku suruh memberi makan dia tadi,” kata bu Broto sambil berdiri, diikuti suaminya. Wulan sekali lagi menoleh ke arah teras, tapi Rio sudah tak tampak, karena tertutup pintu.

“Ya Tuhan, Rio, apa yang kamu lakukan? Benar-benar konyol deh,” keluh Wulan di dalam hati.

Ia melangkah perlahan ke arah ruang makan, lalu duduk di hadapan kedua mertuanya. Susah payah Wulan menata batinnya yang berasa tak menentu. Ia heran dengan apa yang dilakukan Rio. Konyol dan tak terduga. Ya Tuhan, keluhnya dalam hati berkali-kali.

“Wulan, kok diam? Sini ibu ambilkan nasinya,” tegur bu Broto ketika melihat Wulan diam saja.

“Oh, tidak Bu, biar saya mengambilnya sendiri,” kata Wulan dengan gugup.

Lalu mereka makan tanpa banyak berkata-kata.

“Aku sudah dapatkan rumah itu,” tiba-tiba kata pak Broto.

Bu Broto mengangkat wajahnya, demikian juga Wulan.

“Rumah itu tidak begitu besar, kan hanya Restu dan Wulan yang akan menempatinya. Besok kalau anaknya sudah banyak, gampang beli rumah yang agak besar,” kata pak Broto sambil mengelap mulutnya dengan tissue.

Wulan bergidik. Kalau anaknya sudah banyak? Rasa miris terasa mengiris. Tapi tak ada yang diucapkannya.

“Wulan ini sebenarnya berat meninggalkan kita lho Pak,” kata bu Broto.

Pak Broto tersenyum.

“Benar begitu, Wulan?”

“Iya Pak, kalau boleh, Wulan tinggal disini saja.”

Sekarang pak Broto tertawa.

“Kamu itu bagaimana Wulan? Aku setuju membeli rumah baru bagi kalian, karena supaya kalian segera punya momongan. Lha kalau kamu di sini, suamimu di sana, bagaimana bisa dapat momongan?”

Bu Broto ikut tertawa.

“Apa rumah itu jauh dari rumah kita ini Pak?” tanya bu Broto.

“Agak jauh sih, tapi aku akan membeli mobil untuk Wulan, supaya setiap dia ingin, bisa datang kemari.”

“Tidak usah Pak, Wulan tidak bisa menyetir mobil,” kata Wulan. Tidak enak rasanya mertuanya membelikan mobil untuk dia. Nanti Restu akan semakin mengejeknya.

“Bapak sudah memesannya, mungkin besok sudah siap dan akan dikirim kemari.

Wulan terkejut.

“Apakah itu perlu pak? Sungguh Wulan tidak bisa menyetir.”

“Bukankah ada Rio?”

Wulan berdebar.

“Rio akan menjadi sopir pribadi kamu.”

Jantung Wulan berdegup kencang. Ayah mertuanya akan membelikannya mobil, dan mengatakan bahwa Rio akan menjadi sopir pribadinya?

“Bapak sudah punya sopir. Setiap saat kan sopir kantor menjemput dan mengantarkan bapak. Jadi biarlah Rio menjadi sopir pribadi kamu.”

Wulan meletakkan sendok garpunya dipiring dengan tangan gemetar.

Mengapa nasib membawakan Rio kembali dalam kehidupannya? Ya Tuhan, bagaimana kalau cinta itu tumbuh kembali?

“Kamu tidak suka, Wulan?”

“Apa?”

“Rio itu baik, santun. Percayalah, bapak baru pertama ketemu secara dekat, tapi yakin kalau dia itu baik.”

Wulan mencoba tersenyum, tak ingin bersuara soalnya kalau dia mengeluarkan suara, pasti suaranya akan terdengar gemetar.

“Nanti kita akan melihat rumah itu Bu, kalau kamu suka, dan Wulan juga suka, aku akan segera mengurus dan membayarnya,” kata pak Broto sambil berdiri.


Pak Broto melangkah ke depan, dilihatnya Rio masih duduk di teras.

“Sudah selesai makan?” tanyanya.

Rio berdiri sambil mengangkat piring dan mangkuk kotor, lalu beranjak ke dalam.

“Taruh di situ saja, biar Sarni mengambilnya.”

“Tapi …”

“Sarniiii …” pak Broto berteriak, dan tak lama kemudian Sarni muncul.

“Itu, Rio sudah selesai, bawa ke belakang,” kata pak Broto sambil menunjuk ke arah meja.

“Baik Pak,” kata yu Sarni sambil membawa piring dan mangkuk kosong ke belakang.

Pak Broto duduk di depan Rio.

“Rio, sebentar lagi kamu mengantar kami ya.”

“Kemana Pak?”

“Mau melihat rumah baru untuk anakku Restu, dan Wulan isterinya.”

“Oh, baiklah Pak.”

“Tunggu sebentar, Wulan dan ibunya sedang bersiap-siap,” kata pak Broto sambil masuk kembali ke rumah.

Dan tak lama kemudian pak Broto dan isterinya keluar, diiringi Wulan di belakangnya. Rio melangkah ke arah mobil, lalu membukakan pintu untuk majikannya, di sebelah belakang. Kemudian Rio membuka pintu depan di samping kemudi.

“Kamu di depan ya Wulan,” kata pak Broto.

Wulan tak menjawab, lalu masuk dan duduk di depan, di samping sopir.

Rio menahan senyumnya, ketika sekilas melirik gadis di sebelahnya. Wulan tak sekalipun memandangnya. Ia benar-benar gemas menyaksikan polah Rio yang begitu konyol.


Siang itu sebelum mengajak keluarganya melihat rumah yang akan dibeli, pak Broto lebih dulu mampir ke kantor, karena ada yang harus dibawanya. Saat turun dari mobil, dilihatnya Restu juga baru datang setelah makan siang. Restu terkejut melihat seseorang yang duduk di belakang kemudi mobil ayahnya.

“Siapa dia Pak?”

“Sopir baru. Kami akan melihat rumah yang akan kita beli untuk kamu.”

Restu menatap tak senang.

“Untuk apa sopir baru? Bukankah sudah ada sopir kantor yang bisa mengantar Bapak kemanapun?”

“Tidak apa-apa. Bapak suka dia. Lagi pula akan ada mobil baru untuk Wulan, dia akan menjadi sopir pribadinya,

“Apa?: Mobil baru?” Restu ingin perotes, ada sopir baru, ada mobil baru, dan itu untuk Wulan. Tapi pak Broto segera mengibaskan tangannya.

“Sudah, jangan protes. Sekarang tolong ambilkan map bapak di meja, tadi bapak lupa membawanya.”

Restu beranjak ke arah kantor, untuk mengambil map seperti dikehendaki ayahnya. Wajahnya muram, apalagi mendengar ayahnya akan membeli mobil untuk Wulan. Tapi ia tak berani menentang keinginan ayahnya.


Pak Broto memberi aba -aba agar berhenti, ketika sampai di depan sebuah rumah.

“Langsung saja masuk ke dalam, Rio,” titahnya.

Rio memasukkan mobilnya ke dalam.

Mereka turun, dan seorang penunggu rumah menyambut mereka setelah membukakan pintu.

“Silakan Pak, sudah saya buka pintunya,” kata sang penunggu rumah itu, karena sudah tahu bahwa pak Broto calon pembeli rumah itu.

Rumah itu bagus. Memang tidak begitu besar, Mereka masuk ke dalam rumah. Wulan yang berjalan di belakang, melihat ke arah Rio yang sudah turun dari mobil. Rio tersenyum ke arahnya, tapi Wulan memelototinya. Rio memalingkan wajahnya, karena dia tak bisa menahan tawanya melihat Wulan yang tampak gusar.

“Wulan, ayo sini …” panggil ibu mertuanya.

Wulan terkejut, lalu melangkah masuk. Ada tiga buah kamar yang salah satunya lebih besar dari yang lain.

“Ini kamar kamu dan Restu, nantinya Wulan,” kata pak Broto.

Wulan kembali merasa miris.

“Ini satu kamar lagi di dekat dapur, untuk kamar pembantu. Oh ya Bu, bagaimana kalau Murni anaknya Sarni disuruh menemani Wulan di sini?”

“Iya Pak, ibu juga berpikir begitu. Murni kan bisa membantu bersih-bersih dan masak. Dia pintar seperti ibunya. Biar nanti ibu bilang sama Sarni.”

Wulan sedikit lega. Ia sudah mengenal Murni, dan tahu bahwa anak itu baik.

“Bagaimana Wulan, kamu suka rumah ini?”

Wulan menatap ayah mertuanya. Mana bisa dia bilang tak suka, mereka sudah berusah payah melakukannya, dan bermaksud membahagiakannya. Bahwa akhirnya Wulan tidak merasa bahagia, mana mereka tahu.

“Terserah Bapak saja,” kata Wulan pelan.

“Aku juga suka, rumah ini cukup bagus,” kata bu Broto.

“Baiklah, aku akan segera mengurusnya. Nanti kita tinggal beli perabot yang diperlukan,” kata pak Broto dengan wajah sumringah.

“Semoga di rumah ini akan terlahir cucu-cucu kita ya Pak,” kata bu Broto penuh harapan.

Tapi kembali Wulan merinding mendengarnya.


Hari terus berjalan, tapi Wulan belum pernah sempat berinteraksi dengan Rio. Ia lebih sering mengantarkan ayah mertuanya, saat ayah mertuanya tersebut tidak ke kantor. Memang pak Broto jarang sekali ke kantor, dan menyerahkan semuanya pada Restu, yang dianggapnya sudah bisa memimpin usaha yang dirintisnya

Wulan juga belum sempat menikmati mobil barunya, karena Rio masih sibuk mengantarkan ayah mertuanya.

Siang itu saat sedang berada di dapur, yu Sarni melihat Wulan lebih sering termenung daripada mengolah masakannya, sehingga yu Sarni yang kemudian menyelesaikan masakannya.

“Bu Wulan, sayurnya sudah matang. Coba Ibu incipin dulu,” kata yu Sarni sambil mendekati Wulan yang masih berpangku tangan di meja dapur.

“Oh, iya Yu, maaf, aku sedang merasa lelah,” katanya sambil bangkit, kemudian berdiri mendekati sayur yang masih bertengger di atas kompor, menyendoknya sedikit, lalu mencicipinya setelah agak dingin.

“Enak Yu, sudah enak kok.”

“Syukurlah, soalnya saya takut kalau bu Wulan tidak berkenan, habisnya Bu Wulan terlihat seperti sangat lelah.”

“Iya Yu, kenapa ya aku agak malas. Tapi enak kok, mengapa aku tidak berkenan? Bukankah yu Sarni yang mengajari aku memasak? Jadi sudah pasti yu Sarni lebih piawai dalam memasak daripada aku dong,” kata Wulan sambil mematikan kompornya, lalu kembali duduk di meja dapur.

“Bu Wulan sakit?”

“Tidak yu, hanya agak malas.”

“Jangan-jangan Bu Wulan ngidam,” kata yu Sarni sekenanya, tapi membuat Wulan merasa seperti tersengat listrik.

“Aa ..aap..pa? Ngidam?”

Lalu Wulan tertawa. Ngidam dari mana? Bersentuhan saja tidak pernah.

“Seorang isteri itu bisa saja merasa lelah saat sedang hamil muda.”

“Tidak Yu, mana mungkin?”

“Kok tidak mungkin sih Bu?” tanya yu Sarni heran.

“Bagaimana bisa hamil, bersentuhan saja tidak,” kata Wulan yang tiba-tiba disadarinya bahwa dia telah kelepasan bicara. Wulan yang sangat santun tidak pernah menceritakan sikap suaminya yang semena-mena terhadapnya. Ia selalu diam dan memendam rasa sakit itu untuk dirinya sendiri.

Tapi yu Sarni ternganga mendengar ucapannya itu.

“Apa maksud bu Wulan? Tidak pernah bersentuhan?” kata-kata itu lirih, tapi menyadarkan Wulan atas kesalahan ucapannya.

“Maaf Yu, tidak apa-apa. Ya sudah, kalau sudah selesai masaknya, aku mau mandi dulu. Nanti tolong sekalian ditata di meja makan ya,” kata Wulan smbil berdiri kemudian beranjak pergi ke kamarnya. Meninggalkan yu Sarni yang terbengong-bengong.

“Masa sih? Apa itu benar? Ya mungkin saja bu Wulan enggan disentuh suaminya, punya suami kasar begitu. Untunglah bu Wulan sabar, coba kalau aku diperlakukan seperti itu, ya sudah kabur dari kemarin-kemarin, cari suami lagi yang baik, yang ………”

“Mana Wulan?”

Yu Sarni terkejut, ketika tiba-tiba bu Broto muncul di dapur, sementara dia sedang mengomel.

“Itu … bu Wulan sudah di kamarnya, masaknya hampir selesai. Tinggal menggoreng kerupuk Bu.”

“Kamu tadi ngomong sama siapa … kok cari suami … cari suami … siapa yang mau cari suami?”

“Oh, itu bu … saya sedang memikirkan Murni. Sekolahnya sudah selesai, lalu saya suruh cari suami, tapi dia belum mau,” jawab yu Sarni sekenanya.

Bu Broto tersenyum.

Murni kan masih kecil Yu, ya lumrah kalau belum mau. Aku malah punya pikiran begini, kalau misalnya Murni kamu suruh datang kemari bagaimana? Nanti kalau Wulan sudah pindah rumah, dia pasti kesepian. Itu sebabnya aku bermaksud menyuruh anakmu datang kemari. Biar dia menemani Wulan. Katanya dia sedang mencari pekerjaan?”

“O, iya Bu, nggak apa-apa, Murni pasti suka. Besok biar saya kabari dia.”

“Tidak usah harus besok. Ini bapak sedang membenahi rumah baru dan melengkapi perabot rumah. Nanti kalau sudah siap Restu sama Wulan bisa segera pindah ke rumah baru.”

“Baiklah Bu, setidaknya akan saya kabari dulu.”

“Aku senang Yu, semoga kalau sudah punya rumah sendiri, aku bisa segera dapat cucu,” kata bu Broto dengan wajah bersinar.

Yu Sarni tertegun. Ia ingat apa yang dikatakan Wulan tadi. Tapi tak berani mengucapkan apapun.


Sementara itu, di sebuah rumah makan, Restu sedang makan siang bersama kekasihnya. Dengan wajah berseri dia mengatakan bahwa rumah barunya hampir siap. Lisa menanggapinya dengan wajah berseri.

“Benarkah Restu? Berarti kita akan bebas bertemu kapan saja?”

“Bahkan kamu boleh tidur di rumah aku kapan saja kamu inginkan.”

“Waah Restu, kamu membuat aku bahagia sekali. Walau tidak menjadi istri kamu, tapi aku tetap bisa menikmati semua pemberian kamu, dan selalu bersenang-senang bersamamu setiap saat.”

“Iya Lisa, hanya sayangnya aku tidak bisa menikahimu, sehingga yang sebenarnya aku ingin segera punya anak, jadi tertunda.”

“Tidak usah memikirkan punya anak dulu, kita akan bersenang-senang sepuasnya tanpa memikirkan anak.”

“Iya sih, tapi keinginan itu ada. Hanya saja aku belum berani, takutnya kalau tiba-tiba kamu hamil, lalu ayahku marah, bisa runtuh duniaku.”

“Nggak apa-apa, aku tidak suka merawat anak.”

“Kamu tidak suka?” tanya Restu sedikit kecewa.

“Mm … maksudku, saat sekarang ini.”

Sepasang manusia mesum itu sudah selesai makan, lalu beranjak keluar dari rumah makan itu. Tanpa mereka sadari, saat keluar itu mobil pak Broto melintas, dan pak Broto melihatnya.

“Itu kan Restu?” teriaknya.

Dan Rio pun menoleh ke arah yang ditunjuk pak Broto.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 08

SELAMAT PAGI BIDADARI (06)

Karya Tien Kumalasari

Rio menatap seorang wanita cantik yang duduk sambil menghadapi laptop.

“Selamat pagi,” sapanya pelan.

Wanita itu mengangkat wajahnya, dan menatap laki-laki tinggi besar berwajah ganteng tapi berpakaian sederhana itu lekat-lekat. Sejenak ia terpesona, sehingga untuk sesaat tak bisa mengucapkan apapun.

“Selamat pagi,” Rio mengucapkannya lagi.

“Oh, eh … pagi … Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin bertemu pak Broto.”

“Sudah ada janji?”

“Mm … sudah,” jawab Rio sekenanya. Janji yang pasti sih tidak ada, tapi bukankah pak Broto sendiri mengatakan bahwa apabila ia menerima tawarannya bekerja maka ia bisa menemuinya? Ia melihat gadis cantik yang tampaknya sekretaris pak Broto itu memencet intercom den berbicara dengan atasannya.

“Ada yang ingin bertemu Bapak,” katanya melalui intercom.

“Siapa?”

“Maaf Mas, anda siapa ya?”

“Saya Rio.”

“Bapak, namanya Rio, katanya sudah ada janji sama Bapak.”

“Suruh dia masuk,” titah sang pimpinan.

“Silakan masuk Mas, pak Broto sudah menunggu.”

Rio mengangguk, mengetuk pintu perlahan, lalu membukanya setelah dipersilakan.

“Selamat pagi Pak,” Rio membungkuk hormat.

“Kamu? Yang dulu mengamen di sebuah warung?”

“Ya.”

“Ternyata kamu ganteng sekali. Dengan pakaian sederhana saja kamu tampak ganteng,” puji pak Broto sambil terus menatap Rio.

Rio mengangguk tersipu.

“Duduklah.”

Rio duduk setelah menarik kursi di hadapan pak Broto.

“Akhirnya kamu datang kemari. Kamu menerima tawaran aku?”

“Ya Pak.”

Rio menyerahkan map berisi lamaran. Pak Broto hanya membacanya sekilas.

“Kamu lulus SMA sudah enam tahun lebih ya.”

“Ya pak,” jawab Rio.

“KTP kamu tertulis ‘mahasiswa’ … kamu masih kuliah?”

Rio terkejut. Foto copy KTP nya sudah kadaluwarsa, tadi dia mengambilnya sekenanya. Dan beruntung pak Broto tak begitu memperhatikan tahun berlakunya.

“Itu … pernah … tapi … tidak punya biaya,” satu lagi sebuah kalimat bohong.

“Kamu punya SIM ?”

“Punya pak,” tapi tiba-tiba Rio merasa khawatir, kalau pak Broto ingin melihat SIM nya, pasti akan ketahuan identitas dia yang sebenarnya.

“Tapi … saya tidak membawanya … karena …”

“Ya sudah, yang penting kamu punya kan?”

“Ya Pak,” Rio mengangguk dengan napas lega.

“Lamaran ini terlalu formal. Kamu tidak saya pekerjakan sebagai sopir perusahaan, tapi sopir pribadi.”

Rio bersorak. Ini sesuai harapannya. Ia bisa bertemu Wulan setiap hari.

“Setelah bekerja, kamu tidak perlu mengamen untuk memenuhi kebutuhan ibu kamu,” kata pak Broto sambil tersenyum.

“Ya Pak .”

“Tapi sesekali aku mau mendengarkan kamu menyanyi.”

Rio tertawa lebar.

“Kamu boleh mulai bekerja hari ini juga, tapi aku ingin melihat cara kamu menyetir mobil. Jadi tunggu sebentar, setelah selesai memeriksa dokumen ini, aku mau pulang. Kamu antarkan aku ya, aku tidak perlu menyuruh sopir perusahaan.”

“Baik.”

“Aku akan melihat cara kerja kamu, kalau aku suka, kamu boleh terus bekerja, kalau tidak … aku minta maaf. Aku tidak suka sopir yang suka ngebut, dan tidak berhati-hati, karena dia membawa nyawa manusia.”

“Baik.”

“Tunggulah sebentar. Aku selesaikan pekerjaan aku dulu, setelah itu antarkan aku pulang. Oh ya, apa kamu membawa kendaraan?”

“Ti … tidak, saya naik … ojol.”

“Bagus, jadi kamu nanti tidak perlu kembali kemari untuk mengambil kendaraan. Oh ya, di kulkas ada minuman dingin, ambil saja kalau barangkali kamu haus.”

“Terima kasih Pak,” jawab Rio, tapi dia bergeming di kursinya.

Ia duduk menunggu, lalu tangannya merogoh ponselnya. Kemudian ia menuliskan pesan kepada seseorang.

“Met, suruh sopir mengambil mobilku, taruh di kantor saja. Aku akan mengirimkan alamatnya.”

Demikin bunyi pesan singkat itu, kemudian dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku bajunya.

Ia memandangi ruangan kantor pak Broto, yang tertata rapi dengar perabotan mewah dan modern. Ia hanya sendirian di ruangan itu, sedangkan sekretarinya ada di luar, di sebuah ruangan sendiri. Ditatapnya wajah pak Broto, laki-laki setengah tua yang masih tampak gagah, dengan wajah ramah dan senyuman yang selalu tersungging di bibirnya. Sekilas Rio bisa membaca, bahwa pak Broto adalah seorang yang baik. Sangat berbeda dengan anak laki-lakinya yang kasar dan tidak bisa menghargai orang lain. Ia bisa membayangkan, seperti apa kehidupan Wulan sebagai istri laki-laki tampan tapi kasar tu. Mengapa Wulan tak mau menjawab ketika dia menanyakan ‘apakah kamu bahagia’. Dia yakin Wulan menyembunyikan sesuatu. Wulan, gadis yang masih sangat dicintainya. Ia tak ingin gadis itu menderita.

“Aku ikhlas melepasmu kalau kamu menemukan kebahagiaan Wulan, tapi aku tidak rela kalau ternyata kamu disakiti,” bisik batinnya.

Rio harus menunggu kira-kira setengah jam lamanya, sebelum kemudian pak Broto menutup berkas yang tadi diperiksanya.

Ia memencet intercom, lalu sekretaris cantik itu masuk.

“Periksa kembali surat untuk PT Cipta Daya,” katanya sambil berdiri, lalu menatap Rio.

“Ayo kita pulang.”

Rio mengangguk, lalu berdiri, dan mengikuti pak Broto keluar dari ruangan.


“Cara kamu menyetir mobil sangat bagus. Kamu punya mobil?” tanya pak Broto yang duduk di samping kemudi.
Rio menoleh ke arah pak Broto, lalu pak Broto menyadari kesalahan ucapannya. Masa sih seorang pengamen memiliki mobil?

“Mm … maksudku … kamu pernah menjadi sopir sebelumnya?”

“Yy … ya, pernah.”

“Mengapa berhenti dan memilih mengamen?”

“Perusahaan tempat saya bekerja sudah tutup,” jawab Rio sekenanya.

“Oh … perusahaan apa itu?”

“Itu … hanya sebuah toko bahan bangunan,” lagi-lagi itu jawaban sekenanya. Rio berharap pak Broto menghentikan pertanyaannya, agar deretan dosanya tak terlalu panjang.

“O, padahal pembangunan sedang ramai di mana-mana.”

Rio tak menjawab.

“Mengapa kamu belum menikah?”

“Aduuh, kan gadis yang aku cintai diambil olehnya,” gumam Rio dalam hati.

“Tak mungkin tak ada yang suka sama kamu. Kamu kan ganteng? Atau … kamu terlalu memilih?”

Rio tersenyum.

“Kalau kamu ingin menikah, menikahlah. Jangan menunggu kaya, karena rejeki itu sudah diatur dari Sana,” lanjut pak Broto sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah atas.

Rio hanya tersenyum, dan mengangguk.

Beberapa saat lamanya Rio terdiam.

“Nanti aku bantu mencarikan kamu isteri yang cantik.”

“Rio tersenyum lebar.

“Pembantu di rumah aku, namanya yu Sarni.”

Lalu Rio menatap pak Broto heran. Dia akan dijodohkan dengan pembantu itu? Rio kan sudah melihatnya dua kali. Dia tidak lagi muda, umurnya kira-kira 50 tahun an. Yang benar saja, masa sih pak Broto akan menjodohkannya dengan yu Sarni?

“Dia punya anak perempuan yang belum menikah,” lanjut pak Broto.

Rio menghempaskan napasnya. Ternyata anaknya yu Sarni.

“Dia masih ada di kampung, sudah lulus SMA. Cantik kok, Dia juga rajin, pernah membantu di rumah saat ibunya sakit. Dia juga sangat santun, tidak genit seperti gadis-gadis sekarang.” pak Broto seperti sedang menawarkan dagangan. Seperti apa sih, anaknya yu Sarni?

Rio hanya tersenyum, tak menjawab apapun.

“Jangan senyum-senyum begitu, kamu belum melihat orangnya kok. Kalau kamu sudah melihatnya, kamu pasti klepek-klepek,” pak Broto berbicara begitu lancar, seperti air sungai mengalir. Rio heran, bagaimana orang yang belum pernah kenal sebelumnya bisa bicara se akrab itu dengan dirinya. Tapi Rio tersenyum lebar ketika mendengar istilah ‘klepek-klepek’ yang diucapkan oleh majikan barunya.


“Bu … suruh Sarni membuatkan minum untuk sopir baru kita,” kata pak Broto begitu sampai di rumah.

“Sopir baru?” tanya bu Broto heran.

“Iya. Ibu ingat waktu kita makan di luar lalu ada pengamen menyanyi, yang aku suka, suaranya bagus, lagunya juga bukan lagu sembarangan?”

“O, itu. Yang Bapak tawarin pekerjaan? Jadi dia benar-benar datang menemui Bapak?”

“Iya. Ia menyetir sangat bagus.”

“Tapi Bapak harus hati-hati. Jaman sekarang tidak boleh mempercayai orang begitu saja.”

“Iya, aku tahu. Ada lamarannya, ada KTP nya, alamat dia di kampung. Semuanya jelas. Dia juga sangat santun. Coba ibu lihat. Semoga saja aku tidak salah.”

“Yu Sarni,” bu Broto berteriak memanggil pembantunya.

Yu Sarni sedang menata meja untuk makan siang, bersama Wulan. Ia segera mendekat begitu bu Broto memanggilnya.

“Ya Bu.”

“Di depan ada sopir bapak yang baru, buatkan dia minum. Dan kalau sudah ada, siapkan juga makan buat dia. Taruh saja di teras,” kata bu Broto.

“Oh, ada sopir baru? Baiklah Bu,” kata yu Sarni yang segera beranjak ke belakang untuk memenuhi perintah majikannya.

“Ada tamu Yu?” tanya Wulan yang sedang meletakkan makanan ke atas meja.

“Bukan tamu. Bapak punya sopir baru. Ini saya di suruh membuatkan minuman dan memberi makan.

“Sopir baru?” tanya Wulan heran.

“Ya. Dia ada di depan,” yu Sarni sibuk membuatkan minum, lalu menyiapkan makan untuk sang sopir baru. Sepiring nasi, sepiring lauk, dan semangkuk sayur.

“Ini sudah lengkap ya Bu?”

“Beri ayam gorengnya Yu, kan sudah matang juga.”

“O, iya. Baiklah.”

Lalu yu Sarni membawa senampan minuman dan makanan ke depan.

Wulan sudah selesai menata meja, lalu dia mencuci tangannya, siap mengundang kedua mertuanya untuk makan.

“Ya ampun Bu, sopir baru itu ganteng bangeeet,” seru yu Sarni sambil meletakkan nampan di meja dapur.

“Kamu itu lho yu, aku sampai terkejut.

Yu Sarni tentu saja tidak sadar bahwa sesungguhnya sudah pernah dua kali bertemu ‘sang sopir’, saat dia mengamen di rumah itu. Soalnya waktu mengamen dia memakai topi lebar, sehingga wajahnya tidak begitu jelas. Ia pernah sekilas menatapnya, dan mengatakan bahwa si pengamen itu ganteng, tapi nggak begitu jelas juga sih. Kan hanya sekilas.

“Bener lho Bu, ganteng sekali. Siapa tahu, dia mau menjadi menantu yu Sarni,” kata yu Sarni terkekeh.

“Iya Yu, semoga saja. Anak yu Sarni sudah lulus SMA kok ya.”

“Sudah setahun lalu Bu, kan pernah juga membantu di sini.”

“Iya, aku tahu, si Murni kan?”

“Iya.”

Wulan melangkah ke depan, untuk memberi tahu kedua mertuanya bahwa makan siang sudah siap, ketika ia melihat sebuah bayangan naik ke atas teras.

“Dia?”

Wulan berusaha menutup mulutnya rapat-rapat, agar keterkejutannya tidak sampai menimbulkan suara.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 07

SELAMAT PAGI BIDADARI (05)

Karya Tien Kumalasari

Wulan mengangkat kepalanya, menatap seorang pengamen bertubuh tinggi dengan topi lebar, membawa gitar dan mengalunkan lagu yang dikenalnya. Jantung Wulan berdegup kencang.

“Bagaimana dia bisa berada di mana-mana?” kata batinnya.

Pak Broto tampak menikmati alunan lagu itu, tapi Restu mendadak sangat marah.

“He, pengamen. Pergi sana, mengganggu saja.” Hardiknya kasar.

Tapi pak Broto menahannya.

“Jangan, biarkan dia menyanyi sampai selesai, katanya sambil mengacungkan jempol ke arah ‘pengamen’ itu.

Lagu itu terus mengalun sampai selesai.

“Maukah menyanyi satu buah lagu lagi?”

Pengamen itu mengangguk, lalu mengalunlah sebuah lagi lagi.

“Love is a beautiful song … la la… lalala .. lala…”

Pak Broto mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, mengikuti irama lagu tersebut, lalu bertepuk tangan begitu lagu itu selesai. Kemudian diulungkannya selembar uang ratusan ke arah pengamen itu.

’Pengamen’ yang seakan tak percaya atas pemberian sebanyak itu, berusaha merogoh kantongnya, bermaksud memberikan pengembalian.

“Eh, apa maksudmu? Itu untuk kamu semuanya.”

“Oh, terima kasih,” katanya lirih.

“Tunggu, apa kamu seorang mahasiswa?” tanya pak Broto.

‘Pengamen’ itu menggelengkan kepalanya.

“Tapi kamu melafalkan bahasa Inggris di lagu itu dengan sangat bagus.

‘Pengamen itu mengangguk dalam-dalam.

“Namamu siapa?”

“Rio.”

“Mengapa kamu mengamen?”

“Mencari uang,” jawabnya pelan, selalu pelan.

“Kamu punya keluarga?”

Lagi-lagi ia mengangguk. Wulan mengangkat wajahnya. Jadi Rio punya keluarga? Anak, isteri? Ada rasa tak nyaman mendengarnya. Entah rasa apa itu. Cemburu? Katanya sudah melupakannya? Tidak, masih berusaha melupakannya, dan tampaknya belum sepenuhnya berhasil.

“Anak kamu berapa?”

Kali ini pengamen itu menggeleng.

“Kamu sudah punya istri kan?”

Ia menggeleng lagi, dan Wulan menghela napas lega.

“Keluarga kamu itu siapa saja?”

“Ibu saya.”

“Oh, jadi kamu belum punya keluarga sendiri? Maksudnya istri, anak …”

“Belum laku,” jawabnya setengah bercanda. Lalu ia berusaha membalikkan tubuhnya.

“Hei, tunggu, kamu bisa menyetir mobil?”

“Bisa,” jawabnya sambil mengangguk.

“Mau bekerja untuk aku? Sebagai sopir?”

Restu membuang muka.

“Bapak ada-ada saja.”

“Maukah?” tanya pak Broto lagi, tanpa peduli pada protes anaknya.

‘Pengamen’ itu tampak ragu, ia menatap pak Broto, dan tampak sedang memikirkan sesuatu.

“Kamu boleh memikirkannya, ini kartu nama aku. Datanglah ke kantor atau ke rumah. Aku ada di kantor minggu ini. Memang tidak setiap hari, hanya mengontrol saja,” kata pak Broto sambil mengulurkan sebuah kartu nama.

“Terima kasih,” katanya sambil membungkuk, kemudian berlalu.

Pak Broto menikmati pesanan makanannya sambil tersenyum.

“Mengapa Bapak tertarik sama dia?” protes Restu.

“Bocah itu sebenarnya pintar. Mungkin karena sekolahnya tidak tinggi, sehingga hanya bisa bekerja sebagai pengamen.”

“Darimana Bapak tahu bahwa dia pintar?” Restu masih tidak terima.

“Kelihatan dari wajahnya. Tampak bersih, matanya tajam, dan ada kesungguhan di sana. Pasti dia terpaksa melakukannya. Karena butuh uang. Bukankah dia bilang ada keluarganya yaitu seorang ibu? Dia harus merawat ibunya, yang pastinya sudah tua dan anak itu yang harus menghidupinya.”

“Manusia bisa saja berpura-pura.”

“Kita lihat saja nanti, apa tebakanku benar, atau salah. Kalau memang pekerjaannya tidak memuaskan, dan tidak bisa dipercaya, apa susahnya memecatnya?” kata pak Broto enteng.

Wulan hanya mendengarkan. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Jantungnya berdebar tak menentu. Bagaimana ia harus bersikap seandainya benar dia menerima tawaran ayah mertuanya?.

“Kamu jangan juga menilai buruk seseorang, Restu. Belum tentu dia seburuk yang kamu bayangkan,” kata bu Broto sambil menatap Restu. Ia kurang suka melihat sikapnya yang seakan tak suka pada ‘pengamen’ itu. Ia bahkan berkata kasar pada awalnya.

“Kita harus berhati-hati. Jaman sekarang banyak orang jahat berperilaku seakan dia orang baik,” kata Restu sambil mengunyah makanannya. Ia berkata seakan dirinya benar-benar seorang baik. Lupa pada perilakunya sendiri, yang suka berbohong dan tanpa belas tega mengkhianati pernikahan yang sudah dijalaninya hampir setahun.

“Ah, kamu. Belum-belum sudah berprasangka buruk,” sergah pak Broto.

Lalu mereka diam, sambil menghabiskan makanannya.

“Restu, kamu itu jangan terlalu sering bepergian. Kalau ingin keluar juga, ajak dong isteri kamu,” kata ibunya.

“Dia tidak pernah mau.”

“Benarkah Wulan?”

Wulan hanya tersenyum. Tapi kemudian dia menjawabnya juga.

“Wulan lebih suka di rumah.”

“Restu, seperti bapak sama ibu pernah mengatakan, kami ingin segera punya cucu.”

Restu menelan ludah dengan gugup. Tapi tiba-tiba dia menemukan sebuah jalan untuk memenuhi keinginan Lisa. Ia harus punya rumah sendiri supaya ayah ibunya tidak selalu mengawasinya setiap dia pergi keluar.

“Bagaimana kalau Restu punya rumah sendiri?” kata Restu sambil menatap ayahnya.

Pak Broto meletakkan sendok garpunya, ia sudah selesai makan.

“Rumah sendiri? Bukankan di rumah itu kamu juga memiliki kamar sendiri, ruang sendiri untuk bersantai. Di lantai atas itu seperti sebuah rumah yang terpisah.”

“Kalau bisa punya rumah sendiri, barangkali lebih nyaman.”

Wulan yang sedari tadi hanya mendengarkan, mengeluh dalam hati. Kalau dia hanya berdua saja dengan suaminya, ia akan lebih tersiksa. Suaminya akan menginjak-injaknya seperti sampah tak berguna. Tapi mulutnya kelu, tak ingin mengucapkan apapun. Mana dia berani?

“Barangkali Restu benar Pak, dengan memiliki rumah sendiri, Restu pasti akan lebih perhatian sama isteri. Siapa tahu dengan demikian kita segera punya cucu,” kata ibunya.

Wulan semakin merasa miris. Restu akan lebih memperhatikan? Hal yang tak mungkin bisa terjadi. Dan jawaban ayah mertuanya membuat dirinya semakin terhempas dalam kubangan derita.

“Baiklah, kalau memang itu pilihan kamu,” kata pak Broto sambil menghirup es beras kencur di gelasnya.

Wulan ingin menjerit, tapi tak ada yang bisa dilakukannya. Barangkali iming-iming segera punya cucu itu yang menggerakkan hati pak Broto untuk mengijinkan Restu memiliki rumah sendiri.

“Urus saja semuanya. Nggak usah rumah yang besar. Susah mengurus rumah besar, kecuali kamu punya beberapa pembantu,” pesan pak Broto.

Restu menghabiskan makannya dengan lahap. Hatinya sungguh merasa senang. Ia akan lebih bebas setiap kali ingin bertemu dengan Lisa, kekasihnya yang selalu membuatnya terlena.


Dengan wajah berbinar, siang hari pada keesokan harinya, Restu melapor kepada kekasihnya, bahwa keinginan memiliki rumah baru akan segera terwujud.

“Benarkah? Kapan?” kata Lisa setengah bersorak.

“Secepatnya. Aku sudah berpesan kepada orangku untuk mencarikan rumah itu. Yang kecil saja, asalkan bagus dan ada satu dua kamar kosong. Siapa tahu aku juga ingin membawa kamu ke rumah.”

“Haa … benarkah?” kali ini Lisa benar-benar bersorak.

“Kamu harus bersabar menunggu waktu itu. Memang benar sih, saat aku di rumah, setiap kali pergi keluar, ayah atau ibuku selalu banyak pertanyaan.”

“Makanya, kalau kamu sudah punya rumah sendiri kan lebih enak. Istri kamu kan pendiam, mana mungkin berani protes?”

“Tidak, dia tak mungkin berani menentang aku.”

“Sungguh menyenangkan. Tapi Restu, uangku sudah menipis. Maukah kamu memberinya lagi?”

“Tentu sayang. Kamu kekasihku, jangan sampai kamu kekurangan. Apa yang kamu inginkan pasti akan aku penuhi.”

“Itulah yang membuat aku semakin mencintai kamu, Restu, sayangku,” kata Lisa sambil melirik manja, dan tentu saja memikat. Begitu pintar Lisa membuat Restu melupakan semuanya, dan selalu memenuhi semua keinginannya. Hanya satu yang harus dia lakukan, yaitu selalu memuaskannya di atas ranjang. Apa susahnya sih?

“Kapan kamu mentransfer uangnya Restu?”

“Nanti sesampai di kantor, kamu jangan khawatir.”

“Terima kasih Restu,” kali ini Lisa berdiri dan memeluk Restu dari belakang, tak peduli orang-orang di rumah makan itu menatap mereka.

Restu berdiri, karena memang saatnya keduanya harus kembali ke kantor masing-masing. Ia merangkul Lisa dan mencium pipinya lembut, sambil berjalan keluar.


Pagi hari itu bu Broto duduk di kursi dapur, melihat menantunya meracik bumbu, sementara yu Sarni menyiapkan wajan dan panci untuk memasak.Hari masih pagi, dan Restu masih ada di rumah karena dia akan bertugas ke luar kota.

“Wulan, hari ini bapak menemui pemilik rumah yang akan dibelinya untuk kamu dan Restu,” kata bu Broto.

Wulan menahan gejolak miris yang mengiris perasaannya.

“Apa kamu senang, memiliki rumah baru?”

Wulan menatap ibu mertuanya. Bu Broto melihat air bening memenuhi manik mata menantunya.

“Mengapa Wulan? Kamu tidak suka?”

Wulan mengusap air matanya dengan ujung lengannya.

“Wulan lebih suka bersama Ibu disini,” katanya lirih.

Bu Broto tersenyum. Berbulan lamanya tinggal serumah, sebuah ikatan erat itu pasti tak akan terelakkan. Dan sudah barang tentu terasa memilukan saat harus berpisah.

“Kita kan tidak berjauhan sekali Wulan. Masih di dalam kota ini. Kamu atau ibu, setiap saat bisa saling mengunjungi,” kata bu Broto lembut.

Wulan tersenyum tipis. Sesuatu yang membuatnya bertahan adalah saat merasakan kasih sayang dan perhatian kedua mertuanya. Mereka tak pernah tahu, betapa suaminya selalu menyiksanya. Bukan menyiksa secara fisik, tapi ucapannya sungguh setajam sembilu. Ia selalu meremehkannya, menganggapnya berada di rumah ini karena suka akan kemewahan yang ditemuinya.

“Kita bisa ketemu setiap hari, ya kan Yu?” kata bu Broto kepada yu Sarni.

“Iya Bu, kalau masih sekota saja pasti bisa ketemu setiap hari.”

Wulan tak menjawab.

Tiba-tiba terdengar alunan suara gitar, dan suara lagu mengalun merdu.

Wulan mengangkat wajahnya, dan yu Sarni sudah melesat bagai anak panah menuju ke arah depan.

“Hallo darling, nice to see you ….”

“Eh … mas … mas… aduh, senangnya sampeyan datang. Tapi jangan menyanyi lagu londo lagi, aku gak paham,” kata yu Sarni menghentikan lagu yang baru sepenggal …

“Lagu apa yang Ibu sukai?”

“Walang kekek … walang kadung …. Nanti aku kasih uangnya dobel,” kata yu Sarni riang, sambil merogoh saku bajunya.

Lalu ‘pengamen’ itu menyanyikan sebuah lagu.

“Walah kekek … walange kadung ….”

Tiba-tiba seseorang keluar dari pintu itu, menatap yu Sarni dengan marah.

“Apa-apaan kamu itu Yu? Suruh dia berhenti menguap. Berisik. Sebel!” katanya sambil melemparkan uang limaratusan ke arah ‘pengamen’ itu.

“Ya ampun, pak Restu kejam sekali …”

“Pergi tidak?!” Restu menghardik ‘pengamen’ itu.

Lalu sang ‘pengamen’ membalikkan tubuhnya, dan berlalu.

Merasa bersalah, yu Sarni mengikuti sampai ke depan pagar.

“Mas, maaf ya Mas, ini, saya kasih uang,” kata yu Sarni sambil mengulurkan selembar uang ribuan.

“Terima kasih Bu, tidak usah,” ‘pengamen’ itu menolak.

“Ya ampun, Mas marah ya? Dia itu memang keterlaluan. Laki-laki jahat.”

“Siapa dia Bu?”

“Dia itu anaknya pak Broto, pemilik rumah ini, suaminya bu Wulan. Tapi dia sangat kasar. Kasihan, saya terkadang mendengar dia membentak-bentak isterinya. Padahal bu Wulan itu cantik, baik, lembut. Eh Mas, ini, terima saja uangnya. Tadi yang dilempar oleh orang jahat kan tidak Mas ambil. Besok datang agak siang. Biasanya sih dia sudah pergi jam segini, nggak tahu aku, kok masih ada di rumah,” yu Sarni ngoceh panjang lebar, ‘pengamen’ itu hanya mengangguk-angguk, kemudian berlalu, setelah menerima uang ribuan yang diberikan yu Sarni, takut pemberinya kecewa.

Yu Sarni kembali masuk ke rumah, Restu yang membawa tas kerja masih berdiri di depan pintu.

“Mengapa kamu itu Yu, pengamen busuk, diladeni,” omel Restu geram.

“Kasihan dia, Pak, namanya juga mencari makan,” kata yu Sarni kesal, sambil masuk ke dalam rumah.

“Kamu suruh menyanyi apa, dia tadi Yu?” tanya bu Broto sambil tertawa.

“Nggak jadi Bu, diusir sama Pak Restu. Kasihan, dia kan mencari uang,” gerutu yu Sarni.

“Restu memang keterlaluan. Lalu kamu sempat dipanggil bidadari tidak?”

“Ya tidak Bu, dia pergi tanpa menyanyi, baru sedikit langsung dibentak sama Pak Restu.”

“Ya sudah,mudah-mudahan besok datang lagi,” hibur bu Broto ketika melihat yu Sarni tampak kecewa.

“Hm, belum tentu juga, dia kan sakit hati Bu,” gerutu yu Sarni sambil melanjutkan pekerjaannya. Wulan tidak menyahut sepatahpun. Ingatan akan pindah rumah sangat membuatnya tertekan.


Hari sudah siang ketika Rio memasuki sebuah kantor. Ia berpakaian sederhana, dan mengenakan sepatu yang sederhana pula.

“Selamat siang,” sapanya kepada satpam yang berjaga di depan.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu Mas?”

“Apakah pak Broto hari ini ada di kantornya?”

“Oh, beliau belum lama datang, apa sudah ada janji?”

Rio mengangguk.

“Silakan terus ke belakang, di sana ada sekretarisnya.”

“Terima kasih.”

Rio melangkah mengikuti petunjuk satpam itu. Ia menemui seorang gadis yang berada di luar ruangan, dimana di pintu ruangan itu tertulis DIREKTUR UTAMA.

Mendengar celoteh yu Sarni bahwa suami Wulan teramat kasar terhadap isterinya, membuatnya ingin melakukan sesuatu.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 06

SELAMAT PAGI BIDADARI (04)

Karya Tien Kumalasari

“Apa kamu sudah gila? Secara tidak langsung kamu menuduh aku mencuri? Kamu lupa aku ini siapa? Kamu lupa bahwa aku adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis ayah aku yang bernama MAHA KENCANA? Pantaskah seorang terpandang seperti aku ini mencuri?” kata Restu dengan mata menyala dan jari telunjuk menuding ke arah wajah Wulan.

“Tunggu Mas, kenapa kamu marah? Aku hanya bertanya bukan? Siapa yang menuduhmu, wahai sang putera mahkota yang kaya raya bak raja muda?” kata Wulan sengit. Tak ada yang dia takuti dari laki-laki tak berperasaan yang punya predikat ‘suami’ itu.

“Mengapa kamu bertanya sama aku? Apakah aku pembantu kamu yang mengurusi semua barang-barangmu?”

“Karena yang ada di kamar ini hanya aku sama kamu.”

“Nah, bukankah kata-kata itu bermaksud menuduh?” suara Restu semakin meninggi.

“Terserah kamu mau ngomong apa,” kata Wulan sambil membalikkan tubuhnya dan keluar dari kamar. Dia menuju ke arah ruang makan, dimana ayah dan ibunya sudah duduk di depan meja.

“Mana dia?” tanya pak Broto,

“Baru mandi, Pak,” jawab Wulan yang kemudian duduk diantara kedua mertuanya.

“Hm, jam berapa ini? Apa dia tidak akan berangkat ke kantor?” tanya pak Broto sambil menyendok nasi goreng yang sudah disiapkan bu Broto di piringnya.

“Tadi malam dia pergi,” kata bu Broto.

“Bukankah dia ikut menghadiri pesta itu?”

“Sepulang dari acara itu, dia kemudian pergi. Entah jam berapa dia pulang. Wulan sendiri juga nggak tahu jam berapa suaminya pulang,” kata bu Broto kesal.

“Makan duluan saja Wulan, nggak usah menunggu suami kamu,” kata pak Broto yang melihat bahwa Wulan belum juga menyendok nasi gorengnya.

“Iya, baiklah.”

Ketika itulah tiba-tiba Restu muncul sudah berpakaian rapi, tapi tidak segera duduk di kursinya.

“Restu mau langsung ke kantor saja.”

“Tidak makan dulu?” tanya bu Broto.

“Nanti makan di kantor, soalnya ada meeting pagi ini.”

“Salah sendiri mengapa bangun kesiangan. Kemana saja kamu semalam?” tanya pak Broto saat Restu sudah membalikkan badan. Langkah Restu terhenti.

“Cuma ketemu teman-teman saja.”

Lalu Restu berlalu.

“Hm, anak itu,” keluh pak Broto sambil menghela napas kesal.

Wulan tak berkomentar apapun. Dia asyik menikmati nasi goreng masakannya.

“Wulan ,” panggil pak Broto.

Wulan mengangkat wajahnya.

“Apakah selama ini suami kamu bersikap baik sama kamu?”

Wulan menatap ayah mertuanya, lalu tersenyum tipis.

“Baik Pak.”

“Benarkah?”

“Benar.”

Tentu saja Wulan berbohong. Tapi dia tak ingin memperuncing suasana. Selama ini mereka selalu berpura-pura. Tapi rupanya pak Broto menangkap hal yang tidak wajar diantara keduanya.

“Tadi dia tidak bilang apapun sama kamu ketika mau berangkat.”

“Tidak apa-apa Pak, tadi dia sudah bilang kok,” Wulan masih berusaha menutupi.

“Aku merasa, Restu itu bersikap seenaknya sama isterinya. Sekali-sekali diajaknya isterinya jalan kemana, gitu.”

“Iya benar Pak, ibu juga merasa Restu tidak begitu perhatian sama isterinya. Sikap baiknya seperti dibuat-buat.”

“Nah, Ibu juga merasakannya kan?”

“Sudah hampir setahun, kamu belum juga mengandung, Wulan,” kata bu Broto.

Wulan tiba-tiba tersedak.

“Eh, pelan-pelan nak. Minumlah dulu,” kata bu Broto sambil mendekatkan gelas minum Wulan.

Wulan meneguk minumannya. Ia sangat terkejut ketika mertuanya berbicara tentang kandungan. Mana bisa dia mengandung, bersentuhan juga tidak pernah.

“Bapak sama ibu sudah semakin tua, sudah ingin menimang cucu,” sambung pak Broto.

Wulan tersenyum lagi. Getir terasa.

“Kalian tidak sengaja menunda kehamilan bukan?” tanya bu Broto lagi.

Wulan kembali meneguk minumannya, takut kembali tersedak.

“Ti … tidak Bu.”

“Syukurlah. Sudah saatnya kalian memiliki anak.”

“Ya, Bu,”

Acara makan pagi itu selesai tanpa kehadiran Restu yang pergi dengan terburu-buru. Memang hari sudah agak siang dan Restu harus menjemput Lisa sebelum ke kantornya. Itu sebabnya dia menolak untuk makan pagi di rumah.


Wulan sedang membersihkan meja makan, dan membawa piring-piring kotor ke dapur.
Dia tak melihat yu Sarni di dapur. Setelah selesai meletakkan piring-piring kotor itu, yu Sarni baru muncul.

“Dari mana Yu?”

“Dari membuang sampah ke depan Bu,” kata yu Sarni sambil meletakkan keranjang sampah di sudut dapur.

“Kok lama sekali?”

“Itu Bu, si tukang ngamen kok tidak ke sini lagi ya, saya sudah nyiapin uang seribu untuk saya kasih ke dia.”

Wulan menutup mulutnya, menahan tawa.

“Jadi yu Sarni itu menunggu dia ?”

“Kan dia kemarin bilang kalau mau datang kemari lagi.”

“Barangkali masih ngamen di tempat lain.”

“Iya barangkali. Sudah bu, biar saya saja yang mencuci piring-piringnya. Ibu duduk saja dulu, sebentar lagi kan mau masak?”

“Nungguin tukang sayur lewat dulu. Di kulkas persediaan sayur sudah habis.”

“Iya benar.”

“Belanja ke pasar besok saja ya Yu, sekalian melihat barang-barang yang habis.”

“Iya Bu. Besok saja. Tapi kenapa ya, masnya tukang ngamen nggak ke sini lagi?” Wulan tersenyum, yu Sarni kembali membicarakan mas tukang ngamen.

“Ya ampuun, jangan-jangan Yu Sarni jatuh cinta sama dia.”

Yu Sarni terkikik sambil menutupi mulutnya.

“Bu Wulan itu kok ada-ada saja. Orang setua yu Sarni mana pantas jatuh cinta. Yu Sarni cuma suka ngelihatnya saja. Dan sebetulnya kalau tadi dia benar datang, yu Sarni mau minta supaya dia nyanyiin lagu Jawa. Ee, malah nggak datang.”

“Lagi Jawanya tuh apa kira-kira?”

“Itu Bu, lagi bagus, judulnya Walang Kekek Walang Kadung … atau, Yen Ing Tawang Ana Lintang … wiiis … jooosss betul . Dan kalau dia mau, mau yu Sarni tambahin nanti bayarnya, bukan hanya seribu, tapi dua ribu.”

“Namanya juga orang ngamen, ya muter kemana-mana Yu,” kata Wulan, yang dalam hati berharap agar si ‘tukang ngamen’ ganteng itu tidak benar-benar datang. Pertemuan dengannya akan membuat hatinya semakin resah. Sungguh menakutkan apabila dia benar-benar masih punya rasa cinta kepada dia. Tapi kenapa sih Rio melakukannya? Dia mengamen di rumah ini, semalam menyanyi di tempat resepsi. Semua yang dilakukannya membuatnya sangat gelisah.


Semalam kamu benar-benar membuat aku terlena, Lisa. Aku sampai lupa untuk pulang. Untunglah saat sampai di rumah semua orang sudah tidur. Kalau tidak, bisa-bisa aku kena tegur,” kata Restu ketika seperti biasa dia makan siang bersama Lisa.

“Kamu itu sepertinya masih diperlakukan seperti anak kecil saja, Restu. Harus pulang sore, harus ditegur kalau kemalaman. Hm, isteri kamu kah yang selalu mengomel itu?”

“Bukan. Isteri aku tak pernah peduli apa yang aku lakukan. Mana berani dia menegur aku.”
“Jadi, siapa yang selalu menegur itu? Bapak? Ibu ?”

“Iya. Ya mereka itu. Aku merasa selalu diatur dan diawasi.”

“Keterlaluan. Mengapa kamu tidak minta agar mereka membelikan rumah saja untuk kamu? Kamu kan sudah punya istri, sebaiknya berpisah rumah dengan orang tua.”

“Tapi kan istriku harus ikut juga kalau aku pindah rumah?”

“Nggak masalah kan Restu, katanya istri kamu nggak akan berani menegur kamu? Jadi lebih gampang kalau kita mau pergi kemana atau kapan saja.”

“Bener juga usul kamu. Tapi belum tentu juga bapak mengijinkan, apalagi ibu. Rumah itu kan cukup besar, masa aku harus minta rumah pula.”

“Namanya sudah berkeluarga kan sebaiknya begitu. Kamu kan punya seribu satu alasan untuk memintanya.”

“Baiklah, nanti akan aku pikirkan.”

“Nah, gitu dong Restu, dengan begitu kita lebih bebas untuk bertemu.”

Restu mengangguk-angguk, lalu menghabiskan makanan dipiringnya, sambil berpikir apa yang harus dijadikan alasan, seandainya minta agar memiliki rumah sendiri.


Setelah makan siang itu, Wulan kembali mengobrak-abrik almarinya. Ia merasa tak pernah memindahkan gelang itu dari kotak perhiasannya. Tapi siapa tahu dia lupa meletakkannya di mana. Di laci, di rak paling atas, di bawahnya, dan dibawahnya lagi, bahkan setiap tumpukan pakaian diturunkannya, tetap saja barang yang dicarinya tidak ketemu.

Barang dan pakaiannya masih berserakan di atas karpet kamarnya, ketika ibu mertuanya mengetuk pintu, lalu masuk.

“Wulan, apa yang kamu lakukan?”

“Mencoba mencari gelang itu Bu. Ternyata memang tidak ada. Bahkan di setiap lipatan baju, saya tidak menemukannya. Padahal saya meletakkannya di dalam kotak. Saya tidak lupa Bu.”

“Ya sudah Wulan, tidak usah sedih. Ibu kan sudah bilang, nanti kita pesan lagi saja.”

“Tidak Bu, jangan. Perhiasan Wulan sudah cukup banyak, dan jarang dipakai, karena memang Wulan jarang pergi ketempat pesta. Saya kembali mencarinya bukan karena apa-apa, tapi merasa heran, kenapa bisa lenyap tanpa bekas,” jawab Wulan sambil menata kembali baju-bajunya.

“Kamu sudah menanyakannya pada suami kamu? Barangkali dia memindahkannya ke almarinya sendiri. Walau sebenarnya tidak mungkin, tapi sebaiknya kamu bertanya.”

“Saya sudah bertanya, dia bilang tidak tahu,” kata Wulan menutupi kemarahan Restu saat dia menanyakannya.

“Ya sudah Wulan, tidak usah dipikirkan. Oh ya, Ibu tadi mau bilang, bahwa kamu tidak usah memasak lagi untuk makan malam, karena bapak mengajak kita sama-sama makan di luar.”

“Oh ?”

“Nanti kalau suami kamu datang, beri tahu agar jangan pergi ke mana-mana,” kata ibu mertuanya sambil beranjak keluar dari kamar.

“Ya,” hanya itu jawaban Wulan, sambil meneruskan melipat baju-bajunya.

Hanya kebaikan dan kasih sayang kedua mertuanya lah yang membuat Wulan bertahan. Ia bahkan berharap suaminya tak pernah pulang sehingga ia tak pernah punya masalah dalam hidupnya.


Tapi hari itu Restu pulang saat hari mulai gelap. Dan sungguh sial baginya karena begitu memasuki ruangan, ayah ibunya sedang duduk santai di ruang tengah.

“Dari mana kamu?” tanya ayahnya dengan wajah gelap.

“Lembur Pak,” jawab Restu seenaknya.

“Lembur? Ada urusan apa di awal-awal bulan kamu harus lembur?”

“Hanya menyelesaikan memeriksa laporan.”

“Besok bapak akan ke kantor, melihat apakah kamu mengurus perusahaan dengan benar.”

“Semuanya baik-baik saja kok Pak, bapak tidak usah khawatir.”

“Syukurlah, tapi sesekali kan bapak juga harus memeriksa semuanya.”

Restu tak menjawab, ia segera beranjak ke arah tangga menuju ke kamarnya, tapi ibunya menghentikannya.

“Restu, kamu harus segera mandi dan bersiap. Bapak akan mengajak kita makan di luar.”

Restu menoleh ke arah ibunya.

“Restu lelah bu, nggak usah ikut saja,” jawabnya.

“Tidak, kamu harus ikut. Bersiaplah sekarang,” sambung pak Broto tandas.

Restu melanjutkan menaiki tangga, tapi tak lagi berani berkata ‘tidak’.

Ketika masuk ke kamarnya, dilihatnya Wulan sudah berganti pakaian dan duduk berdandan di depan cermin.

“Mas, kata ibu_”

“Aku sudah tahu,” jawab Restu memotong kata-kata isterinya. Ia memang sudah tahu bahwa Wulan akan mengingatkannya tentang ajakan orang tuanya. Ia segera melepas sepatunya dan beranjak ke kamar mandi.

Wulan menghela napas kesal, tapi tak lagi mengucapkan sepatah katapun. Ia tadi ingin mengatakannya karena pesan dari ibu mertuanya. Barangkali Restu sudah ketemu ibunya di bawah dan mengatakan rencana makan di luar itu.


Restu agak kesal karena ayahnya mengajaknya makan di sebuah warung sederhana dengan masakan-masakan Jawa.

“Mengapa ke sini Pak? Mana enak makanan di warung seperti ini?” protes Restu.

“Haaah, ikut saja kenapa sih. Makanan itu enak atau tidaknya, tergantung suasana hati kita,” sergah ayahnya yang nekat memasuki warung itu, tanpa ada protes dari ibunya maupun Wulan, tentu saja.

Mereka duduk di sebuah meja, dekat pintu, dan segera memesan pesanan masing-masing. Pak Broto dan bu Broto memilih nasi rawon, dan Wulan memesan nasi timlo.

“Nggak ada steak atau apa gitu ya,” kata Restu kesal.

“Nggak ada. Ini masakan Jawa, tidak jualan makanan orang Eropa,” kata ayahnya.

“Kalau mau selat solo, di sini ada,” kata ibunya.

“Ya sudah, terserah ibu saja,” akhirnya kata Restu.

Restu tak mau banyak protes lagi, karena setiap apa yang dipilihnya selalu ditentang oleh orang tuanya, terutama ayahnya.

“Restu, ada yang ingin bapak sampaikan,” kata pak Broto sambil menunggu pesanan mereka datang.

Restu menatap ayahnya.

“Ibumu ingin kalian segera memiliki anak.”

“Apa?” Restu terkejut bukan alang kepalang. Tak pernah terbayang olehnya akan keinginan dari orang tuanya itu.

“Kalian menikah sudah hampir setahun,” sambung ibunya.

“Bapak punya rencana, menyuruh kalian berlibur. Mungkin ke luar negri, nanti orang kantor akan bapak suruh menyiapkan ticketnya.”

“Tidak … “ jawab Restu buru-buru.

“Mengapa tidak?”

“Di kantor sedang banyak pekerjaan. Bagaimana Restu bisa berlibur?”

“Sebentar saja, seminggu cukup. Barangkali dengan bersantai, kamu akan segera bisa punya momongan. Biar bapak urus perusahaan, kamu jangan khawatir.”

Tiba-tiba terdengan dentingan gitar, dan alunan sebuah lagu.

“I can’t stop loving you ….”


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 05

SELAMAT PAGI BIDADARI (03)

Karya Tien Kumalasari

Sepasang mata itu berkilat melihat pasangan yang bergandengan tangan dengan mesra. Mesra? Kelihatannya begitu, hanya untuk mendapatkan simpati dari kedua orang tua yang berjalan beriringan di dekat mereka. Yang sebenarnya adalah, tak ada cinta sedikitpun di hati mereka masing-masing.

Wulan bahkan sudah merasa muak, dan ingin agar acara segera berakhir, dan kepura-puraan itu juga segera sirna. Genggaman tangan suaminya terasa bagai bara yang menyengat, sementara ia harus berbaur dengan tamu undangan lainnya, dan harus memasang senyum secerah bunga mekar kepada setiap orang yang menyalaminya.

“Aduh, ini pasangan yang sangat serasi lho bu Broto, seperti prabu Rama dan Dewi Sinta,” celetuk salah seorang wanita cantik yang sedang menyalami kedua mertuanya, lalu juga menyalami dirinya dan suami. Sederet gigi putih terpaksa ditampakkannya, tapi Wulan merasa bahwa itu bukan senyuman, lebih terasa seperti irisan yang menyayat, karena ia merasa bahwa Restu baru saja mengibaskan tangannya dengan kasar. Tentu tak seorangpun melihatnya, karena gandengan tangan itu kan sedikit tertutup oleh gaunnya yang sedikit lebar.

Sepasang mata tajam itu memakai topi lebar yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Dia terus mengikuti apa yang dilakukan sepasang suami isteri yang asyik bersalaman dengan tamu undangan lainnya. Ada yang ingin diteriakkannya, tapi tak mampu keluar dari mulutnya.

Acara semakin semarak ketika alunan suara penyanyi cantik memenuhi ruangan, diiringi oleh permainan organ tunggal.

Wulan hampir tak menikmati acara malam itu, ketika tiba-tiba sebuah suara mengalun, diawali dengan kata-kata yang sangat familiar di telinganya.

“Selamat pagi bidadari, eh maaf, selamat malam bidadari,” katanya lembut, lalu mengalunlah sebuah lagu.

Wulan terhenyak. Matanya langsung menatap kearah panggung, dan dilihatnya seorang pria tinggi tegap memakai topi lebar, yang menutupi hampir seluruh wajahnya.

“I can’t stop loving you, I’ve made up my mind. To live in memories, of the lonesome time, I can’t stop wanting you ….

Wulan terperangkap dalam pesona lagu itu, oh … bukan lagunya, tapi orang yang menyanyikannya. Apakah dia sekarang menjadi seorang penyanyi? Rio, apa yang kamu lakukan? Bisik hati Wulan.

Lalu terdengar suara seorang pembawa acara diatas panggung, setelah lagu itu selesai dinyanyikan, dan diiringi tepukan riuh rendah para hadirin, karena suara penyanyinya yang bagus luar biasa.

“Hadirin, itulah tadi sumbangan sebuah lagu dari seseorang yang tidak mau disebutkan namanya. Tuh, dia sdah kabur. Tadi dia bilang, lagunya dipersembahkan untuk seorang bidadari yang hadir di tempat ini, entah siapa bidadari itu.”

Wulan mengikuti pria bertopi itu dengan matanya, yang kemudian menghilang di balik pintu yang memisahkan ruangan itu dengan ruang yang lain.

“Ternyata dia bukan menjadi penyanyi, tapi hanya menyumbangkan sebuah lagu. Aduhai, darimana dia tahu bahwa aku ada disini?” kata batin Wulan.

“Wulan, ayo bersalaman dulu dengan pengantinnya,” ajak bu Broto “Restu, mau kemana kamu? Ayo, gandeng kembali isteri kamu, kita harus menyalami pengantinnya.”

Restu yang beranjak ingin menjauh, berhenti melangkah. Ia mengikuti kedua orang tuanya dan berjalan sejajar dengan isterinya. Ogah menggandengnya lagi, capek. Gerutunya dalam hati.

*

Malam itu Wulan yang sudah terbaring di sofa tak bisa segera memejamkan matanya. Ia melihat ke arah pembaringan yang kosong. Rupanya Restu belum beranjak tidur. Lalu dilihatnya sang suami keluar dari ruang ganti, dan memakai baju yang biasa dipakai kalau mau jalan keluar. Baju santai, dan celana jean yang dikancingkannya sambil berjalan. Tampaknya ia akan keluar, dan tergesa-gesa mengganti pakaian. Lalu dia mengambil kunci mobilnya, dan keluar dari kamar.

Wulan tak mengatakan sepatah katapun. Ia tak peduli suaminya mau pergi atau segera tidur. Sekarang ia menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya, dan berusaha tidur. Tapi bayangan pria bertopi yang sedang mengalunkan sebuah lagu itu selalu menari-nari di dalam benaknya.

“Rio, apa yang kamu lakukan? Ya Tuhan, jangan sampai aku tergoda. Tetaplah aku sebagai seorang isteri, apapun bentuknya, aku tak boleh lagi berpaling, walau kepadamu Rio,” bisiknya pelan, tapi tak urung setetes matanya turun, meleleh membasahi pipinya.

Bayangan saat-saat manis ketika bersama Rio, kembali menari-nari dalam ingatannya. Ketika sekuntum mawar merah disuntingkan di telinganya, lalu Rio mengucapkan kata cinta. Aduhai.

“Wulan, aku mencintai kamu,” kalimat singkat itu terdengar begitu manis, yang dibalasnya dengan sebuah senyuman.

“Katakan bahwa kamu juga mencintai aku, Wulan.”

“Aku cinta kamu, Rio.”

Tak ada bahagia selain menikmati masa-masa kebersamaan mereka. Lalu gerimis tipis berjatuhan, dan keduanya berlari-lari mencari tempat berteduh, sebelum hujan turun semakin deras.

Ada sebuah rumah-rumahan kecil di taman itu, dimana keduanya kemudian duduk di sebuah bangku.

“Wulan … “ bisikan itu terdengar di telinga Wulan. Barangkali ada setan mengipasi disaat sepi dan hujan kemudian turun dengan derasnya,

Tapi Wulan menjauhkan tubuhnya dari Rio.

“Jangan menyentuhku Rio, kita belum halal melakukannya,” kata Wulan, yang membuat Rio surut, lalu menarik kembali tangannya yang nyaris memeluk kekasihnya.

Alangkah indahnya ketika sebuah ikatan cinta tidak dikotori oleh nafsu karena memiliki iman yang maha teguh.

“Maaf … “ kata Rio lirih, sambil berusaha menahan gemuruh di dadanya.

Wulan tersenyum.

Dan dia masih tersenyum ketika sebuah ketukan terdengar. Pasti bukan suaminya. Tak mungkin suaminya memiliki tata krama setinggi itu.

Lalu seseorang masuk, ibu mertuanya.

“Ibu ?”

“Wulan? Kenapa tidur di sofa?”

Wulan terduduk dengan tiba-tiba. Bingung ia harus mengucapkan apa.

“Mengapa tidur di sofa nak?”

“Ini Bu, saya tadi … sambil membaca … jadi masih di sini.”

“Ke mana Restu?”

“Dia … tadi sepertinya keluar Bu.”

“Malam-malam begini ? Ke mana ?”

“Ssaya tidak tahu Bu, mungkin tadi saya ketiduran … sehingga tidak tahu dia pergi ke mana..”

“Anak itu sungguh keterlaluan. Susah sekali dikasih tahu. Kalau ayahnya tahu, pasti sudah kena marah dia,” kata bu Broto sambil duduk di depannya.

Wulan melipat selimut yang tadi dipakainya.

“Sebagai isteri, kamu harus bisa mengekang suami kamu, jangan boleh seenaknya begitu.”

Wulan terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dia mengekang? Bagaimana caranya? Berucap pelan dan bukan mengucapkan larangan saja, jawabnya sudah sangat tak enak terdengar, bahkan menyakitkan.

“Saya tadi melihat, kenapa kamu tidak memakai gelang yang tadi ibu suruh memakai?”

Wulan terkejut. Dia tadi tergesa-gesa jadi hanya memakai perhiasan yang sudah menempel pada tubuhnya. Cincin kawin, cincin berlian hadiah pernikahan dari ibu mertuanya, dan kalung rantai yang biasa-biasa saja. Sebenarnya tadi dia juga mencarinya, tapi karena tak kunjung ketemu, sementara ibu dan bapak mertuanya sudah menunggu, jadi ia tak jadi mencari sampai ketemu.

“Kamu tidak suka gelangnya?”

“Oh, tidak Bu, saya sangat suka, kan itu barang mahal, Wulan menyimpannya dengan sangat hati-hati,” kata Wulan sambil berdiri, lalu membuka almarinya, bermaksud mengambil kotak perhiasannya.

Ia mengambil kotak itu dan membawanya ke hadapan ibu mertuanya.

“Tadi Wulan sudah mau memakainya, tapi sepertinya tidak segera menemukannya, jadi karena ibu sama bapak sudah menunggu, saya urung mencarinya lagi,” Wulan membuka kotaknya, kembali mengamatinya. Ada beberapa perhiasan yang diberikan Restu ketika mereka menikah, tentu karena perintah orang tuanya lah, dan gelang itu, mengapa tidak ada?”

“Kok tidak ada ya?” keluhnya sambil berdiri lalu mencari lagi di tempat lain.

“Tidak ada? Kok aneh sih, Wulan. Bagaimana bisa tidak ada, sementara yang ada di ruang ini Cuma kamu dan suami kamu.”

Wajah Wulan pucat pasi. Ia terus mengobrak abrik almari dan laci tempat menyimpan perhiasan, tapi gelang itu tidak ketemu.

“Kok bisa tidak ada? Saya yakin telah menyimpannya di kotak ini Bu,”kata Wulan ketakutan. Ia khawatir ibunya menuduh dirinya telah menjual gelang itu. Tapi tidak, bu Broto justru kasihan melihat Wulan tampak panik. Ditariknya tangan Wulan, dan memintanya agar duduk kembali.

“Ya sudah, besok coba dicari lagi, barangkali terselip di mana, gitu.”

“Tidak Bu, semua sudah saya cari, dan betul-betul gelang itu tidak ada.”

Bu Broto merasa telapak tangan menantunya berkeringat.

“Bagaimana ini? Siapa yang mengambilnya? Sungguh saya tidak tahu Bu,” kata Wulan dengan suara gemetar.

“Tidak usah takut Wulan, ibu tidak menuduh kamu melakukan hal yang tidak benar. Ibu sudah tahu bahwa kamu gadis yang baik, tidak mungkin melakukan hal yang tidak terpuji.”

“Bagaimana mungkin?”

“Sudah, jangan dipikirkan lagi, nanti ibu akan pesan lagi yang seperti itu. Sekarang tidurlah, ini sudah malam,” kata bu Broto sambil berdiri, lalu menepuk lembut bahu menantunya, dan segera keluar dari kamar.

Wulan tak segera membaringkan tubuhnya. Ia bingung, bagaimana gelang itu bisa hilang?”

“Besok pagi aku akan bertanya sama mas Restu, walau sebetulnya segan, tapi aku harus menanyakannya. Jangan-jangan ibu menuduhku telah menjual gelang itu, walau tadi sikapnya tidak menunjukkan itu. Atau … yu Sarni? Ah, tidak. Dia sudah bertahun-tahun mengabdi di sini dan tidak pernah ada barang yang hilang. Lagi pula yu Sarni tidak pernah masuk ke dalam kamarnya.

*

Menjelang pagi Restu baru kembali masuk ke kamarnya. Ia yang sore harinya tidak sempat bertemu Lisa, merasa bersalah kepada kekasihnya, jadi walau sudah malam dia tetap akan menjemputnya, dan mengajaknya menghabiskan malamnya di suatu tempat dengan bersenang-senang.

Ketika pulang hampir pagi, ia tampak sangat keletihan. Ia langsung membaringkan tubuhnya di ranjang dan terlelap.

Wulan sudah keluar dari kamar, setelah shalat subuh, segera ke dapur untuk membantu yu Sarni menyiapkan sarapan pagi.

“Jam berapa suami kamu pulang? Ibu sudah terlelap, tidak mendengar suara apapun,” kata ibu mertuanya yang tiba-tiba sudah memasuki dapur.

“Maaf Bu, saya juga sudah tertidur, jadi tidak tahu kapan mas Restu datang,” kata Wulan sambil membawa nampan dengan tiga gelas coklat susu hangat ke ruang tengah, dimana biasanya keluarga itu bersantai setelah bangun tidur.

Bu Broto mengikuti menantunya dari belakang, lalu duduk di sofa di ruang tengah itu.

“Mengapa hanya tiga? Untuk kamu sendiri mana?”

“Saya sudah minum tadi di dapur Bu,” kata Wulan yang kemudian kembali ke arah dapur.

“Yu Sarni, masak apa buat sarapan ? Bagaimana kalau nasi goreng udang dan telur ceplok saja?”

“Iya Bu Wulan, saya sudah mencuci udangnya tadi.”

“Bagus Yu, biar saya memasaknya.”

Di ruang tengah, pak Broto juga sudah bangun, lalu duduk di samping isterinya, menikmati coklat susu buatan menantunya.

“Mana Restu? Belum bangun pasti.”

“Iya.”

“Wah, bau apa nih, sedap dari arah dapur?” celetuk pak Broto.

“Wulan masak buat sarapan.”

“Hm, bau udang … pasti nasi goreng,” kata pak Broto dengan wajah berseri. Dia suka sekali udang.

“Bapak jangan kebanyakan makan udang. Ingat kolesterol,” kata bu Broto mengingatkan.

“Iya, aku tahu, Cuma sedikit kan aku memakannya?”

“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit,” kata bu Broto.

Pak Broto tertawa.

“Ibu kok masih ingat kata-kata itu.”

“Ya ingat lah. Masa kayak gitu saja lupa.”

*

Selesai memasak dan menatanya di meja, Wulan masuk ke kamarnya, dilihatnya Restu masih duduk di tepi pembaringan, matanya merah, belum juga mandi.

“Ditunggu sarapan di ruang makan.” Kata Wulan tanpa menatap suaminya.

Restu tak menjawab. Ia turun dari tempat tidur, bermaksud masuk ke kamar mandi.

“Mas.” Wulan menghentikannya.

Restu tak berhenti.

“Mas tahu dimana gelang aku?” Wulan nekat bicara walau suaminya tak peduli pada panggilannya.

Mendengar itu Restu tiba-tiba berhenti melangkah, menatap isterinya dengan marah.

“Apa maksudmu? Kamu menuduh aku mencuri?” pekiknya keras, dengan mata melotot marah.

Wulan surut selangkah kebelakang


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 04

SELAMAT PAGI BIDADARI (02)

Karya Tien Kumalasari

Wulan masih terpaku ditempatnya, menatap yu Sarni tak berkedip. Yang ditatap masih cengar cengir sambil mengambil sayuran dan siap memetiknya.

“Heran, apa pengamen itu memakai kacamata kuda, sehingga melihat perempuan seperti yu Sarni ini dianggapnya bidadari,” gumamnya masih sambil tersenyum-senyum.

“Ya sudahlah Ni, disyukuri saja, kalau ada orang memanggil kamu bidadari,” kata bu Broto sambil duduk di meja dapur.

“Iya Bu, pengamennya ganteng pula.”

“Masih muda?”

“Masih muda, suaranya bagus, pakai topi hampir menutupi seluruh wajahnya, tapi yu Sarni melihat sekilas ketika topi itu sedikit terangkat ke atas, memang ganteng sekali. Sayangnya yu Sarni tidak mengerti lagu yang dinyanyikan, wong bahasanya bukan bahasa Jawa. Kalau misalnya lagu Jenang Gula, atau Yen Ing Tawang, gitu, yu Sarni pasti ikut menyanyi,” gumamnya.

Mau tak mau Wulan yang tadinya tertegun mendengarnya, kemudian tertawa geli mendengar ocehan yu Sarni. Tapi ia terus bertanya, apakah si ganteng itu kumat konyolnya sehingga bersusah payah jadi pengamen segala?

“Seandainya bu Wulan yang keluar, ya sudah pasti itu tidak mengherankan, karena bu Wulan kan memang cantik,” yu Sarni masih saja mengoceh sambil tersenyum-senyum.

“Pengamen itu jatuh cinta sama kamu Ni,” celetuk bu Broto lagi.

“Wah, ibu ini. Lha mana ada, orang muda ganteng kok jatuh cinta sama yu Sarni yang sudah setengah tua dan jelek pula.”

“Cinta itu kan buta Yu,” sambung Wulan yang sudah bisa menenangkan batinnya.

“Kalau itu ya buta kebangetan Bu. Hehee…”

“Tapi kamu senang kan, dipanggil ‘bidadari’ ?

“Iya Bu, senang dan deg-deg an. Ini saya masih khawatir, apa jantung saya masih ada, atau sudah jatuh ketika dia menyapa tadi.”

“Yaah, coba deh Yu, dicari di depan sana, siapa tahu benar-benar jatuh.”

Dapur itu jadi riuh oleh gelak tawa, ketika mendengar yu Sarni mengoceh tak henti-hentinya.

“Memangnya dia tadi menyanyi apa Yu? Wulan bertanya sambil menyiapkan bumbu.

“Nggak tahu namanya Bu, pakai lap … lap … begitu. Lha seingat yu Sarni, ‘lap’ itu kan artinya cinta, ya?”

“Iya, bener Yu.”

“Kalau bahasa Jawa ya saya mengerti, atau lagu Indonesia, yu Sarni pasti juga mengerti.”

“Kalau dia benar-benar cinta sama kamu, Ni, lain waktu pasti datang lagi kemari,” kata bu Broto sambil berdiri, tak ingin mengganggu kesibukan masak menantu dan pembantunya.

“Memang dia bilang begitu kok Bu.”

Wulan terperanjat. Lain kali datang kemari?

Apa-apaan sih Rio,” gumamnya dalam hati, gemas.


Siang itu seperti biasanya Restu tak pernah pulang untuk makan siang, walau ayah ibunya selalu mengatakan bahwa ia seharusnya makan di rumah karena istrinya memasak setiap hari untuk seluruh keluarga.

Rupanya Restu lebih suka menghabiskan waktunya bersama Lisa, gadis yang dicintainya karena dengan suka rela selalu menyerahkan tubuhnya yang dikatakannya sebagai tanda cinta.

Kepuasan yang diperolehnya selalu ditukarnya dengan barang-barang berharga, apapun yang diminta kekasihnya. Dan memang karena itulah Lisa bersedia melakukannya. Soalnya imbalannya sungguh membuatnya hidup mewah dan berkecukupan. Ia bahkan tak merasa sakit hati ketika Restu harus menikahi gadis pilihan orang tuanya, karena Restu akan tetap berada disampingnya, dan berjanji tak akan menyentuh isterinya.

“Benarkah kamu belum pernah menyentuh isteri kamu? Bukankah dia sangat cantik?” kata Lisa ketika mereka sedang makan di sebuah restoran mewah seperti biasanya.

“Tidak Lisa, kamu harus percaya padaku, cintaku hanya untuk kamu,” kata Restu sambil menatap mesra kekasihnya.

“Harusnya kamu dulu menolak ketika orang tua kamu memaksa menikahi Wulan.”

“Itu tidak bisa Lisa, orang tuaku sangat keras dalam memerintah. Bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga tentang apa yang harus aku lakukan. Ancamannya sangat menakutkan, karena aku akan dicoret dari daftar pewaris tunggal, dan aku tak berhak duduk sebagai pimpinan dalam perusahaan ayahku.”

“Iya juga sih. Kalau itu benar-benar terjadi, kamu menjadi miskin dong.”
“Tuh kan, kalau aku miskin, mana bisa aku memberikan semua yang kamu minta?”

“Bagus lah kalau memang itu sudah kamu pikirkan. Tidak apa-apa kamu memiliki isteri, asalkan kita tetap bisa bersenang-senang bersama.”

“Bagaimana kalau kamu hamil ?”

“Apa kamu tak suka kalau aku hamil?”

“Bukannya tak suka, tapi ayah ibuku akan murka. Sangat murka, dan ancaman itu akan benar-benar dilaksanakannya.”

“Iya sayang, kamu tak usah khawatir karena aku selalu memakai pengaman saat bersama kamu.”

“Terima kasih cintaku, yang penting kita bisa selalu bersenang-senang.”

Mereka menghabiskan saat makan siang bersama, sebelum Restu harus kembali ke kantornya, dan demikian juga Lisa yang bekerja di sebuah butik di kota itu.

“Jangan lupa malam nanti kamu jemput aku, aku akan siap sebelum jam tujuh, okey,” kata Lisa sambil melirik genit.

“Iya, pasti. Malamku tak akan ada artinya tanpa dirimu,” sahutnya sambil berdiri lalu menggamit lengan Lisa, diajaknya keluar, lalu diantarnya Lisa ke tempat kerjanya sebelum dia sendiri kembali ke kantornya.


Sore itu Restu sudah sampai di rumah, lalu langsung masuk ke kamarnya. Dilihatnya Wulan sedang duduk di sofa, sambil membaca sebuah majalah wanita. Restu tak mengucapkan apapun, apalagi menyapanya. Ia langsung melepas sepatunya, lalu beranjak ke kamar mandi.

Seperti biasa Wulan menyiapkan baju ganti untuk suaminya, diletakkannya di ruang ganti, kemudian dia beranjak keluar.

Mereka memang bukan seperti pasangan suami isteri, karena tak pernah terlihat berbicara. Tapi sebagai isteri Wulan selalu melakukan tugasnya, dengan menyiapkan baju untuk suaminya, meladeninya makan kalau kebetulan Restu makan di rumah. Hanya itu. Setiap malam mereka tidur terpisah. Kalau Restu tidur di ranjang, maka Wulan memilih tidur di sofa, karena dia tahu Restu tak pernah menginginkannya.

“Mana Restu?” tanya bu Broto ketika melihat Wulan keluar dari kamar.

“Baru mandi Bu,” jawab Wulan, kemudian ia duduk di sofa ruang tengah, sambil melihat acara televisi.

Bu Broto menyusulnya, ikut duduk di dekat menantunya.

“Bilang pada suami kamu, nanti malam kita semua harus datang ke kondangan.”

Wulan mengangkat wajahnya. Sungguh dia enggan berbicara pada suaminya, karena tanggapan yang didapat selalu membuatnya sakit hati.

“Ada undangan dari kerabatnya bapakmu, pak Samsudin, menikahkan anaknya. Malam ini resepsi pernikahannya. Kita semua harus datang.”

“Oowh …” hanya itu tanggapannya terhadap Wulan. Kemudian Wulan kembali menatap ke arah televisi. Ia tahu, pak Samsudin adalah pengusaha yang terkenal di kota ini, dan masih termasuk kerabat ayah mertuanya.

“Nanti pakailah gelang kamu yang kembaran sama ibu ya,” pinta bu Broto. Ketika Restu menikah, bu Broto menghadiahkan gelang bertatahkan permata kepada menantunya. Ia memesan dua buah gelang, untuknya sendiri, dan untuk Wulan.

“Ya Bu.”

“Segera bilang sama suami kamu Wulan, jangan sampai dia pergi kemana-mana malam Ini,” kata bu Broto sambil berdiri.

Wulan berdiri, dan melangkah ke kamar dengan rasa enggan. Mengapa harus mengajak Restu pula, bukankah lebih enak bepergian tanpa dia? Kata batinnya.

Perlahan ia membuka pintu kamar, dilihatnya Restu sudah selesai mandi, dan sedang menyisir rambutnya.

“Mas …” pelan kata Wulan. Restu tak menoleh.

“Nanti malam kita harus ikut bapak sama ibu, ke resepsi pernikahan kerabat bapak.”

Restu menoleh, wajahnya berubah gelap.

“Mengapa aku harus ikut? Malam ini aku ada acara sendiri,” katanya sambil melemparkan sisir ke depan cermin.

“Aku hanya disuruh menyampaikan, terserah kamu mau atau tidak,” kata Wulan tak kalah dingin.

“Itu akal-akalan kamu bukan? Kamu ingin pergi bersama aku, supaya orang-orang melihat, bahwa kamu adalah isteriku?”

“Kamu salah. Menikah sama kamu bukanlah suatu kebanggaan,” sergah Wulan sambil mengangkat wajahnya.
“Omong kosong.”

“Terserah apa kata kamu,” Wulan membalikkan tubuhnya kemudian keluar dari kamar. Ditahannya keinginan untuk membanting pintu dengan keras sebagai pelampiasan, hanya karena ia harus menghormati kedua mertuanya yang sangat menyayanginya.

“Mana Restu?” kali ini pak Broto yang bertanya.

“Di kamar, Bapak.” Jawab Wulan.

“Coba panggil kemari, bapak mau bicara.”

Wulan membalikkan tubuhnya, kembali membuka kamar dengan enggan. Dia hanya melongok kedalam.

“Bapak memanggil kamu,” lalu Wulan kembali menutup pintu.

Tak lama kemudian Restu keluar, sudah dengan pakaian rapi.

“Mau kemana kamu?”

“Mau keluar sebentar Pak.”

“Setiap malam selalu keluar … keluar … “

“Ketemu sama teman-teman sekolah Pak, biasanya ketemuan di sebuah warung wedangan, atau apa, pokoknya rame-rame saja,” jawab Restu seenaknya.

“Apa maksudmu? Kamu sudah punya istri, dan masih suka keluyuran sendiri?”

“Wulan tidak suka pergi rame-rame.”

“Ya cari tempat yang istri kamu suka,” wajah pak Broto mulai gelap.

“Nanti saya tanya dia,” jawab Restu sambil berlalu.

“Tunggu,” seru pak Broto.

Restu menghentikan langkahnya.

“Ya Pak.”

“Malam ini kita harus datang ke resepsi pak Samsudin. Kamu bersama istri kamu juga.”

“Tapi _”

“Tidak ada tapi, nggak enak kalau hanya bapak sama ibu saja yang datang. Dia kan saudara kita juga.”

“Restu sudah trelanjur janji sama teman Restu,” protes Restu.

“Batalkan janji itu. Ini lebih penting,” kata pak Broto tandas.

Restu masuk kembali ke kamarnya dengan wajah gelap. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Lisa.

“Maaf Lisa … “

“Kenapa? Kamu tidak bisa datang malam ini?” sahut Lisa dari seberang begitu Restu menelponnya.

“Ada acara keluarga, yang sebelumnya aku tidak tahu. Aku sudah siap berangkat sebenarnya, tapi bapak melarangku pergi.”

“Hiiih, penurut amat sih kamu, sekali-sekali menentang kenapa? Kan kamu sudah janji mau menjemput aku?” kesal suara Lisa.

“Aku sudah bilang, tapi bapak nggak mau tahu. Soalnya kami harus datang di acara itu.”

“Acara apa sih?”

“Resepsi pernikahan salah seorang kerabat. Maaf ya, besok kita puas-puasin deh, bahkan sepulang dari kantor kita langsung bersenang-senang.”

“Benarkah?”

“Aku janji. Kamu jangan marah ya.”

“Awas ya, kalau bohong.”

“Tidak, sayang.”

Restu menutup ponselnya, saat Wulan masuk ke dalam kamar. Wajah yang semula ceria setelah berbicara dengan Lisa, menjadi gelap tertutup mendung.

“Sebenarnya aku sudah janjian sama pacar aku,” gerutunya tanpa melihat ke arah Wulan, yang sedang membuka almari untuk segera berganti pakaian.

Wulan tak menjawab.

“Kamu tahu kan, aku hanya mencintai dia?”

“Terserah kamu mau mencintai siapa,” ketus Wulan sambil memilih pakaiannya, kemudian berjalan ke ruang ganti.

“Kalau kamu tahu bahwa aku tidak cinta sama kamu, mengapa kamu tidak pergi juga?” teriaknya dari luar kamar ganti.

“Bilang sama bapak sama ibu kalau kamu ingin aku pergi.”

“Huh, sayang ya melepaskan kemewahan yang kamu rasakan di rumah ini?” teriaknya lagi.

Sakit hati Wulan mendengarnya. Sungguh ia menjalani pernikahan ini karena pesan dari orang tuanya sebelum meninggal. Tapi dia sudah sering disakiti dengan kata-kata tajam yang menyayat, jadi ia tak peduli lagi dengan kata-kata yang terucap dari mulut suaminya. Bahkan timbul didalam hatinya bahwa ia ingin membalas penghinaan itu dengan tetap tinggal, agar Restu merasa kesal setiap hari.

Wulan melanjutkan berganti pakaian, dan keluar setelah selesai mengenakan bajunya. Sebuah gaun berwarna putih tulang, dengan kembang-kembang menghiasi bagian bawah dan dadanya. Ia juga memakai kerudung cantik berwarna hijau buda, senada dengan kembangan yang menghiasi gaunnya.

Restu meliriknya sekilas. Ia harus mengakui, Wulan memang cantik dan anggun. Ia menelan salivanya, lalu memalingkan wajahnya. Ia tak ingin tergiur dengan kecantikan istrinya, karena Lisa lebih menggugah seleranya. Ia melihat Wulan duduk di depan cermin, menyempurnakan dandanannya.

Restu mendengus kesal, lalu beranjak keluar dari kamar.

“Kamu belum siap?” tegur ibunya ketika melihat Restu belum mengganti pakaiannya.

“Ya, sebentar lagi, katanya sambil beranjak ke belakang.


Ditempat resepsi itu, pak Broto melihat Restu berjalan seenaknya, seperti tidak datang bersama keluarganya.

“Restu, gandeng istri kamu,” perintahnya.

Wulan malah berjalan di samping ibu mertuanya, dan menggandeng tangannya.

Restu merasa keder ketika melihat tatapan pak Broto. Ia mendekati Wulan dan menarik tangannya. Ia lupa, bahwa didekat kedua orang tuanya ia harus bersikap manis kepada isterinya.

Wulan terpaksa menurut. Menelan kepura-puraan yang menyelimuti kehidupannya.

Tanpa Wulan sadari sepasang matang sedang menatapnya.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 03

SELAMAT PAGI BIDADARI (01)

Karya Tien Kumalasari

Wulan sedang belanja di sebuah mal dimana biasanya ibu mertuanya berbelanja, ketika sebuah sapa membuatnya terkejut.

“Selamat pagi bidadari.”

Wulan merasa seperti sedang bermimpi. Sudah setahun dia tak pernah mendengar sapa semanis itu. Hanya seorang yang selalu mengawali sapa untuknya dengan ucapan itu. Rio Bramantyo, pria gagah dan tampan temannya kuliah dulu, dan yang sangat dicintainya.

Wulan mengibaskan kepalanya, merasa bahwa itu hanyalah ilusi baginya.

Lalu dia meneruskan belanja. Hari ini Wulan belanja sendiri, karena satu-satunya pembantu di rumah sedang banyak pekerjaan. Cucian dan setrikaan kemarin belum sempat dikerjakannya karena adanya banyak tamu teman-teman ibu mertuanya yang mengadakan kumpulan arisan di rumah. Ia sudah sampai di counter sayuran, dan memilih-milih, mana yang sebaiknya dia beli. Mertuanya tak pernah mengatakan dia ingin dimasakkan apa. Semua terserah Wulan, karena apapun yang dimasak Wulan, mereka pasti menyukainya. Bahkan salah seorang pembantunya, yu Sarni, hanya sekedar membantu dan bukan yang baku menentukan bumbu masaknya. Wulan senang karena semua orang suka masakannya.

“Selamat pagi bidadari.”

Wulan menghentikan tangannya yang sedang memegang seikat sawi. Ia memejamkan matanya untuk meyakinkan bahwa telinganya tidak salah dengar. Ia meletakkan kembali sawi yang sudah dipegangnya, lalu menoleh ke samping. Tak ada siapa-siapa. Wulan membalikkan tubuhnya, lalu melihat ke sekeliling tempat itu. Ada banyak pembeli sedang berseliweran di sekitarnya. Ada yang sedang memilih-milih, ada yang sedang mencari-cari apa yang dibutuhkannya.

“Tak ada siapa-siapa,” gumamnya pelan.

“Kenapa ya aku tiba-tiba seperti mendengar suaranya? Ah, tidak mungkin, dia sudah pergi jauh dan tak akan mengingatku lagi.”

Lalu Wulan melanjutkan memilih sayur. Dia ingin memasak ca sawi udang, kesukaan ayah mertuanya. Ia terus memilih, lalu melangkah ke tempat gerai ikan segar.

“Selamat pagi bidadari.”

Kali ini Wulan benar-benar yakin bahwa itu bukan halusinasi. Ia memutar tubuhnya, tak melihat siapapun, lalu ia berjalan mengitari area tempat itu. Ia terus mencarinya.

“Rio !”

Kali ini Wulan berteriak.

“Rio !”

“Jangan sembunyi Rio, aku tahu itu kamu. Kalau kamu masih sembunyi juga, aku tak akan mengenalmu lagi selamanya,” katanya perlahan, tapi membuat beberapa orang disekitarnya sempat menatapnya heran.

“Riooo!” Wulan berteriak lebih keras.

Lalu ketika ia berada di sebuah tikungan, diantara penjual buah, ia menabrak seseorang.

“Uhh!” Wulan mengeluh karena dahinya menyentuh dada bidang seseorang. Wulan mundur selangkah.

“Selamat pagi bidadari,” bisik laki-laki yang menabraknya.

“Rio?”

Sebuah senyuman terkembang. Senyuman dari bibir tipis seorang pria tegap dan tampan. Wajah yang sangat dikenalnya. Wajah yang selalu mengisi benaknya dengan ingatan-ingatan yang konyol dan sering dilakukannya. Bertahun dia merindukannya, kemudian pupus sudah harapan untuk bertemu, ketika tak ada berita tentang dia, bahkan setelah hampir setahun dia menikah.

“Rio,” kali ini Wulan berbisik lembut, berusaha mengendapkan gejolak hatinya yang meronta tak terima, tapi membuat dadanya berdegup kencang manakala melihat sorot matanya.

“Ya Tuhan, dia masih seperti dulu, Gagah, tampan, dan menatapku dengan teduh,” batin Wulan sambil menghembuskan napas panjang.

“Kamu disini?” akhirnya itu kata Wulan setelah berhasil menata batinnya.

“Kamu masih cantik seperti dulu,” kata Rio samil berusaha meraih tangan Wulan, tapi Wulan menepisnya pelan.

“Rio, aku sudah bersuami.”

Rio tampak kecewa, menurunkan kembali tangannya dan menatapnya sendu.

“Aku sudah tahu,” bisiknya pelan.

“Maaf,” lanjutnya. “aku ingin bicara. Ke food court sebentar?”

Wulan mengangguk. Betapa rindunya dia pada lelaki ini, tapi sekarang ada tembok tinggi yang membatasinya, yang tak akan mampu dilompatinya. Ia berjalan mengikuti langkah Rio, naik ke lantai atas, karena di sana lah area food court itu berada. Ia meninggalkan troli belanjaannya yang baru terisi beberapa macam sayuran, dan berjanji dalam hati bahwa dia akan kembali melanjutkan belanja setelah berbicara dengan Rio.

Belum banyak yang duduk di sana, karena hari masih pagi. Saat sarapan sudah lewat, dan saat makan siang belum tiba.

Mereka duduk berhadapan di sebuah bangku, lalu memesan es kacang hijau kesukaan mereka dulu.

“Mau makan apa?”

“Cemilan saja, aku mau kroket,” kata Wulan.

“Baiklah, es kacang hijau dua, kroket dua,” katanya kepada pelayan yang mendekatinya.

Mereka duduk berhadapan, bertatapan, dan saling bertanya kepada hati masing-masing. Masih adakah cinta yang tersisa di hati mereka?

Wulan menghela napas. Dihadapannya, duduk seseorang yang dahulu pernah diimpikannya agar bisa menjadi pendamping hidupnya. Dan barangkali juga itu lah yang juga dipikirkan Rio.

“Mengapa kamu pergi?” Wulan lebih dulu bicara, memecah kebisuan yang tiba-tiba melanda.

“Kamu tidak tahu? Aku pergi membawa luka. Aku lari ke luar negri untuk melanjutkan pendidikan aku di sana, kemudian aku kembali pulang karena ayahku meninggal.”

“Kamu pergi membawa luka?”

Aku mendengar dari kerabat kamu, ketika ayah kamu meninggal. Mereka bicara bahwa walau kamu tidak lagi punya orang tua, tapi anak seorang pengusaha kaya sudah disiapkan untuk menjadi pendamping kamu. Ketika itu dia ada bersama ayah ibunya. Kerabat kamu menunjuk ke arah mereka.”

“Oh?” Wulan terkejut. Ketika ayahnya meninggal, memang ada keluarga Broto Santoyo yang datang melayat. Tapi dia tidak tahu bahwa akan menjadi menantunya.

“Mengapa kamu tidak bertanya dulu sama aku?”

“Semuanya sudah jelas, untuk apa bertanya lagi?”

“Jelas? Itu belum jelas,” sanggah Wulan.

“Bagiku, itu jelas.”

Wulan menghela napas berat, air matanya merebak. Ia menyapunya dengan selembar tissue, ketika pelayan menyajikan pesanan mereka.

Rio menghirup es yang dipesannya.
“Aku bersedia menikah, karena kamu sudah pergi meninggalkan aku begitu saja,” lirih kata Wulan.

“Ya Tuhan.”

“Mengapa takdir mempermainkan kita?” Wulan meraih lagi selembar tissue.

“Apakah kamu bahagia?”

Wulan terhenyak. Bahagia? Ia bahkan tidak pernah bersentuhan dengan suaminya. Restu Andika, suaminya, sangat membencinya, karena dirinya dianggap menghalangi pernikahannya dengan Lisa Amanda, kekasih yang amat dicintainya.

Pernikahan itu terjadi karena ayahnya yang memaksanya, hanya karena sang ayah bersahabat dengan ayah Wulan, dan ia sangat menyukai Wulan yang cantik dan sangat santun. Ia tak kuasa menolaknya. karena ayahnya adalah sahabat keluarga Broto.

Pak Broto yang sudah tahu adanya hubungan Restu dan Lisa, sangat menentangnya. Bahkan ada ancaman untuk mengeluarkannya dari perusahaan kalau Restu tidak menuruti kemauannya.

“Kamu bahagia?” ulang Rio.

Wulan menghela napas panjang, dan berat.

“Entahlah,” bisiknya pelan.

“Kamu masih mencitai aku?”

Wulan menatap Rio tak berkedip.

Bolehkah seorang isteri mencintai laki-laki lain? Tidak, Wulan bukan wanita serendah itu. Rasa cintanya telah diendapkannya dan tak ingin ada penghianatan dalam sebuah pernikahan, walau suaminya bahkan sangat merendahkannya.

“Kamu bersedia menjadi menantu keluarga Broto karena uang bukan?” itu hardik yang di keluarkannya, malam setelah mereka menikah.

Tak ada malam yang indah seperti layaknya pengantin baru. Restu bahkan menyuruhnya tidur di sofa sementara dia terlelap di ranjang pengantin yang sudah ditata indah, dan wangi.

Wulan tak menjawab. Matanya menatap sang suami dengan amarah yang meluap.

“Aku bukan serendah itu,” katanya tak kalah tajam.

“Cih. Aku tidak percaya.”

“Terserah apa kata kamu,” kata Wulan sengit. Sama sekali dia tak takut pada suaminya.

“Wulan,” Rio masih menunggu jawabannya.

Wulan mengangguk lemah, lalu menyembunyikan kesedihannya dengan menghirup es kacang ijo nya.

Tapi tatapan sendu itu membuat Rio tak percaya.

“Aku masih mencintai kamu Wulan.”

Wulan menatap Rio sekilas.

“Lakukan hal terbaik untuk hidup kamu Rio. Kita tidak berjodoh. Takdir memisahkan kita,” akhirnya Wulan mampu berkata-kata.

Rio menatapnya tajam, ingin rasanya ia merengkuh tubuh mungil yang selalu disayanginya itu kedalam dekapannya. Ia yakin Wulan tak bahagia dalam hidupnya. Ia menyembunyikan duka yang dipendamnya, demi menjaga martabatnya sebagai seorang istri.


Sampai di rumah Wulan melihat yu Sarni sedang menumpuk baju-baju setrikaan di dalam ember, dan sudah dipisahkannya masing-masing baju itu di tempat yang berbeda. Yu Sarni sudah hapal setiap baju yang digarapnya, itu milik siapa dan siapa.

“Yu … “

Yu Sarni terkejut, ketika Wulan tiba-tiba melintas dengan membawa belanjaan yang sepertinya berat.

“Bu Wulan belanja banyak sekali ?”

“Tidak Yu, hanya sayuran dan beberapa bahan yang tadi Yu Sarni pesan,” katanya sambil meletakkannya di meja dapur.

Yu Sarni yang sudah selesai dengan tugasnya segera membantunya menata belanjaan.

“Ibu sama bapak pergi ya Yu?”

“Iya, katanya mengunjungi kerabat atau sahabatnya yang sedang sakit,” kata yu Sarni

“Capek ya Bu?”

“Tidak Yu, biasa saja.”

“Tadi menunggu yu Sarni sebentar saja tidak mau,” gerutu yu Sarni.

“Bukan begitu Yu, tadi setrikaan yu Sarni banyak, kalau ikut belanja pasti sekarang belum selesai.”

“Iya juga sih.”

“Siapkan semuanya ya Yu, aku cuci kaki tangan dulu dan ganti baju.”

“Bu Wulan mau masak apa?”

“Cuma ca sayur sama udang. Nggoreng tempe mendoan, tadi Ibu pesan tahu isi juga. Cuci dulu udangnya Yu,” kata Wulan sambil menjauh.

Wulan masuk ke dalam kamar, mencuci kaki tangan dan mengganti bajunya dengan baju rumahan. Bayangan Rio kembali menari-nari di benaknya.

“Jangan tanya tentang cinta Rio, aku sudah berusaha memendamnya sejak kamu pergi tanpa pesan,” bisiknya sambil masuk ke kamar mandi.

Tapi sambil menutup pintu itu terngiang kembali sapa lembut yang lama sekali tak pernah terdengar lagi.

Selamat pagi bidadari.

Lalu Wulan bertanya kepada dirinya sendiri, masihkah ada cinta yang tersisa di hatinya?


Di suatu pagi, ketika Wulan baru selesai mandi, didengarnya suara orang menyanyi diiringi gitar. Suara itu sangat merdu, dan dia menyanyikan lagunya dengan sangat apik. Wulan tersenyum. Ia merasa, pengamen itu sangat menguasai lagu yang dinyanyikannya. Ia ingin keluar, tapi diurungkannya karena sang ibu mertua memanggilnya dari arah dapur. Dilihatnya yu Sarni bergegas ke depan, pastinya untuk memberikan uang kepada pengamen itu.

“Kamu mau masak apa hari ini Wulan?” tanya bu Broto, sang ibu mertua.

“Ibu ingin dimasakin apa?”

“Terserah kamu saja, apapun yang kamu masak selalu enak kok.”

“Ah, Ibu bisa saja,” Wulan tersipu.

“Itu benar, bapak juga sangat suka masakan kamu.”

“Bagaimana kalau rawon saja? Masih ada sisa daging di kulkas.”

“Hm, kelihatannya enak. Boleh … boleh.”

Tiba-tiba yu Sarni masuk ke dapur sambil cengar cengir.

“Ada apa Ni, kamu dari memberikan uang ke pengamen kok jadi tampak aneh.”

“Pengamen itu sangat lucu Bu, setelah saya memberikan uang, dia bilang, ‘selamat pagi bidadari’ , saya tertawa dong Bu, masa sih orang seperti saya dibilang bidadari? Bidadari dari mana coba?”

Bu Broto tertawa, tapi tidak demikian dengan Wulan.


Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 02