SELAMAT PAGI BIDADARI (32)

Karya Tien Kumalasari

Pak Broto diam selama Rio mengendarai mobilnya. Ia menoleh ke kiri dan kanan jalan, barangkali menemukan sosok Restu di sepanjang perjalanannya. Gundah meliputi hatinya, karena ia tak juga menemukan sosok yang dicarinya.

Tapi kemudian Pak Broto heran, ketika Rio menghentikan mobilnya di sebuah bengkel.

“Mobilmu rusak? Atau ban kempes?” tanya pak Broto.

“Bapak ingin mencari mas Restu kan? Mohon Bapak turunlah, saya akan menunggu di mobil.”

Pak Broto menatap Rio dengan penuh tanda tanya.

“Ini bengkel kan? Mobilmu tidak apa-apa?”

“Iya Pak, tidak apa-apa.”

“Tapi … mengapa …”

“Bapak turun saja. Tapi maaf, Rio tidak ikut turun ya. Bapak bisa bertanya kepada pegawai atau montir di bengkel itu, apakah mereka tahu dimana Restu berada.”

“Oo.. begitu ya?”

Pak Broto turun dari mobil, tanpa mengerti apa sebenarnya maksud Rio. Apakah montir itu teman-temannya Restu? Lalu dirinya harus bertanya, barangkali mereka tahu dimana Restu berada? Entahlah, pak Broto melangkah ragu ke arah bengkel. Seseorang menghampirinya.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?”

“Saya … ingin bertanya … apakah … ada yang tahu di mana Restu berada?”

“O, pak Restu?”

“Ya.” Agak heran pak Broto ketika Restu dipanggilnya ‘pak’.

“Bapak ini siapa?”

“Saya … ayahnya.”

Montir itu terkejut, mengawasi pak Broto dengan seksama. Penampilan perlente, tapi agak kusut. Mereka mengira pak Broto baru bangun tidur, tapi perkiraan itu tidak diucapkannya.

“Bapak … ayah pak Restu?”

“Ya, Anda tidak percaya? Apa saya harus menunjukkan kartu keluarga?” tanya pak Broto agak kesal.

“Oh, bukan begitu Pak, soalnya … kami belum pernah melihat Bapak. Baiklah, mari saya antarkan.”

“Mengantarkan ke mana?”

“Bukankah Bapak mencari pak Restu?”

“Ya, tentu saja.”

“Beliau ada di lantai atas,” katanya sambil berjalan menuju tangga, dan memberi isyarat agar pak Broto mengikutinya.

Pak Broto seperti orang linglung, mengikuti naik ke atas tangga dengan langkah tertatih. Montir yang mengantarkan berjalan mendahului, lalu mengetuk pintu kamar Restu yang tertutup. Pak Broto terdiam dalam keheranannya. Tak percaya saja kalau Restu tinggal di lantai atas di bengkel itu. Dan mengapa orang dibawah memanggilnya pak Restu.

“Jangan-jangan salah orang. Hanya nama saja yang sama,” pikir pak Broto.

“Ada yang mencari Bapak,” kata orang yang mengetuk pintu.

Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka. Restu dan pak Broto sama-sama terbelalak saling pandang. Lalu tanpa komando keduanya berpelukan erat. Sang montir yang tadi mengantar segera turun, setelah merasa tidak salah orang, karena rupanya memang benar, laki-laki perlente itu adalah ayahnya sang bos muda.

“Bagaimana Bapak bisa datang kemari?” kata Restu setelah puas bepelukan, lalu mengajak ayahnya duduk di kursi kamar.

Pak Broto melihat ke sekeliling kamar. Kamarnya bagus, nyaman, ada kursi untuk tamu di dalamnya, Ada jam dinding, ada AC untuk pendingin ruangan. Pak Broto tampak takjub. Ini kehidupan menengah baginya. Meski bukan mewah, tapi jauh diatas sederhana.

“Ini kamar kamu?”

“Iya Pak.”

“Kamu jadi bos di sini?”

“Hanya sebagai pengawas, dan penanggung jawab.”

“Pantesan kamu menolak pulang. Kamu hidup berkecukupan di sini?”

“Yang penting ada uang untuk makan, beli pakaian, dan ada tempat untuk berteduh.”

“Bagaimana kamu bisa melakukannya? Kamu tidak cerita ketika tadi datang.”

“Saya hanya datang untuk meminta maaf.”

“Baiklah, bagaimana kamu bisa memegang usaha bengkel ini.”

Restu menghela napas.

“Sesungguhnya saya malu mengatakannya.”

“Mengapa malu?”

“Saya bertemu teman SMA, ketika sedang duduk sendirian di sebuah taman, dalam rasa keputus asaan saya. Dia adalah Supri, apa Bapak masih ingat?”

“Oh, Supri teman SMA kamu, yang tidak bisa kuliah selepas SMA?”

“Iya pak. Dia mempunyai usaha bengkel. Restu diajaknya ke rumahnya, diperbolehkan tinggal di sana, dan di suruh bekerja di bengkelnya.”

“Hm, bagus. Temanmu baik benar.”

“Supri juga mengajari saya mengenal Tuhan, mengajaknya bersujut setiap waktu, dan selalu memohon ampun kepadaNya. Restu menjalani semuanya, dan menemukan hidup tenang, walau sangat sederhana. Pada suatu hari Supri bilang, ada seorang pengusaha ingin mendirikan bengkel mobil, dan saya disuruh mengelolanya.”

“Bengkel ini?”

“Iya Pak, dan betapa malunya saya, karena penolong Restu itu adalah Rio.”

“Rio? Dia itu sebenarnya bukan pengamen, bukan sopir. Dia pengusaha ternama yang berhati sangat mulia.”

“Akhirnya saya tahu tentang dia.”

“Sekarang sudah menikah sama Wulan.”

“Saya juga tahu itu.”

“Dan pendiri bengkel ini adalah Rio?”

“Saya belum sempat menemuinya untuk mengucapkan terima kasih.”

“Kamu harus menemuinya. Dia ada di bawah.”

“Dia? Berarti Bapak datang bersama Rio?”

“Tapi dia tidak mau turun dari mobil.”

“Ya Tuhan. Biarkan saya menemuinya. Saya dulu begitu membencinya, sekarang malah jadi penolong saya.”

“Temui dia sekarang, setelah itu aku akan mengajak kamu menemui ibumu.”

“Tadi kan sudah ketemu?”

“Ibumu dirawat di rumah sakit, karena memikirkan kamu.”

“Ibu? Dirawat?”

Pak Broto mengangguk.

“Aku sudah berjanji, tak akan pulang sebelum bisa membawa kamu menemui ibumu.”

‘***

Rio terkantuk-kantuk di mobilnya. Ia sudah tahu bahwa pertemuan itu akan berlangsung lama, dan Rio suka melakukannya. Hanya saja dia memang belum ingin bertemu Restu. Dia masih mengira, bahwa Restu belum mengerti, siapa pemilik bengkel yang dipercayakannya padanya.

Rio terkejut ketika kaca mobil di sampingnya diketuk dari luar, dan pak Broto berdiri di dekatnya.

“Sudah selesai, Pak?” tanyanya, sambil membuka pintu mobil, tapi dia terkejut melihat Restu berdiri di sampingnya.

“Pak Restu ?” sapanya ramah.

Restu tersipu, tapi ia telah menata hatinya, karena sudah tahu bahwa akan bertemu Rio. Diulurkannya tangannya untuk bersalaman.

“Pak Rio, saya minta maaf.”

Rio tersenyum. Ucapan permintaan maaf itu tidak diduganya.

“Dan terima kasih atas semuanya,” katanya pelan.

“Mengapa berterima kasih, pak Restu?”

“Saya telah melakukan hal buruk kepada Anda, tapi Anda membalasnya dengan kebaikan. Saya sangat malu.”

“Lupakan saja. Kebaikan apa yang telah saya berikan?”

“Anda membuat saya menemukan hidup yang layak. Tadinya saya tidak mengira bahwa ini dari Anda, pak Rio. Tapi kemudian saya tahu semuanya, saya sangat malu. Saya harus berlutut di hadapan Anda untuk ungkapan terima kasih saya,” kata Restu sambil berusaha berlutut, tapi Rio menahannya.

“Jangan begitu Pak Restu. Kita sama-sama manusia, dan kita seumuran, mengapa harus berlutut?”

“Sungguh saya harus berterima kasih. Saya baru menata hati saya untuk menemui Anda. Hari ini saya baru menemui orang tua saya. Sebetulnya saya sedang mencari waktu untuk menemui Anda.”

“Sudahlah, lupakan semuanya. Didalam hidup ini kan tidak semuanya berjalan mulus. Terkadang ada sandungan, terkadang ada halangan. Tapi kalau kita mengingat satu hal, yaitu sebuah pegangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, maka semuanya akan baik-baik saja.”

“Ya sudah, sekarang ayo kita ke rumah sakit, ibumu sedang menunggu,” kata pak Broto.

“Nah, saya sampai lupa karena pertemuan tak terduga ini, bahwa ibu sedang menunggu di rumah sakit. Mari kita berangkat sekarang.”

Restu mengangguk. Setelah berpesan kepada anak buahnya, ia kemudian pergi mengikuti Rio bersama ayahnya.

‘***

Besok lagi ya.

Bersambung ke Jilid 33

Tags: No tags

One Response

Leave a Reply to SELAMAT PAGI BIDADARI (31) – IKAGA Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *