Karya Tien Kumalasari
Tanpa diduga, mereka sampai di mes, dimana Murni tinggal, dan datang bersama dengan Bu Broto bersama pak Broto dan Restu serta yu Sarni. Wulan langsung turun dan merangkul yu Sarni yang wajahnya pucat dan sembab. Wulan bisa menebak, bahwa Restu dan ibunya pasti sudah mengatakan semuanya pada yu Sarni.
“Yu Sarni jangan cemas ya,” hibur Wulan.
Tapi yu Sarni diam saja. Dia masih merasa kesal pada keluarga Broto, termasuk Wulan dan Rio, karena merahasiakan kejadian itu selama berbulan-bulan. Ia juga sangat marah pada Restu yang tega menodai anaknya dengan memperkosanya.
“Di mana Murni? Di sini kah?” tanyanya tanpa jelas dia bertanya pada siapa. Yang lain juga sedang dipenuhi oleh rasa was-was tentang Murni. Jangan-jangan Murni jatuh sakit setelah Wulan menelponnya.
Rio dan Wulan mendahului masuk, tapi mes itu sudah sepi, karena semua karyawan pastinya sudah bekerja.
“Dia tinggal di sini?” tanya yu Sarni sambil mengikuti langkah Wulan. Pak Broto dan istrinya serta Restu mengikuti di belakang. Restu yang paling belakang, karena sesungguhnya dia masih takut kalau Murni histeris lagi begitu melihatnya.
Wulan dan Rio sudah sampai di depan pintu kamar Murni. Wulan mengetuknya.
“Murni … Murni …”
Tak ada jawaban.
“Murni, ini aku Mur, tolong buka pintunya.”
Tetap membisu. Dan rasa khawatir menyergap hati semua orang.
“Murni, buka pintunya Murni.”
Tak ada suara apapun dari dalam, lalu dari belakang muncul penjaga mes yang tergopoh menghampiri ketika melihat Rio.
“Mencari Mbak Murni, Pak?”
“Iya, tapi kok sepertinya dia tidak ada di kamarnya. Tapi dia juga tidak ke kantor,” kata Rio.
“Dia pergi kira-kira sejam yang lalu, dengan membawa kopor.”
“Membawa kopor?” kata yang hadir hampir bersamaan.
“Ya, saya bertanya sama dia, mau ke mana? Dia bilang mau pulang kampung.”
“Pulang kampung?”
“Kalau begitu saya akan menyusulnya ke kampung,” kata yu Sarni tiba-tiba.
“Tunggu Yu, jangan pergi sendiri, mari saya antar,” kata Rio.
“Saya bisa naik angkot.”
“Tidak, aku sama Wulan akan mengantar kamu. Tapi biar Wulan mencoba menelpon dulu,” kata Rio sambil menatap Wulan.
Wulan segera mengambil ponselnya, dan mencoba menghubungi Murni. Tapi kemudian dia geleng-geleng kepala, dicobanya lagi, tanpa hasil.
“Ponselnya tidak aktif,” keluh Wulan.
“Ya sudah, kita antar yu Sarni saja sama-sama,” kata Rio.
“Aku ikut,” sambung Restu.
“Ibu sama Bapak pulang saja ya,” kata Rio lagi.
“Kami antar bapak sama ibu dulu, kemudian langsung ke kampungnya yu Sarni,” kata Wulan.
Akhirnya yu Sarni menurut. Hatinya sedang tidak tenang, dan dia butuh teman. Kemarahannya kepada keluarga Broto sedikit memudar, melihat perhatian mereka terhadap dirinya dan anaknya.
Tapi ternyata di kampungnya, yu Sarni tak menemukan Murni. Rumahnya yang sederhana, tampak kosong, walaupun bersih karena setiap dua hari sekali ada saudaranya yang membersihkan, selama Murni mengikutinya ke kota.
Saudara yu Sarni yang tinggal di dekat rumahnya, membukakan pintunya, dan mempersilakan mereka semua duduk di balai-balai, sedangkan dia menghidangkan minuman hangat atas permintaan yu Sarni.
“Kalaupun Murni ingin pulang, barangkali dia belum sampai. Sebaiknya kita menunggu,” kata Restu.
Tapi Wulan berpendapat, bahwa Murni tak mungkin pulang, karena dia menyembunyikan keadaannya yang hamil dari siapapun juga. Apalagi hampir orang sekampung adalah masih ada ikatan keluarga. Walau begitu, Wulan tak mengucapkan apapun juga. Ia mengantarkan yu Sarni pulang ke kampung, hanya karena ingin membuat yu Sarni senang karena ada yang menemani.
“Silakan diminum, biar adik saya menyiapkan makanan untuk semuanya.”
“Tidak yu, tidak usah, nanti kita bisa makan di warung, jangan sampai merepotkan.”
“Bagaimana kalau Murni tidak pulang kemari yu?” tanya Rio yang punya pemikiran sama dengan istrinya.
“Biar saya menunggunya di sini, barangkali dia akan sampai sore hari, atau malam.”
“Jadi yu Sarni kami tinggalkan di sini saja?”
“Sebaiknya begitu Bu.”
“Jangan lupa mengabari saya kalau Murni sudah datang ya Yu, atau kalau yu Sarni mau kembali ke kota, nanti saya akan menjemput kemari.”
Yu Sarni hanya mengangguk. Sebenarnya hati yu Sarni tidak tenang karena memikirkan anaknya, dan dalam hati semua orang menyalahkan Murni karena tidak sejak awal berterus terang kepada simboknya, padahal Restu bersedia bertanggung jawab pada akhirnya.
Sampai menjelang sore, tidak ada tanda-tanda Murni akan pulang.
“Bu Wulan sebaiknya pulang saja dulu, biar saya menunggu di rumah. Nanti begitu Murni datang, akan saya ajak kembali ke rumah bu Wulan atau bu Broto,” kata yu Sarni sendu.
“Sebenarnya kami tidak tega meninggalkan yu Sarni sendirian di sini, tapi kami meninggalkan pekerjaan juga.”
“Wulan sama pak Rio pulang saja. Biar aku di sini menemani yu Sarni,” kata Restu tiba-tiba.
Rio menatap Restu dengan rasa kagum. Restu bukan Restu yang dulu. Ia benar-benar ingin bertanggung jawab, dan itu membuatnya harus mengacungi jempol.
“Jangan Pak Restu, rumah yu Sarni jelek. Tidak ada kasurnya untuk tidur, hanya balai-balai beralas tikar,” kata yu Sarni yang akhirnya luluh atas begitu besarnya perhatian Restu.
“Tidak apa-apa Yu, aku pernah mengalami hidup sengsara. Disini malah masih ada atap tempat bernaung, aku pernah tidur beratap langit.”
“Tapi saya merasa tidak enak.”
“Yu, aku kan calon menantu kamu, jadi biarkan aku menemani di sini,” kata Restu sambil merangkul pundak yu Sarni yang duduk di sampingnya.
Yu Sarni terharu, kemarahannya kepada Restu sudah meleleh.
“Baiklah, jadi mas Restu akan tinggal di sini menemani yu Sarni?” tanya Wulan.
“Iya, pulang saja kalian, aku akan di sini sampai Murni datang,” kata Restu mantap.
Rio menepuk bahu Restu tanda kagum.
“Biar aku urus sementara bengkel pak Restu, ya.”
“Terima kasih banyak,” jawab Restu sambil tersenyum.
Rio dan Wulan kembali dengan meninggalkan Restu, tapi di jalan, Rio memberhentikan mobilnya di sebuah toko.
“Beli apa?”
“Baju ganti untuk mas Restu, beberapa setel saja, barangkali membutuhkan waktu beberapa hari untuk menunggu, karena aku yakin Murni tidak pulang ke rumah.”
Wulan setuju. Mereka membelikan beberapa potong baju dan makanan juga untuk cemilan, lalu kembali ke rumah yu Sarni dan memberikan apa yang mereka beli.
“Ya ampun, kalian kembali lagi hanya untuk ini?” kata Restu.
“Apa kamu akan terus mengenakan baju kamu itu, lalu yu Sarni akan merasa pusing mencium bahu keringat kamu?” canda Wulan.
Yu Sarni juga berterima kasih karena Wulan membelikan juga makanan untuk mereka.
Tentu saja Murni tidak kembali ke rumahnya di kampung. Hatinya yang labil, sangat panik mendengar simboknya bertanya tentang wanita hamil yang ada di rumah Wulan, dan akhirnya pasti keluarga Broto juga akan mengatakan semuanya.
Ia naik bis yang menuju ke arah luar kota, tapi bukan ke kampungnya.
“Ia berjalan tak tentu arah, dan berhenti ketika menemukan sebuah warung. Ia bisa menahan haus dan lapar, tapi ia mengingat bayi di dalam kandungannya. Ia harus kuat. Itu sebabnya dia masuk ke warung itu, hanya sekedar untuk minum segelas teh hangat dan sepiring nasi.
Ketika ia selesai makan, ia berpikir akan kemana lagi kakinya akan melangkah. Murni benar-benar bingung dan belum juga membayar makan dan minumnya. Tiba-tiba Murni terkejut ketika seseorang menepuk lengannya.
“Bu, kok ada di sini?”
Murni terkejut bukan alang kepalang.
Besok lagi ya.
Bersambung ke Jilid 42
[…] Bersambung ke Jilid 41 […]